31. Dari Hidup Kita Belajar

10K 1.5K 360
                                    

Rapat divisi HR yang dipimpin oleh Rani sedang berlangsung. Sudah lebih dari sebulan Rani  harus mengambil alih tugas Shinta yang mengajukan cuti di luar tanggungan. Selama itu pula, ia lebih bisa memantau perilaku dan kinerja secara detail tiap anggota timnya tersebut. Vita dan Erni yang memiliki hubungan dekat dengan keluarga Utama cenderung bekerja seenaknya. Ada kesan mereka merasa kebal terhadap sanksi yang mungkin diberikan apabila berkinerja jauh di bawah standar. Budaya perusahaan keluarga yang merekrut karyawan berdasarkan hubungan saudara jelas berdampak pada pola pikir seperti itu dan kondisi ini sangat berbahaya bagi keberlangsungan organisasi. 

"Saya sudah kasih semua data karyawan yang mengikuti pelatihan setahun lalu ke Wangi, kok, Bu!" dalih Erni ketika Rani mempertanyakan mengenai perhitungan return of training investment. 

"Ya, saya tahu kamu sudah menyerahkan semua datanya, tetapi itu hanyalah data mentah. Yang saya butuhkan adalah analisismu yang membandingkan antara manfaat finansial yang kita dapat setelah pelatihan tersebut dengan biaya yang sudah kita keluarkan. Saya sudah memintamu untuk menghitungnya sejak akhir tahun lalu, bukan?" Rani berusaha mengendalikan emosinya meski mulai kesal dengan sikap Erni. 

"Memangnya itu tugas saya, Bu?" Erni berusaha berkelit.

"Tugasmu selama ini apa saja?" Rani balas bertanya.

"Mencatat orang yang ikut pelatihan."

"Apa lagi?"

"Mendaftarkan orang yang mau ikut pelatihan ke penyelenggara pelatihan."

"Apa lagi?"

Erni terdiam. 

Indri dan Eko saling lirik, memikirkan hal yang sama. Apa yang dikerjakan Erni terlalu sedikit dan mudah, tetapi selama ini perempuan itu selalu mengeluh pekerjaannya paling banyak.

"Berapa banyak orang di perusahaan kita mengikuti pelatihan dalam sebulan?" tanya Rani lagi dengan nada tenang.

"Banyak, Bu."

"Berapa banyak?"

Erni lagi-lagi tak bisa menjawab.

"Kalau perencanaan pengembangan individual apakah juga kamu lakukan?" tanya Rani, berusaha menjaga nada suaranya agar tidak terkesan intimidatif.

Erni menggeleng. 

Rani menarik napas panjang. Erni dan mungkin banyak karyawan lain berstatus kerabat yang berada dalam kondisi underachievement, beban kerja minim dan kinerja juga di bawah standar.  Kondisi ini berpeluang membuat orang-orang tersebut menyalurkan energinya untuk hal negatif, seperti bergunjing dan merisak karyawan lain. 

"Erni, sesuai dengan yang tertuang di uraian tugasmu, kamu seharusnya tidak sekadar mencatat dan mendaftarkan siapa yang ikut pelatihan seperti yang tadi telah kamu jelaskan, tetapi juga membuat rencana pengembangan individual berdasarkan masukan dari user. Kamu pun seharusnya menghitung return of training investment-nya, seperti yang pernah saya minta." Rani mengutarakan kesenjangan antara harapannya dengan kenyataan yang bisa dilakukan Erni.

"I-iya, ma-maf, Bu!" Erni tak bisa berkelit.

"Saya minta RoTI selesai Jumat depan, ya!"

"Tapi, Bu ..." protes Erni, "waktunya terlalu mepet!"

"Saya sudah berikan tugasnya sejak akhir tahun, artinya waktumu mengerjakan sudah lebih dari empat bulan. Tidak akan butuh waktu selama itu untuk menghitung RoTI." Nada suara Rani mencerminkan ketegasan yang tidak bisa ditawar.

Erni pasrah, tak mungkin melawan.

"Oke, rapat selesai! Terima kasih atas waktu dan atensinya. Tolong semua melakukan apa yang sudah saya instruksikan." Rani menutup rapat. "Satu lagi hal penting yang perlu saya sampaikan. Semester ini kita akan memakai metode penilaian kinerja baru yang jauh lebih objektif. Sebagai direktur HR, saya harus menjadikan divisi ini sebagai contoh penerapan metode tersebut. Jadi, tolong bekerjalah sesuai dengan tugas yang diberikan. Kalau tidak, kalian sendiri yang rugi karena saya tidak akan memberikan dispensasi apa pun! Tidak ada unsur persaudaraan kali ini!"

Meneroka Jiwa 2Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang