22. Dedara

33 17 3
                                    

Langit malam ini terlihat muram, aku mengeratkan pelukanku pada pinggang Pak Pram

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Langit malam ini terlihat muram, aku mengeratkan pelukanku pada pinggang Pak Pram. Motor yang kami tumpangi melaju mulus membelah jalanan kota, berbelok ke masjid di pusat kota untuk menunaikan salat Magrib. Sedari tadi, aku tak banyak bersuara. Aku tak punya kekuasaan apa-apa untuk mengubah dunia. Biarlah, mungkin diam sudah cukup untukku.

Tangan Pak Pram menggenggam jemariku lalu melepaskan pelukanku perlahan. "Malu, Hana," katanya.

"Iya, Bang. Maaf," sahutku lurus.

Dia berhenti, lalu memutar badan dan melihat ke arahku. "Apa aku terlihat seperti abang ojol buatmu?" tanyanya.

"Iya, abang ojol yang nyebelin."

"Ya Tuhan, dasar jahat!" desisnya. "Kenapa lagi, sih, kok sebel gitu mukanya? Kan tadi udah jalan-jalan, mau ke mana lagi?" Nada bicaranya sedikit naik, dia kesal dengan sikapku yang berubah menyebalkan menurutnya.

Aku tak acuh,  memilih turun dan memasuki pelataran masjid yang masih ramai dengan orang yang lalu lalang. Malam ini, kami akan mencari makanan kesukaan ibu. Bermain ke mana saja yang ibu tunjuk di kota ini yang akan mengarah ke potongan kenangan yang dia miliki.

Mimik wajahnya berubah sedikit kalem ketika kami sampai ke Cafe Tuan Wiskar.  Ini jauh lebih baik ketimbang menunjukkan baju-baju milik Niko dan Milli, dia akan menangis dengan penuh haru sambil menciumi baju kedua anaknya itu. Tangisnya mengiris hati, aku tak ingin melihat ibu menangis lagi.

Aku mengunci rapat mulutku selama berjalan-jalan, tak ada hal yang membuatku ingin tertawa atau malah ikut menyenangkan hati ibu. Kami berdiri di depan jajaran ruko yang sudah tutup, pelatarannya digunakan untuk menjajakan jajanan malam. Pecel lele, bakso, sate Padang dan juga lemang yang terkenal cita rasanya sampai negeri sebelah.

"Hana, mau makan apa?" Pak Pram masih tak lelah juga mengajakku berbicara.

"Apa aja boleh, Pak."

"Kenapa, kok, stres banget?" tanya Pak Pram lagi.

"Ng, nggak apa-apa, kok."

"Nggak apa-apa muluk, tapi diem aja dari tadi, udah gemes banget ini. Coba kalau bapakmu nggak ada, udah kujitak dari tadi," keluhnya.

"Coba aja kalau berani," tantangku.

Dia mengangkat tangannya dan menarikku mendekat padanya. Kupingku hanya berjarak beberapa senti dari bibirnya. "Kalau soal ini, gampang, bisa nanti di rumah," bisiknya. Jika dahulu aku bisa berdebar tak karuan mendengar suaranya. Sekarang, aku biasa saja, bahkan malah lebih sering sebal dibuatnya.

"Pak, apa Bapak mempercayai Hana?" tanyaku.

"Apa?" Sapuan CO2 dari hidung bangirnya membuat aku menjauh dari wajahnya. Dia masih memegangi kepalaku.

"Kalau suatu saat Hana menghilang kembali, apa Bapak akan mencari Hana dan menembus semua bahaya agar bisa menemukan aku?" tanyaku lurus.

Dia melepas tangannya dari kepalaku dan kembali duduk tenang di kursinya. Walau tak sepenuhnya bisa dikatakan tenang juga. Wajahnya berubah murung, helaan napas juga mulai terdengar beberapa kali.

Cafe Jasuke Just Okay (Complete Story)Where stories live. Discover now