(4) Kenangan Bersama Kakek

103 11 2
                                    

Travel writer, adalah pekerjaan yang melelahkan, tapi menyenangkan untuk dijalani. Selain harus menuangkan hasil temuan-temuannya di tempat ia ditugaskan untuk membuat tulisan apik, ia juga harus bisa peka terhadap sekitar dan menentukan angle atau sudut pandang yang pas, Tulisannya harus diambil dari sudut pandang apa? Kiki harus memikirkan itu baik-baik.

Dalam penulisannya, Kiki juga perlu mewawancarai orang-orang. Kadang, jika tempat kunjungannya cukup jauh dari ingar-bingar kota, Kiki harus jalan kaki puluhan kilo meter untuk mencari informasi.

But, it's no problem.

Sesuatu yang dikerjakan atas dasar kesukaan, hobi, passion, lebih tepatnya hobi yang sejalan dengan passion, maka akan terasa enjoy atau menyenangkan ketika dijalani.

Kiki sudah tertarik dengan profesi ini sejak umur delapan tahun. Tepatnya, setelah berhasil kabur dari suatu pulau yang dihuni oleh orang-orang yang satu kelompok bersama ayahnya; Kiki dan Ara menjumpai seorang penulis travel di sebuah masjid tempat mereka singgah, di kabupaten Selayar.

"Bun, kita mau ke mana sekarang? Nia takut, ayah sama teman-temannya ngejar lagi kalau kita terus di sini."

"Insyaallah ada jalannya, Nia," balas Ara dengan tutur kata yang lembut dan menenangkan. Walaupun, Ara sendiri tidak tahu, jalan keluar apa yang akan ia dapatkan.

Tak lama dari percakapan tersebut, azan subuh pun berkumandang di sebuah masjid kecil yang tak jauh dari pantai. Mereka berdua pun memasuki masjid setelah berwudu.

"Kita salat, ya, Sayang. Semoga Allah kasih kita jalan keluar."

Allah Maha Baik. Setelah mereka salat berjamaah dengan warga setempat, serta meminta doa kepada Dia yang Maha Memiliki langit dan bumi, mereka pun dipertemukan dengan seorang pria yang baik hati.

Bisa ditaksir usia pria itu sekitar umur 40-an. Badannya agak berisi, bahunya tegap. Dia mengenakkan kaos oblong warna hitam dengan kemeja motif batik khas pantai. Dia memiliki kumis, tapi tidak terlalu tebal. Sedangkan, janggotnya terlihat seperti baru saja dicukur—pagi-pagi sudah rajin.

Usai salat, laki-laki itu melepas sarung dan melipatnya dengan rapi. Ia mengenakkan celana kain berwarna krem yang memiliki banyak saku—panjangnya selutut.

Tampangnya terlihat menyenangkan dan menenangkan, membuat siapa saja yang berjumpa dengan pria satu ini, pasti akan merasa aman. Pria itu, menghampiri ke arah Ara dan Kiki.

"Maaf, Bu. Kayaknya, setelah dua minggu saya di sini, saya baru lihat Ibu. Ibu orang baru, atau sedang berkunjung pada keluarga di sini?" tanya pria itu ramah.

"Bapak ini bukan orang sini?" Ara bukannya menjawab, malah balik bertanya.

"Bukan, Bu. Saya Ardhi, penulis travel dari Jakarta. Datang ke sini buat ngeliput, bikin tulisan, atau juga foto-fotoin keindahan alam di sini."

Setelah pertemuan tersebut, Ara dan Kiki seolah dipertemukan dengan jalan keluar dari permasalahan mereka. Usai memaparkan apa yang menimpa mereka, Ardhi pun berbaik hati membawa mereka terbang ke Jakarta, begitupun dengan ongkosnya, Ardhi yang tanggung dan tidak usah diganti.

Sebenarnya, Ara sudah bersih keras akan mengganti uang ongkos tersebut. Namun, Ardhi juga bersih keras tidak ingin menerimanya, katanya jika Ara masih ingin mengganti, ia harus menggantinya dengan yang lebih baik, lebih banyak, dan melimpah. Ara tentu tersentak mendengar perkataan Ardhi, bayangan yang tidak-tidak seketika merangsek masuk ke pikirannya, bagaimana kalau Ara dan putrinya nanti diperbudak?

"Ara, kamu gak akan bisa. Yang bisa gantiin seperti apa yang saya mau itu cuma Allah. Allah itu sebaik-baik pemberi balasan."

Hati Ara yang semula was-was berubah tenang ketika mendengar tutur katanya. Sebab, Ara yakin, orang yang yakin dengan Tuhannya tidak akan berbuat yang tidak-tidak seperti apa yang dibayangkannya.

"Masyaallah ... Saya gak akan pernah lupakan jasa Bapak ini. Saya benar-benar beterima kasih. Semoga kehidupan Bapak selalu dipenuhi dengan keberkahan."

Tiba di pulau Jawa, di kota Jakarta, mereka pun berpamitan satu sama lain, tanpa menyimpan nomor telepon ataupun alamat masing-masing untuk bisa berkomunikasi. Oleh karena itulah, mereka tidak berkomunikasi lagi. Entah, Ardhi masih ada atau tidak, yang pasti, kebaikan Ardhi selamanya akan terkenang dengan baik di hati Ara maupun Kiki.

Sebelum benar-benar pamit, Ardhi juga memberikan beberapa koin pada Ara, agar perempuan itu bisa menghubungi keluarganya melalui telepon umum.

"Assalamu'alaikum, Bapak. Bapak masih di Jakarta, kan?"

...

Kiki tengah mengelap kamera jadul milik almarhum kakeknya dulu. Baginya, kamera itu sangat bernilai. Meskipun, gambar yang dihasilkan berwarna hitam-putih, tapi yang membuatnya berharga dan spesial adalah kenangan-kenangan di baliknya.

Kakeknya merupakan seorang pekerja kantoran dan memiliki hobi memotret. Kiki sangat dekat dengannya. Sejak sekolah dasar hingga berusia 17 tahun, Kiki selalu berada di dekatnya, bercanda-ria, curhat-curhatan, dan obrolan-obrolan lainnya yang menyenangkan ketika diingat kembali. Bahkan, ketika kakeknya sakit parah, aura positifnya masih bisa dirasakan oleh Kiki. Tentu, ketika kehilangan sosoknya, Kiki yang paling sedih, yang paling terisak-isak.

Ara dan Kiki tinggal bersama kakeknya di kota Bandung. Di rumah masa kecil Ara dahulu. Sedang kakek, bekerja di Jakarta, dan biasanya pulang tiap dua minggu sekali. Namun, karena sudah ada putri dan cucunya, kakek justru pulang satu minggu sekali. Itupun selalu pulang sembari membawa hadiah, berupa buku-buku cerita yang bagus untuk Kiki.

"Nia, Bundamu mau kuliah lagi. Kamu gak papa, kan, kalau perhatian Bunda ke kamu gak seperti biasanya? Nanti Bunda tuh bakalan punya tugas kuliah, bisa juga penelitian sampe pulang malem. Keseharian Bunda bakal berbeda, Nia ...."

"Lho, gak papa banget, Kek. Justru, Nia seneng banget! Kalau udah S2, Bunda bisa jadi dosen, seperti cita-citanya Bunda."

"Eh, kamu baca diary Bunda, ya? Dasar anak ini!" Ara menarik telinga Kiki sedikit keras.

"Aw, sakit, Bunda!" pekik Kiki.

Kiki tersenyum mengingat kenangan-kenangannya bersama sang kakek. Sosok pria yang benar-benar mempunyai kasih sayang yang besar untuk anak dan cucunya.

Kiki pun menyimpan kamera milik kakeknya di atas nakas, dekat sebuah bingkai foto yang berisi fotonya bersama ibu dan kakeknya.

Kiki pun meninggalkan ruang perpustakaan dan galeri itu setelah melewati satu bingkai foto kakeknya.

Khoiril Akbar | Karyawan terbaik bulan ini
1 Mei 2009.

***

Garut, 8 dan 13 April 2023

ACC, Mom!✔️Where stories live. Discover now