9. Bertemu Kembali

4.3K 537 38
                                    

"Kamu siap?"

"..........."

"Jangan sampai keputusanku menolongmu ini salah, Dek!"

Aku tersenyum saat mendekatinya dan meraih tangan pria yang sudah menolongku ini untuk menunjukkan padanya betapa berterimakasihnya aku kepadanya. "Terimakasih ya Mas Dirga untuk bantuannya, Alle nggak nyangka di dunia Alle yang kejam ini masih ada orang-orang baik yang peduli bahkan pada orang asing sekali pun."

Untuk kali ini, apa yang aku ucapkan pada Mas Dirga ini benar-benar sebuah ketulusan, untuk pertama kalinya ada orang yang mempercayaiku di saat orang lainnya justru menertawakanku bahkan mengatakan jika aku halu.

Percayalah, di tertawakan atas kenyataan itu adalah hal yang sangat menyakitkan. Walaupun aku terbiasa dengan hal tersebut, tapi tetap saja membadut dan menjadi bahan tertawaan orang itu sangat tidak menyenangkan.

Mas Dirga sama sekali tidak menjawab, dia memilih hanya menganggukkan kepala pertanda jika dia menerima ucapan terimakasih yang aku ucapkan dan setelah itu dia memilih untuk mengetuk pintu menuju tempat di mana orang yang tengah aku cari berada.

Dua kali ketokan, sebelum suara berat terdengar dari dalam sana mengizinkan kami untuk masuk. Keraguan sempat aku rasakan, bertanya-tanya apa yang tengah aku lakukan ini benar atau hanya menambah masalah, tapi dengan cepat aku usir perasaan tersebut, dan saat akhirnya langkah kakiku membawaku masuk ke dalam ruangan megah tersebut, aku merasa, ya, inilah yang seharusnya aku lakukan sejak dulu.

Di sana, di balik meja dengan bendera Indonesia yang bersanding dengan bendera Polri dan juga Propam, sosok yang melupakanku berada, tengah duduk dengan penuh wibawa di atas kursi kebesarannya bak seorang Raja dengan segala kehormatan yang ada di dalam genggamannya.

Tatapannya menyorot tajam ke arahku, seakan tengah meneliti siapa mahluk asing tanpa seragam dari kaum Sudra yang berani menemuinya, tatapan yang memancing kobaran amarah di dalam hatiku, menyulut kebencian yang sekarang tersembunyi rapi di balik senyumanku.

Berbeda dengan Mas Dirga yang langsung memberikan salam penghormatan, aku hanya mematung di tempatku, memandang lekat-lekat pria yang sudah menjadikanku ada di dunia ini, sekaligus pria yang melupakanku begitu saja seolah aku tidak pernah ada. Banyak orang mengatakan jika Ayah adalah cinta pertama anak perempuan, tapi nyatanya apa itu bentuk cinta seorang Ayah saja aku tidak pernah mengetahuinya. Cinta itu mati bahkan sebelum cinta itu tumbuh dan ada di hatiku.

"Siapa tamu yang kamu bawa ini, Dir? Bagaimana bisa kamu membawa tamu tanpa konfirmasi apapun dahulu terhadap saya?"

Suara berat tersebut menegur Mas Dirga, sungguh sikap keras seorang Danjen Dhanuwijaya Hakim sekarang ini sangat berbeda dengan citra yang selama ini di perlihatkannya di publik. Tidak ada kelembutan di balik wibawanya, sisi humanis tersebut berganti dengan arogansi yang menunjukkan kekuasaannya.

Mas Dirga memilih untuk tidak menjawab, dia beringsut mempersilahkanku untuk langsung bersitatap lebih jelas dengan Ayahku.

Senyum terukir di bibirku saat aku melangkah mendekati meja kerja seorang Dhanuwijaya Hakim, tidak ada perbedaan yang berarti di diri beliau walaupun bertahun-tahun sudah berlalu semenjak potret terakhir beliau di ambil bersama dengan Bunda. Beliau masih tampan, berkharisma, sekalipun kini kerutan mulai terlihat di wajah beliau. Untuk seorang yang berusia di angka 50 tahun, Ayahku masih segar, muda, dan sudah pasti idaman perempuan nakal di luar sana yang gila dengan seragam.

Semakin aku mendekat, semakin tatapan beliau menajam, sampai setibanya aku di hadapan beliau, keterkejutan membuat seorang Danjen Dhanuwijaya Hakim berdiri dengan cepat. Beliau menunjukku tidak percaya, bibirnya bergetar seakan ingin mengatakan sesuatu yang sulit untuk di ungkapkan.

"Al.... Alim..."

Aku menggeleng pelan, menunjukkan sopan santun yang di ajarkan oleh Bunda aku meraih tangan beliau yang masih terkejut dan memberikan salam sekalipun Ayahku tampak seperti orang yang baru saja mengalami serangan jantung mendadak.

"Bukan Alim, Ayah. Tapi Alleyah, Alleyah Hakim. Putri sulung Ayah, sepertinya terlalu lama tidak bertemu membuat Ayah lupa bagaimana rupa putri sulung Ayah ini."

Kalian tahu, melihat bagaimana sosok yang melupakanku begitu saja ambruk karena terkejut melihat hadirku bak hantu di tengah hidupnya yang nyaman, adalah kebahagiaan tersendiri untukku.
Aku tetap berdiri di tempatku, sementara Ayahku tercinta ini jatuh terduduk di kursinya dengan pandangan ngeri, reaksi yang membuat Mas Dirga langsung menghampiri beliau karena khawatir.

Mungkin Mas Dirga takut Ayahku akan mati saking kagetnya karena melihatku. "Komandan, Komandan nggak apa-apa? Perlu saya panggilkan dokter?"

Tapi Ayah menolak mentah-mentah usulan Mas Dirga, beliau justru mendorong Mas Dirga untuk minggir dan tangan yang aku lupa bagaimana rasanya saat menimangku tersebut kini terulur ke arahku, memintaku untuk mendekat yang langsung aku penuhi.

Aku berlutut di hadapan beliau layaknya seorang anak yang berbakti dan begitu besar rindu yang aku miliki untuk beliau, mataku yang berkaca-kaca seakan menegaskan betapa aku sudah menunggu sangat lama untuk pertemuan ini, sungguh rasanya aku ingin bertepuk tangan pada kemampuanku berakting yang sangat luar biasa ini, seharusnya aku tidak menjadi penerjemah, melainkan aku harus mengasah bakatku untuk menjadi seorang aktris saja.

"Alle? Ini benar-benar kamu, Nak? Astaga, sudah sedewasa ini kamu ternyata."

Kedua tangan yang tidak pernah menggenggam tanganku tersebut menangkup wajahku, memperhatikanku dengan lekat dan seksama seakan ingin melihat sosok kecil yang dulu di tinggalkan begitu saja. Percayalah, aku pun tidak menyangka reaksi Ayahku tercinta ini akan seperti ini, aku sudah mempersiapkan diri untuk mendapatkan penolakan ataupun kalimat yang mengundang ketidakpercayaan, tapi nyatanya hanya dari satu pandangan mata, Ayahku yang pengkhianat ini langsung mengenaliku, sungguh sikap yang sangat mencengangkan dari seorang yang bahkan tidak pernah memberikan sekedar nafkah atau pun menengok anak kandungnya ini karena sudah terlalu sibuk dengan kebahagiaan bersama dengan anak dan keluarga barunya yang tidak lain adalah Bibiku sendiri yang merangkap menjadi Pelakor dalam rumah tangga Bundaku.

Melepaskan tangkupan beliau, aku segera bangkit, bukan untuk pergi, tapi untuk memeluk seorang yang aku panggil Ayah tapi tidak pernah ada kesempatan untuk melakukannya.

Sekali, sekali ini saja aku ingin memeluk Ayahku sepuas hati mengobati rasa iri dan rindu yang dulu sempat merajai hatiku, percayalah, aku hanya manusia biasa, pernah terlintas di benakku dahulu saat aku merasakan kesendirian menyaksikan keluarga temanku yang lengkap, aku berharap Ayahku ini akan tiba-tiba datang layaknya superhero untuk membungkam mereka yang pernah menyakitiku yang tumbuh dalam kesendirian dan juga berteman dengan kemiskinan, nyatanya beliau tidak pernah datang, dan harus aku yang mendatanginya.

Pelukan yang aku berikan sekarang ini pada beliau adalah pelukan terakhir dari seorang Alleyah yang berusia 4 tahun yang rindu akan akan kehadiran Ayahnya. Alleyah yang sudah mati dan Ayahku sendirilah yang membunuhnya, karena mulai detik ini, setiap kalimat manis yang terucap dari bibirku adalah sebuah dusta untuk menghancurkan hidup keluarga seorang Hakim yang sempurna.

"Ayah benar, ini Alle, Yah. Ayah tahu, Alle kangen Ayah."

DIGNITY (Pembalasan Luka Putri Sang Jendral)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang