23. Diary

32 18 1
                                    

Andai dia tahu, seperti apa perasaanku yang ambyar setelah perdebatan kecil tadi malam, aku tak ingin melihat wajahnya pagi ini

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Andai dia tahu, seperti apa perasaanku yang ambyar setelah perdebatan kecil tadi malam, aku tak ingin melihat wajahnya pagi ini. Dia membuat sarapannya sendiri. Lalu, pergi begitu saja tanpa sempat menghabiskan roti lapis yang dia buat. Tanpa pamit seperti biasa.

"Ini bekal buat kamu ama Mas-nya. Jangan berantem teruslah, sesama saudara kalau nggak saling menguatkan, mau siapa yang kuatin? Jarang-jarang kamu bisa punya abang sebaik dan seperhatian itu, loh!" ceramah ibu pagi ini.

Rupanya ibu mengira aku dan Pak Pram kakak adik? Aku menoleh ke arah ayah yang tiba-tiba buang muka, dia pura-pura sibuk dengan kertas di tangannya.

"Yah, jadi, ibun ngira, kalau Hana dan Pak Pram itu, cuma kakak adik?"

"Hm ...," sahut ayah dengan deheman.

"Ayah," panggilku memelas.

"Lebih baik gitu 'kan?" katanya. "Daripada dia histeris karena tahu kalian malah punya hubungan lebih wau dari itu, gimana?"

Ayahku mulai tak rasional, jelas-jelas dia yang cari perkara dengan menikahkan kami, sekarang malah seperti ini, cuci tangan dari masalah yang dia buat sendiri.

"Hana pamit, mau pergi dulu. Assalamualaikum, Mbak Laras, Mas Alfian," kataku berpamitan dengan Ayah dan Ibu.

"Oh, Hana, Pram bilang dia gak pulang hari ini, mau ke Medan ada urusan katanya," kata Ayah padaku.

"Iyaa!" sahutku sambil lalu.

"Ah, satu lagi, bekelnya nggak usah aja, dia langsung pergi, kok, udah telat soalnya."

Aku melirik pada tas bekal yang ada di tanganku, tas itu tetap kubawa ke sekolah seperti biasa. Dan, benar saja, dia tidak ada di sana.

Sepanjang hari dia tak memberi kabar, takada pesan, atau pun sebuah kata telepon gabut seperti biasa. Tanganku bolak-balik mengecek ponsel yang terlihat kalem di dalam ranselku.

"Kamu nunggu siapa, sih, Hana?" tanya Gladis yang risih dengan kelakuanku.

"Ah, nggak apa-apa, kok, Dis, lagi nunggu pesan dari Ayah."

"Ah, pasti nunggu pesan dari Pak Pram!"

"Tebakanmu benar, Dis," ucapku dalam hati.

Aku menggeleng sambil tersenyum kecil. Tanganku tak bisa dikendalikan, untuk tidak mengecek ponselku lagi.

Malam pun sama, sepi. Hujan yang mengguyur malam ini, menjadi saksi bisu air mataku yang berurai karena merindukannya. Aku duduk di kamarku, mulai mengerjakan lembar demi lembar soal yang ajaibnya membuat sebuah perasaan tenang. Soal yang kubenci itu, menenangkanku dari rindu pada sosok Pak Pram. Bagaimana bila pada akhirnya dia benar-benar menghilang?

Memikirkannya terlalu menakutkan, aku mengeluarkan ponselku dan meneleponnya. Mendengarnya menggerutu karena terganggu dengan kejahilanku.

"Apa jangan-jangan dia malu padaku?". Aku kembali teringat keusilanku tadi malam yang mengecup pipinya sembarangan. Dia terus menghindari mataku dan tak ingin dekat-dekat.

Cafe Jasuke Just Okay (Complete Story)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang