1. Hai Para Pecundang

14 2 0
                                    

SEAN
5 September

Sudah satu jam aku duduk di meja bundar putih polos dan membosankan ini. Aku tidak sendirian, ada tiga orang lainnya yang daritadi sibuk dengan ponsel dan bukunya sendiri. Lampu remang di tengah meja menambah kesan seakan ini pertemuan rahasia penuh kesunyian. Aku sangat penasaran apa yang membuat mereka seperti tidak tertarik untuk berbincang-bincang atau sekadar mengatakan hai. Maksudku, kita bersepupu, kita punya ikatan saudara. Kita sudah lama tidak bertemu, apakah mereka tidak akan ada reaksi persaudaraan yang lebih normal dari ini? Kecanggungan ini lama-lama membuatku gerah, ditambah mesin pendingin udara sepertinya agak rusak karena suhunya terasa tidak konsisten.

"Hai para pecundang, lama tidak berjumpa."

Sapaan tengil dan suara pintu ditutup sangat cukup untuk membuat kami kompak menoleh. Di sana berdiri anak laki-laki dengan rambut keriting kering yang lebat, seragamnya tidak dikancingkan dan dasinya dibiarkan tanpa simpul. Tangannya menenteng tas karton dengan bau sedap yang sudah sampai lebih dulu ke hidungku daripada langkahnya ke meja bundar. Ia duduk di kursi kosong sebelahku, bibirnya menarik seringai sebelum memakan buritonya. Dari gaya selengeannya, aku tahu dia pasti Max. Sepupu paling berani yang kukenal.

"Hai juga pembuat onar."

Ah, bukan aku yang mengatakan itu walaupun aku sangat ingin sekali mengatakannya juga. Max mengangkat kepalanya dan bertemu pandang dengan cowok kurus berkacamata yang membingkai tampang kurang tidurnya. Jason si mulut jahat, aku selalu menyebutnya begitu sejak kecil karena kata-kata yang ia keluarkan kadang-kadang memang jahat.

Max tersenyum miring."Oh, si cupu. Sudah bertemu dengan ultraman?"

Jason tak membalas lagi. Dia kembali membaca buku dan sesekali mengecek ponselnya. Max tampak tak puas dengan reaksi Jason. Aku tidak ingin tahu apa kerusuhan yang sedang ia rencanakan selanjutnya karena sudah jelas itu pasti bukan hal yang bagus. "Lalu kau cewek menor, apa yang kau lakukan di sini?"

Aku refleks menghela napas, dia baru saja menyinggung rambut pirang di depanku yang sekarang sudah menaikkan alis runcingnya. "Wah berat badanmu turun? Mana obesitas yang kau banggakan itu?" Pertanyaan Bella tak berhasil membuat Max marah, tetapi senyumnya masam menahan kegetiran.

"Sudah hilang ditelan kenyataan hidup." Max menjawab setelah beberapa saat mengunyah buritonya.

"Puitis dan hiperbola tidak cocok denganmu," hardik Bella. "Cewek mana yang membuatmu ingin berubah?" Tanyanya lagi.

Max enggan meneruskan pembicaraan, dia hanya mengangkat bahu untuk mengakhiri percakapan dan kembali sibuk dengan buritonys. Sepertinya itu bukan bahan pembicaraan yang bagus baginya. Aku tak ingin penasaran, tetapi memangnya Max bisa berubah karena cewek? Seingatku dulu waktu kecil, dia bahkan lebih senang membuat cewek yang dia suka jadi ilfeel padanya. Katanya untuk mengetes saja, tetapi menurutku itu jelas bodoh sekali.

"Sean yang lumayan tampan, kau sudah punya pacar?" Oh, sial. Aku paling benci kalau yang lain tidak punya jawaban bagus, Bella akan bertanya padaku. Bagaimana ini? Haruskah kujawab jujur aku bahkan tidak pernah kencan dengan siapa pun sejak aku lahir? Kalau kujawab bohong dia bakal mendesakku menunjukkan muka pacar untuk menilainya.

Aku menggeleng pelan sebagai jawaban. "Kau pasti bercanda. Bagaimana dengan pasangan prom?"

"Aku tidak datang saat prom."

Bella menghela napas. "Kau pasti bercanda. Kenapa sepupu-sepupuku cupu semua? Padahal kalian juga tidak jelek-jelek amat."

Bella ini sebenarnya si mulut jahat nomor 2, tetapi kadang-kadang mulutnya bisa jadi lebih jahat dari Jason.

"Aku sibuk mencari prestasi. Tidak ada waktu untuk kencan atau semacamnya," kata Jason tanpa melihat Bella. Suara halaman buku yang sengaja dibalik dengan suara keras menandakan ia ingin mengakhiri pembicaraan ini. Dan sepertinya Bella cukup peka, dia mendecak dan tidak mengatakan apa-apa lagi.

Sekarag suasana jadi lebih kondusif, dan kuharap tetap begini sampai beberapa jam kedepan. Aku melirik arloji di pergelangan tangan Max, sudah hampir pukul sembilan tetapi tidak ada orang dewasa yang mau menjelaskan tentang sekolah baru ini atau membawa kami masuk ke dalam kelas dan belajar.

"Sekolah macam apa yang tidak punya klub teater?" Kata Bella tiba-tiba. Jemarinya terlihat menggulir ponsel. Dia pasti sedang membaca web sekolah.

"Mereka juga tidak punya klub futbol," celetuk Max setelah mengunyah potongan terakhir buritonya. "Kehidupan sekolah ini pasti sangat membosankan."

"Atau mereka tidak punya penonton, jadi lebih baik menutup klubnya saja." Jason agak sedikit benar, tetapi bukankah futbol bisa berjalan tanpa penonton?

"Hanya berlaku untuk teater," kataku. "Futbol seharusnya bisa berjalan asal punya lawan main."

"Mungkin memang tidak ada yang suka teater." Aku menoleh dan mendapati ternyata masih ada satu sepupu lagi yang lupa kusebutkan. Namanya Naina, dan kalau ditanya sepupu mana kah yang paling waras jelas jawabannya adalah dia. Sejak dulu Naina tidak pernah berbuat aneh-aneh seperti tiga sepupuku lainnya, benar-benar gambaran bagus cucu keluarga kaya. "Atau ada misteri di baliknya. Aku sudah menelusuri sejarah sekolah ini, mereka dulu punya klub teater tetapi sudah dibubarkan beberapa tahun yang lalu." Naina menutup bukunya dengan senyuman cemerlang.

Oke, kutarik kata-kataku. Naina tak benar-benar kelihatan lebih normal dari mereka. Aku lupa kalau pencurian mangga yang kami lakukan selalu diinisiasi oleh Naina. Dia sangat pandai mencari sesuatu, dulu kukira dia bakal berakhir menjadi anak cerdas yang mendalami sains seperti kakaknya, tetapi ternyata tidak. Katanya dia lebih tertarik dengan seni.

Bella menghela napas. "Oh, ayolah yang benar saja. Aku lebih rela kau mendandaniku untuk cosplay daripada kau mengajak cari tahu soal hal semacam ini, terakhir kali kau membuat sebuah bar terbakar karena keingintahuanmu," katanya sambil mengibaskan tangan tak suka. Bella terlihat trauma dengan apa pun yang ingin dilakukan Naina saat ini.

Oh, tunggu. Apa aku tidak salah dengar barusan?

"Terakhir kali? Kalian pernah bertemu sebelum ini?" Aku kalah cepat, Max sudah lebih dulu mengutarakan pertanyaan itu.

Bella dan Naina kompak mengangguk. "Kami bertemu tanpa sengaja di festival musim panas sebekumnya fan bertukar nomor." Bella tiba-tiba menyodorkan ponselnya. "Aku sebaiknya punya nomor kalian juga."

Kami menggilirkan ponsel, kalau dipikir-pikir lagi aku jadi bingung. Bukankah dulu kami sangat lengket untuk tetap bersama, kenapa sekarang jadi sedingin ini? Apakah ada sesuatu yang kulewatkan? Oh, sepertinya iya. Kami berpisah sejak lima tahun yang lalu dan tidak diizinkan untuk saling menghubungi. Kalau dulu aku bisa santai saja dengan ini, tetapi sekarang kami malah duduk satu meja bersama membuatku mendadak jadi was-was.

Apa yang akan terjadi kalau aku tetap di meja? Haruskah aku keluar saja?

Let's Run Five Little Rocks!Where stories live. Discover now