30

16 0 0
                                    

Setelah ditinggal pergi selama-lamanya oleh Aisha, Azka menjadi sangat murung. Ia tidak bisa konsentrasi mengurus perusahaan. Dengan demikian, untuk sementara waktu perusahaan akan ditangani oleh Dega. Ia telah memberikan kewenangan kepada Dega untuk mengurus perusahaan secara penuh, nantinya Nita yang akan memantau hasil kerja Dega.

Perih, kehilangan itu rasanya sangat perih. Andaikan bunuh diri itu halal. Ingin Azka melakukan itu untuk menyusul sang pujaan hati.

Ia tahu, kematian itu lumrah terjadi dan pasti akan terjadi pada setiap manusia. Tapi masalahnya ... hati tidak semudah itu untuk dihibur.

Saat ini Azka tengah melamun sendirian di dalam kamar. Laki-laki itu duduk di atas kasur dengan pandangan kosong ke depan. Ini adalah pertama kalinya ia merasakan cinta, akan tetapi ... cintanya itu malah pergi untuk selama-lamanya.

Semenjak Aisha meninggal dunia, Azka kembali tinggal di rumah ibunya. Ia sudah meminta Dega untuk menjual semua apartemen miliknya. Azka tidak sanggup tinggal di apartemen sendirian, terlebih apartemen yang dulu ia pakai untuk mengurung Aisha.

Rabb ... tolong hapus rasa cinta ini. Ini sungguh menyiksa, mohon Azka dalam hati.

Tok! Tok!

"Papa ... ada Ustadz Halim," beritahu Zakia dari luar kamar.

"Suruh masuk, Nak!" perintah Azka dari dalam kamar.

Tak berapa lama, Ustadz Halim masuk ke kamar Azka. Ustadz muda itu sudah mendengar semuanya dari Nita. Ia sungguh prihatin melihat kondisi Azka saat ini. Ini benar-benar bukan Azka yang selama ini ia kenal. Ini Azka yang berbeda.

"Mungkin Allah cemburu karena Mas Azka mencintai ciptaan-Nya lebih dari apapun itu. Makanya sekarang Allah tegur dengan cara mengambil Mbak Aisha pulang ke sisi-Nya." Ustadz Halim membuka suara.

Ustadz muda itu duduk di sofa panjang yang menghadap ranjang. Sedangkan Azka masih duduk di atas ranjang.

"Astaghfirullah hal'adzim," ucap Azka. Ia mengusap wajahnya pelan.

Ustadz Halim tersenyum lega melihat Azka merespon ucapannya. "Terkadang ... sebagai manusia kita sering melakukan salah. Kita sering mencintai makhluk ciptaan-Nya lebih besar dari cinta kita kepada sang maha pencipta. Dan kalau tidak ditegur, kita tidak paham."

"Astaghfirullah." Azka mengucap istighfar sekali lagi. Ia menatap Ustadz Halim serius. "Selama ini saya selalu memenuhi hati saya tentang Aisha terlalu berlebihan, padahal hubungan saya dan Aisha belum halal. Mungkin ini teguran untuk saya," lirihnya.

Ustadz Halim mengangguk pelan. Ia sedang memilih kata-kata supaya tidak menyakiti hati Azka. Pasalnya saat ini Azka sedang dalam kondisi tidak baik-baik saja, jika ia salah-salah bicara, Azka bisa semakin terpuruk.

"Mungkin Aisha adalah jodoh Huda ... di dunia dan akhirat," lirih Azka dengan mata yang terpejam. Laki-laki itu membuka matanya secara perlahan. "Katakan, Ustadz, sekarang ... apa yang harus saya lakukan?" tanyanya lirih.

"Tidak ada yang lebih baik selain mendekatkan diri kepada Allah SWT, Mas Azka," nasehat Ustadz Halim.

Ustadz Halim tahu, berteori tidak semudah praktek. Kalaupun ia di posisi Azka, mungkin ia akan mengalami hal yang sama seperti Azka. Hanya saja ... ia tetap harus menyampaikan kebenaran, bukan?

Hati Yang Penuh Tentang-Mu (Tamat)Where stories live. Discover now