Penolakan

33 0 0
                                    

Hening, suasana menjadi diam mencekam dengan pandangan saling menunduk hanya terdengar suara tangisan yang bertaut antara Nadin dan Hanum. Jika tadi Nyonya Alice begitu bawel dengan ucapan pedasnya, kini wajahnya kaku bak kanebo kering setelah mendengar jeritan protes dari Nadin.

Hanum menarik lengan Nadin yang masih menatap tajam wajah Ustadz Riza. Suara deru gemuruh napas emosi masih terdengar kuat dari dalam dadanya, menyisakan rasa pedih yang tidak mampu Nadin jelaskan.

"Cukup, Nadin! Umi tidak pernah mengajarimu kurang ajar seperti itu! Dia suamimu, tolong jaga nada bicaramu," ujar Hanum memecah kesunyian sambil memarahi Nadin bak anaknya sendiri.

Nadin menoleh dan menatap wajah Hanum, seolah tidak percaya Hanum akan memarahinya di depan suami dan mertuanya.

"T-tapi, Umi?!" tanya Nadin wajahnya mengadah dengan mata berlinang.

"Cukup, Nadin! Semua yang dikatakan Mommy adalah benar, semua mimpiku telah terkubur bersama terangkatnya rahimku. Kubuang semua harapan yang sebelumnya sempat kuperjuangkan, sekuat mungkin merelakan semua hal tanpa kecewa ...." Suara Hanum tercekat ia menangis pecah lalu berusaha menyadarkan dirinya kembali. "Namun ... ternyata itu tidaklah mudah, aku masih kecewa, cemburu, takut dan khawatir semua itu muncul secara bersamaan yang ntah sampai kapan aku bisa menerima semuanya."

"Umi ...." Nadin menggoncangkan bahu Hanum. Tetapi Hanum tidak merespon ia tetap menangis dan melanjutkan perkataannya.

"Lagi ... aku kalah sebelum mencapai puncaknya, sekarang aku hanya perlu bertahan hingga saatnya nanti dengan perlahan aku akan menghilang seperti buih di lautan."

"Umi ...." Sontak Nadin langsung memeluk Hanum, "Nggak ... Umi, nggak! Umi akan tetap disini tidak akan pernah hilang sampai kapan pun!" balas Nadin terisak dan wajahnya ditenggelamkan ke dalam dada Hanum.

Hanum mendorong Nadin pelan, melepas eratan pelukannya.

"Cukup, Nadin. Sudah! Aku memang harusnya tahu diri dan sampai kapan pun tidak akan pernah menjadi pengganti ibu kandungmu." Hanum tersenyum dalam tangis. "Kamu boleh memanggilku dengan sebutan umi, tapi bukan berarti dirimu bisa menganggapku sebagai ibu."

Hanum berbicara tegas dengan perasaan yang hancur, sejujurnya ia tahu bahwa hati kecilnya pun sudah menganggap Nadin sebagai anak kandungnya sendiri. Tetapi, tidak ada pilihan lain untuk menjauhi Nadin beberapa hari. Setidaknya sampai hati Hanum bisa tenang dan mengikhlaskan semuanya.

"Umi ...," ujar Nadin menggeleng sambil menangis deras. Ia berlari keluar dengan perasaan kecewa terhadap Hanum.

Hatinya sakit, semua yang pernah Nadin rasakan pada Hanum dulu kini terbayang lagi. Selama ia hidup, ia tidak pernah merasakan pelukan, nasihat dan sentuhan yang lembut dari ibu kandungnya ... sedangkan pada Hanum, semenjak ia masuk ke dalam pondok pesantren Ustadz Riza, Hanum memberikan semua hal itu ....

Semua hal yang tidak pernah ia dapatkan saat ia kecil, kedua orang tuanya terlalu sibuk berkelahi, memecahkan piring, saling membentak dan saling menyalahkan di hadapan Nadin. Hingga rasa trauma itu sampai saat ini masih membekas.

Sekuat tenaga Nadin mengubur rasa trauma itu, berusaha mencari tempat ternyaman menggantikan sosok ibu yang sempat hilang.

Lalu ... kini, tempat ternyaman itu sudah Nadin dapatkan. 
Bahkan tempat itu bisa dengan cepat ia rengkuh dalam sekejap. Tetapi ... lagi-lagi, tempat ternyaman itu menolak untuk dihuni ....

Hingga Nadin tersadar, apa mungkin dialah sebab dari semua orang berkelahi?

Apa mungkin dialah sebab dari semua orang berpisah?

Atau malah mungkin karena dirinya semua orang kehilangan kebahagiaan hidupnya?

Nadin meringkuk sambil menangis dan menyalahi kehadiran dirinya di rumah ini.

***

Di sisi lain, Nyonya Alice memandang Hanum sinis lalu dia melangkah melewati Hanum sambil mencebik keluar dari dalam kamar.

Sedangkan Ustadz Riza yang sedari tadi terfokus pada Hanum kini melangkah mendekatinya. Mengambil jemari tangan Hanum lalu mencium kening wanita yang selama ini telah melayani dirinya dengan sepenuh hati.

"Apa benar yang kamu ucapkan tadi, Sayang?" ujar Ustadz  Riza sangat pelan sambil memandang bola mata Hanum dalam, sesungguhnya ia selalu bersyukur mempunyai istri yang cantik hati maupun fisik.

Namun, apalah daya ... keadaan memaksa Ustadz Riza untuk menikah lagi demi hadirnya sang buah hati. Ia pun terus menepuk pundak Hanum sebagai isyarat menguatkan istrinya.

"Maaf, Mas ... kumohon tinggalkan aku sendiri," katanya tidak memandang wajah Ustadz Riza sama sekali.

"Baiklah."

Ustadz Riza melangkah meninggalkan Hanum sendirian di dalam kamar.

Kini suasana kembali hening, air mata Hanum terjatuh semakin deras, perkataan Nyonya Alice sangat membekas di hatinya padahal Hanum pun belum sepenuh ikhlas atas rahimnya yang diangkat dengan terpaksa.

Hanum kembali frustasi, rasa pedih jahitan di perut semakin membuatnya muak. Hanum yang masih dipenuhi emosi meninju jahitan di perutnya kencang, hingga darah segar mengalir dari sana.

Ia menangis sejadi-jadinya, berteriak sekencang mungkin agar hatinya lega. "Nak ... apa kabarmu hari ini? Maafkan Umi harus membuat jalan hadirmu berputar kembali."

"Maafkan Umi, Nak ...."

"Bilang sama Allah gunakan mukjizatnya untuk kita bertemu ya, Nak ...."

"Astaghfirullah, maafkan aku ya Allah." Hanum menghusap air matanya menarik napas panjang lalu menghembuskannya secara perlahan.

Kemudian ia bangkit melangkah mengarah pada cermin dan duduk menatap dirinya yang begitu hancur, lalu membuka laci berisikan alat tes kehamilan yang isinya memenuhi hampir sekotak laci.

Hanum melepas kotak laci dan memandang puluhan alat tes kehamilan itu selama beberapa detik lalu tersenyum. "Terima kasih, sudah menemani perjuanganku."

Lagi-lagi air mata Hanum menetes, dadanya begitu sesak saat membuang semua tes kehamilan itu. Baginya kini tiada guna menyimpan semua alat tes kehamilan, tadinya Hanum menyimpan sebanyak itu agar nantinya dikeluarkan saat dirinya hamil dan bisa melihat seberapa banyak perjuangannya.

Namun, nyatanya?

Semua alat itu ia keluarkan saat dirinya kalah di dalam perjuangan.

Hanum menangis berlutut di depan kotak sampah, "Ya Allah ... kirimkan malaikat kecil untukku meski tidak di dalam rahim lagi, aku percaya akan kuasamu ... Ya Allah ...."

Tringgg!!!

Tringg!!!

Ponsel Hanum berdering mengejutkannya, ia berlari tergesa-gesa mencari keberadaan ponsel yang lupa dirinya taruh. Hingga akhirnya ia temukan dan di layar ponselnya satu kontak nama tertera dalam panggilan. 'ABI LOVE YOU' dengan cepat Hanum jawab.

"Assalamualaikum, Nak ...," terdengar suara umi di dalam panggilan.

"Walaikumsalam, Umi ... iya ada apa?"

"Ndak ... umi hanya ingin tau kabarmu, sekaligus mau ngasih tau maaf umi ndak bisa nengok kamu dulu ... abi lagi sakit."

"Iya ndak apa, Umi. Hanum juga sudah baikan, nanti Hanum akan sempatkan bisa ngejenguk abi," ujar Hanum menahan dirinya agar terdengar baik-baik saja.

"Nak, kamu baik-baik saja kan? Kamu habis nangis? Apa suamimu masih membicarakan tentang rencana poligaminya lagi?" tanya umi yang terdengar begitu khawatir akan keadaan Hanum.

"Ndak umi, Hanum cuma pilek. Sudah dulu ya umi ... kepala Hanum sakit sekali."

"Hanum, umi tahu kamu sedang berbohong. Tapi tidak apa, mungkin kamu belum siap berbicara pada umi. Umi tutup telponnya ya, Nak ... Assalamualaikum."

"Walaikumsalam," jawab Hanum di ujung panggilan.

Hanum terlalu sibuk memikirkan perasaannya, hingga ia lupa dengan adanya Kyai dan umi yang menolak keras tentang adanya poligami ini.

Bagaimana jika nanti Kyai dan umi tahu? Jika sebenarnya Ustadz Riza sudah menikah tanpa sepengetahuan mereka?

Istri Pengganti UstadzWhere stories live. Discover now