Terlalu Indah

55 1 0
                                    

"Aku pernah menangis semalaman, hanya untuk berdoa pada Allah berilah aku anak dari surgamu ya Allah ... aku selalu percaya padanya ... tapi sekarang?" ucapan Hanum terhenti dengan pertanyaan, dia menangis sesegukan sembari menatap kosong mengarah pada suaminya. "Tapi ... sekarang aku ragu, bagaimana aku bisa hamil tanpa rahim?" perasaan Hanum kacau dan begitu terluka.

"Sekarang ... aku hanya menyiapkan diri dan belajar untuk ikhlas suamiku terbagi nanti ...." Hanum menghapus air matanya, perlahan menatap Kyai yang sedang menutupi kepedihan di hatinya dengan menidurkan wajahnya di ranjang.

Hanum mengulum bibir, dia bangkit tertatih dan berjalan dengan gontai. Lalu berhambur memeluk Kyai dari belakang. "Abi ... Hanum nggak apa, Abi ndak boleh nangis." Suara Hanum bergetar sembari menghapus air mata yang membuat lembab kelopak mata Kyai.

Kyai hanya mengangguk dengan sejuta peperangan di dalam batinnya, di depan kedua matanya dia melihat Hanum menanggung semua lukanya sendiri.

Kemudian Kyai tersenyum menatap putrinya dalam. "Nak ... penantianmu selama ini ndak juga sia-sia, kamu harus tetap berdoa ya ... karna Allah tau kapan waktu yang tepat, untuk mengabulkan semua doamu." Kyai masih menatapnya memberi senyuman termanis.

Hanum pun membalas Kyai dengan senyuman yang khas, meski saat ini perkataan Kyai barusan telah di telan mentah-mentah oleh Hanum. Karena itu benar-benar sangat tidak mungkin!

Lalu Hanum terduduk di tepi ranjang, menunduk memikirkan nasip diri dalam beberapa detik. Kemudian dia tersadar dengan cepat dan menaruh kakinya ke atas lalu menutup tubuhnya kembali dengan selimut.

Suasana menjadi hening, Ustadz Riza, Umi dan Kyai hanya bisa saling bertatap dalam diam. Sampai salah satu suster berpakaian putih-putih datang menghampiri mereka. "Sudah sadar, Buk?" tanya suster pada Hanum.

Hanum hanya mengangguk sembari tersenyum khas yang manisnya melebihi gula aren.

"Oke ... sekarang kita keruangan ibuk yaa ...," pinta suster itu dengan menarik ranjang Hanum diikuti dengan Kyai yang membantu mendorong ranjang Hanum.

Ustadz Riza berjalan tertatih dengan infus yang masih menempel di pergelangannya sejak tadi, dia sudah tidak lagi merasakan sakit di dalam dirinya sendiri sejak mengetahui Hanum harus kehilangan rahimnya.

***

Ketika yang lain sibuk menikmati kebahagiaanya bersama anak-anak mereka, bahkan sudah sibuk menghayal dimana esok anaknya meniti pendidikan. Sedangkan Hanum ... dia sudah berusaha sekeras mungkin, setiap hari berdoa, tapi terpatahkan dengan keadaan atau malah takdir yang sudah mengutuknya.

Hanum memandang ke atas plavon rumah sakit, air matanya terus menetes meski mulut terkunci rapat. Dia diam dan merasakan segala kepedihan di hidupnya.

Ustadz Riza menghampiri Hanum, mengelus anak rambutnya dengan lembut.

Kemudian bola mata Hanum melirik pada Ustadz Riza. "Mas ... apa kamu pernah mendengar jika plavon rumah sakit lebih banyak mendengar doa-doa tulus dibanding plavon rumah ibadah lainnya?" tanya Hanum sangat pelan dan juga lemah."

Ustadz Riza hanya menggeleng. Karena memang dia tidak pernah mendengar perkataan itu sebelumnya.

Hanum mengulum basah bibirnya, menatap kembali noda-noda yang ada di atas plavon. Pandangannya kosong mengarah ke depan. "Bagaimana sekarang, Mas? Surga yang sudah kubangun bertahun-tahun ... harus runtuh hanya karena takdir."

Ustadz Riza menggeleng lagi, kali ini dia sambil menggenggam jemari Hanum. "Sayang ... surgamu ndak akan pernah hancur, Mas janji! Kita akan tetap bahagia sama seperti kemarin, janji yaa dengan Mas kita harus ikhlas dan yang harus kamu ketahui ... Mas juga sama sepertimu sangat sakit dengan keadaan saat ini, Hanum!" ucap Ustadz Riza hampir menangis.

Hanum terhenyak mendengar ucapan suaminya, menoleh tajam pada Ustadz Riza. "Sama?" tanyanya dengan nada yang tercekat di tenggorokan. "Katamu kita sama? Mas yakin luka kita sama? Sedangkan Mas sangat mengambil untung besar atas takdirku ini ... atau sekarang aku harus bilang Mas selalu beruntung dibanding aku? Atau sekarang ... aku harus bilang takdirku memang selalu buruk untukku dan lukaku sangat lebih, lebih dan lebihhhh sakit dibanding kamu, Mas?!" suara Hanum tidak sengaja keras pada suaminya.

Ustadz Riza seketika melemas dia belum pernah di caci seperti ini oleh Hanum, perkataan Hanum yang terlalu lantang ... membuatnya kehilangan kewibawaannya sebagai suami di depan kedua orang tua Hanum.

Dengan bantuan besi tepi ranjang, Ustadz Riza bangkit untuk melangkah. "Aku pergi dulu." Suaranya menangkap nada-nada kesedihan walau susah payah dia tahan, tapi masih terlihat juga.

"Kamu mau kemana? Pergi dan kembali membawa selingkuhanmu?" tanya Hanum dengan segala kesensitifannya, meski dia sendiri yakin jika suaminya tidaklah berselingkuh pada Nadin.

Ustadz Riza hanya menoleh dan melanjutkan langkah keluar, membiarkan Hanum yang telah menangis tanpa berjalan kembali padanya. Ustadz Riza membisu dan memilih diam. Dia menutup pintu pelan, lalu duduk menyender dikursi tunggu pasien.

Membuka kancing bajunya dengan gerah, kepalanya sengaja disenderkan di dinding. Matanya terpejam dan kembali mengingat perkataan Hanum tadi. "Dia fikir aku bahagia saat ini? Aku tahu dia hancur ... tapi apa harus selarut ini?" ungkap Ustadz Riza kesal.

Pria dengan cairan infus yang sebentar lagi akan habis itu tiba-tiba terfikir pada Nadin. Dia mengambil ponselnya ... membuka aplikasi logo hijau untuk mengirim pesan pada Nadin, tapi dia urungkan karena ragu.

Kemudian dia keluar dari aplikasi itu dan membuka galeri tersembunyi di ponselnya, di sana banyak foto berderet di isi oleh foto Nadin yang Ustadz Riza ambil diam-diam saat dia sedang mengajar di kelas Nadin.

Bibir Ustadz Riza melengkung sempurna saat memandang foto Nadin, jantungnya berdebar-debar bak anak remaja yang sedang jatuh cinta. Dia terus tersenyum setiap melihat foto Nadin slide demi slide. Sampai akhirnya dia tersadar itu salah ....

Ustadz Riza kembali termenung, bibir yang tadinya melengkung sempurna kini datar tanpa latar.

Fikirannya menari memikirkan Hanum, wanita sederhana, menarik meski tidak sembarang mata bisa melihat keindahannya.

Dia yang benar-benar mengerti dengan segala keadaan meski sedang di bawah sekali pun, dia yang pandai menempatkan diri dalam suasana apa saja, dia yang tahu bagaimana selayaknya seorang istri di mata agama. Sekarang saat dirinya sadar dia sedang diduakan ... dia masih saja menyukai dan tetap setia pada Ustadz Riza. "Aku yang seharusnya bertanya pada Hanum, masihkah dia sanggup berlayar denganku meski penghuninya bukan lagi berdua melainkan bertiga?" ujar Ustadz Riza sangat pelan.

Tidak bisa dipungkiri ada ketakutan yang amat dahsyat di dalam dada Ustadz Riza, dia takut jika Hanum sengaja memberhentikan pelayaran bersamanya atau justru suatu saat nanti Hanum menjadi keindahan yang harus pergi menjauh dari kapalnya.

Ustadz Riza menghela napas panjang, lalu kembali membuka galeri yang tadi sengaja dia matikan layarnya. Ia memandang foto Nadin detail untuk membandingkannya pada Hanum. Dia terus menerus memandang foto-foto Nadin sampai dia tenang.

Hingga Ustadz Riza tak sadar jika sedari tadi tanpa sepengetahuannya, Kyai sudah berada di sampingnya ntah sejak kapan.

"Ustadz ... Abi rasa ini sudah termasuk zinah. Hentikan sebelum kamu terjerumus." Kyai tersenyum lalu duduk di samping Ustadz Riza.

Sedangkan Ustadz Riza gelagapan memasukkan ponselnya di dalam saku celana.

"Bisa-bisanya ... memandang foto wanita lain saat perasaan istrimu terluka." Kyai berbicara lurus ke depan. "Kamu harus ingat ucapan ini, Hanum yang nggak berharga bagimu ... dia sangat berarti untuk kami! Orang tuanya!"

Istri Pengganti UstadzTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang