37. Out of the Box

15.6K 1.6K 603
                                    

"Terima kasih, Pak," ucap Wangi setelah kekagetannya hilang sembari berusaha melepaskan tangannya dari genggaman Aghastyan.

"Kok, terima kasih?" tanya Aghastyan bingung.

"Seharusnya bilang gimana, Pak?" Wangi ikut bingung.

Aghastyan mendengkus, menepuk jidatnya. "Memang susah ngomong sama lulusan University of Gelem!"

"SMA, Pak, bukan universitas," ralat Wangi serius.

"Astaga!" Aghastyan meremas rambut sambil menggeleng-gelengkan kepala. Tidak habis pikir mengapa dirinya bisa jatuh hati pada perempuan sebodoh ini, yang bahkan tidak paham bahwa perkataannya tadi adalah sebuah sarkasme.

Pesan masuk di ponsel Wangi menginterupsi.

Wangi membaca pesan masuk di ponselnya, lalu mematikan komputer dan meraih tas. "Pak, saya duluan, ya. Mas Banyu sudah dekat!"

"Heh! Kamu belum jawab pertanyaanku!" tahan Aghastyan.

"Pertanyaan yang mana, Pak?" Seingat Wangi, tidak ada pertanyaan yang diajukan Aghastyan. Lelaki itu hanya menyatakan cinta, tidak menanyakan apa pun.

Aghastyan mendengkus kesal, menghadapi perempuan satu ini sungguh menyedot kesabarannya yang lebih tipis daripada rambut dibelah tujuh.

"Duluan, ya, Pak!" ujar Wangi tanpa menunggu jawaban Aghastyan. Ia bergegas berjalan menuju pintu, tak mau membuat Banyu menunggu.

"Tunggu!" Aghastyan menyusul Wangi yang sudah melesat. "Kamu itu benar-benar tidak punya perasaan, saya lagi sedih ditinggalin sendirian!"

"Khawatir Mas Banyu sudah sampai. Tidak boleh berhenti lama di depan lobi gedung, 'kan, Pak?"

"Sok sayang kamu sama dia!" ejek Aghastyan sambil menyejajarkan langkah dengan Wangi.

"Sayang betulan, kok, Pak, bukan sok sayang," jawab Wangi seraya memencet tanda panah arah bawah pada tombol lift.

Aghastyan mendengkus kesal. "Lalu kamu tidak peduli sama saya yang lagi sedih?"

"Bukannya tidak peduli, Pak, tapi kasihan Mas Ban—"

"Kasihan Banyu harus nunggu. Iya ... iya, tidak usah diulang terus!" gerutu Aghastyan bersamaan dengan pintu lift yang terbuka.

Wangi menyengir sembari melangkahkan kaki masuk ke dalam lift.

"Menurut Pak Eko, lelaki yang mau menikah memang perasaannya sering gelisah, kadang seperti orang bingung karena ketakutan masa kebebasannya hilang. Namun, setelah dijalani ternyata tidak semenakutkan itu katanya," ujar Wangi begitu pintu menutup dan lift bergerak turun. Ia mencoba menghibur Aghastyan mumpung tidak ada orang lain di dalam lift.

"Diam kamu!" bentak Aghastyan, semakin kesal diingatkan soal pernikahannya.

Wangi merapatkan mulutnya.

Aghastyan menyandarkan punggungnya ke dinding lift. Matanya menatap nanar ke langit-langit. "Aku tidak cinta sama Lavi."

Wangi tidak berani berkomentar.

"Aku terpaksa menikahi dia."

Wangi tetap diam.

"Gara-gara tequila sialan!" Aghastyan mendengkus dengan tangan mengepal. "Bisa-bisanya sekali langsung jadi!"

Wangi tetap tidak bersuara, tetapi dalam hati berusaha mencerna perkataan Aghastyan.

"Kenapa kamu diam saja?"

"Kan tadi Bapak suruh saya diam," sahut Wangi bingung. Memang betul kata Pak Eko, lelaki mau menikah seperti orang linglung!

Pintu lift terbuka di lantai dasar.

Meneroka Jiwa 2Where stories live. Discover now