26. Datang

50 15 3
                                    

Hari ini, aku berlari ke Kafe Tuan Wiskar untuk mengikuti sesi belajar tambahan bersama Pak Danis

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Hari ini, aku berlari ke Kafe Tuan Wiskar untuk mengikuti sesi belajar tambahan bersama Pak Danis. Dia sudah datang dan duduk di pojok ruangan bersama Gladis dan Thalita.

Selepas mengajar, dia memberikan aku selembar kertas. Aku sudah bosan menerima quote motivasi darinya. Namun, kali ini, entah mengapa aku ingin menerimanya. Kertas memo itu berwarna cokelat, dan saat aku membukanya. Aku melihat sebuah tulisan tangan yang sepertinya pernah aku lihat di suatu tempat.

"Semangat ya, Hana, kamu pasti bisa, kalau nggak bisa ya, Nggak apa-apa, sih, namanya juga usaha."

Aku mendengus kesal. Aku pikir, ada kata-kata mutiara yang akan membuatku termotivasi hari ini, rupanya, hanya perkataan gabut yang tak jelas dari siapa.

Saat aku bertanya maksudnya apa dia hanya tertawa. Mana tawanya besar sekali, rasanya aku ingin menghilang saja dari hadapan bapak guruku itu.

"Itu Quote dari penggemar berat kamu, Hana. Katanya, jangan lupa tempel di dinding biar ingat. Atau kamu tempel di buku jurnal biar gak ilang. Pokoknya harus kamu abadikan! Bingkai yang gede kalau perlu!"

"Ya Tuhan," ucapku prihatin.

"Oh, iya, kamu dapat salam dari adik saya, katanya dia titip salam."

Aku tersenyum nanggung, ingin mentertawai bahasanya yang ajaib itu, tetapi tak tega. Dia tidak aneh, orang yang dominan otak kanan seperti Pak Danis, sangat wajar jika tidak cakap dalam berbahasa.

"Astaga, pantas saja, Pram kesemsem sama kamu, senyum kecil gitu aja manis banget. Cepet tamat ya, Hana," katanya sebelum pergi.

Gladis yang mendengar ucapan Pak Danis langsung menyikut tanganku, "Tu, Hana, lampu hijau, bentar lagi, kamu resmi jadi adik iparnya, tu!"

Aku menghela napas kasar.

"Mbok ya, kalau ngimpi agak realistis dikit," kataku pada Gladis.
.
.
Hari berlalu begitu saja, sampai akhirnya perpisahan yang dinanti pun akhirnya tiba. Semua persiapan sudah selesai. Panggung dibuat indah di tengah lapangan. Kursi-kursi disusun rapi di bawah tenda yang mengeliligi lapangan.

Rencananya, akan ada pentas seni dan acara bakat lainnya. Setiap kelas mengirimkan delegasi untuk memeriahkan acara. Termasuk kelasku, mereka mengirim orang untuk mengisi acara. Sialnya, orang itu adalah aku, sebagai perwakilan kelas tiga, untuk membawakan pidato.

Kalau boleh, aku ingin curhat saja di depan mereka semua, tentang perlakuan buruk Mita dan kawan-kawannya yang sangat berkesan. Atau tentang setiap sudut dari sekolah ini yang terasa sayang jika ditinggalkan begitu saja. Setiap sudutnya adalah kepingan kenangan yang tidak bisa diganti dengan apa pun.

Dan di hari bersejarah ini pun aku mendapatkan selembar kertas lagi dari Pak Danis. Laki-laki yang mengaku masih berumur 30 tahun itu, memintaku memanggilnya dengan Abangda, sukurlah dia tak memintaku memanggilnya dengan sebutan Baginda, atau Simbada ah, apa pula itu.

Cafe Jasuke Just Okay (Complete Story)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang