1.2 Diam dan Jangan Buat Onar

7 1 0
                                    

Tahu apa yang lucu? Kami akhirnya tetap berbicara mendebatkan sesuatu yang sebenarnya tidak perlu diperdebatkan. Maksudku mereka seperti benar-benar suka menghabiskan waktunya hanya untuk berdebat seperti ini, apakah dulu kami juga seperti itu?

"Bisakah kau diam saja dan baca bukumu yang jelek itu?" Kata Isabella akhirnya pada Jason. Dan yeah, Jason seingatku tak pernah mau kalah dengan Bella, jadi aku sudah tahu apa yang akan dia katakan selanjutnya akan membuat Bella lebih kesal. "Ya ya ya, lebih baik aku membaca buku jelekku daripada berdebat dengan si bodoh penyembah validasi dunia maya sepertimu."

Bella hendak membalas lagi, tetapi sebelum ia sempat berkata pintu tiba-tiba terbuka dan mengalihkan atensi kami semua.

Dan tebak siapa yang muncul di sana? Kakek kami yang terakhir kali bertemu dengan kami lima tahun yang lalu, dan sejujurnya aku sudah tidak terlalu ingat dengan mukanya. Dia bahkan terlihat tak setua itu untuk ukuran kakek-kakek. Aku bingung bagaimana menjelaskannya, tetapi ubannya tak begitu banyak, giginya masih utuh, dan kulitnya masih sesegar kulit ayahku.

Dia menutup pintu dan menduduki satu-satunya kursi kosong tersisa di meja bundar ini. "Bagaimana kabar kalian selama lima tahun terakhir ini?"

Tak ada yang menjawab, oh, tunggu, apa cuma aku yang ingat dia adalah kakek kami?

"Apa kita saling kenal?" Max mengutarakan kebingungan itu lebih dulu daripada yang lainnya.

Kakek mengembuskan napas berat dan geleng-geleng kepala, dia tidak habis pikir dengan apa yang dikatakan Max. "Cucu-cucuku yang kadang-kadang nakal dan susah diatur, bagaimana kabar kalian?"

"Tapi kau tidak kelihatan sudah tua, apa kau benar kakek kami?" Ya, memang sepertinya bukan aku saja yang menyadari penampilan fisik kakek kami terlihat kelihatan terlalu muda untuk ukuran kakek-kakek yang punya cucu seusia kami. Jason melempar bukunya ke meja dan mulai mencondongkan badan, kurasa ia sedang mengamati dengan saksama. "Ya, kau sepertinya memang kakek kami tetapi sama sekali tidak kelihatan tua. Bagaimana bisa?"

"Itu tidak penting, sekarang yang penting adalah apakah kalian tahu kenapa kalian dipindahkan ke sekolah ini?" Kakek bertanya dengan intonasi rendah dan mata yang menatap tajam pada Jason, membuatnya kembali duduk dengan tenang.

Hening sesaat, tak ada di antara kami yang tahu apa yang sebenarnya terjadi atau alasan kami tiba-tiba harus pindah sekolah. Rumahku di Los Angeles dan sekolah ini yang dikelilingi hutan membuatku mendadak merasakan ketidaknyamanan, seperti terlalu sepi meskipun aku suka sepi tetapi ini agak berlebihan sepinya.

"Karena Max membobol ATM?" Tanya Bella tiba-tiba. Kami baru duduk beberapa menit di sini dan sepertinya Bella sudah memupuk kebencian pada Max.

"Apa maksudmu?" Max meninggikan suaranya dengan tak terima.

Bella memutar bola matanya. "Ini sekolah asrama. Tidak mungkin kau tidak dikirim kesini kalau kau tidak bermasalah. Kata tetanggaku, sekolah asrama untuk anak-anak bermasalah."

"Kalau begitu kau juga anak bermasalah. Kau habis merundung anak siapa?" Max menyerang balik dengan asumsinya. "Mukamu benar-benar seperti cewek populer tukang bully di sekolah."

Ah, cukup. Aku sudah kesal. Mereka terlalu berisik dan aku muak dengan pertengkaran tak berujung mereka. Aku menggebrak meja dan membuat mereka tiba-tiba menatapku bingung. "Bisakah kalian diam? Kakek sepertinya akan menyampaikan sesuatu, jadi diam dan dengarkan saja. Aku ingin ini segera selesai dan masuk kelas." Kataku akhirnya sambil mengacungkan telunjuk ke jarum jam di tanganku yang sudah menunjukkan kalau kami sudah satu jam di sini.

Akhirnya mereka mulai menurut dan diam. Aku agak khawatir mereka memulai pertengkaran lagi, jadi aku memelototi mereka berdua selama beberapa saat untuk berjaga-jaga.

"Terima kasih, Sean. Sejak dulu kau memang yang paling bisa diandalkan mengatur mereka."

Saat kakek mengatakan itu, sejujurnya aku tak mengerti apa maksudnya dan tak begitu ingat apa yang kulakukan di masa lalu pada mereka, tetapi sepertinya mereka cukup bisa menurut padaku? Entahlah.

Kakek mengembuskan napas berat. "Apakah kalian sendiri tidak menyadari mengapa kalian dikirim kemari?" Secara otomatis kami menoleh kepada satu sama lain. Naina meneguk ludah kasar, aku yakin ada yang dia sembunyikan. Bahkan Jason tiba-tiba mengubah posisi duduknya agar lebih tegak. Oke, mereka bertingkah lebih aneh dari Isabella dan Max yang saat ini tampak tenang. Dunia rasanya sedang terbalik. 

"Aku tidak akan menjelaskannya lebih jauh lagi, kalian sudah dewasa dan seharusnya bisa menilai diri kalian sendiri." Kakek tersenyum ganjil. Aku merasa tidak nyaman dengan senyumannya, seakan ia benar-benar baru saja menangkap basah kami mencuri ayam. "Aku juga tidak berniat memberikan kalian hak istimewa atau semacamnya mentang-mentang kalian cucuku, jadi beradaptasilah dan jangan buat onar seperti yang sudah-sudah."

Max mendadak tertawa menggelegar. "Yeah, kau benar-benar kedengaran kecewa dengan kami, ya?" Alis kirinya naik, kelihatan becanda dan mengintimidasi di saat yang bersamaan.

Kakek tampak tak terganggu dengan reaksi Max. Mungkin dia sudah terlalu hapal bagiamana kami akan bereaksi. "Kadang-kadang kau peka juga ya, Max." Kakek berdiri dan berjalan mengitari meja kerja di dekat jendela. Ia membuka laci dan mengeluarkan beberapa kertas dari sana. "Mulai sekarang kalian tamggungjawabku. Apa pun yang terjadi kalian harus menaati aturan di sini. Aku juga sudah membuat kesepakatan dengan orangtua kalian bahwa mereka dilarang ikut campur selama kalian menempuh pendidikan di sekolahku." Kakek menggelar kertas-kertas putih salju di mejanya. "Kemarilah, kalian bisa melihatnya sendiri."

Jason jadi orang yang paling tak kuduga berinisiatif mendekat ke meja kerja kakek lebih dulu, disusul Isabelle dan Naina. Aku mengekor di belakang mereka dan mencari namaku. Dalam kontrak tersebut tertulis; terserah apa yang akan kalian lakukan padanya, yang peting aku tak perlu melihatnya lagi berkeliaran di rumah ini. Dan tentunya  ditandatangani oleh ayahku sebagai wali murid. Aku tersenyum miring sebelum menghela napas pasrah, kukira punyaku sudah paling menyakitkan tetapi Isabelle yang membaca persyaratan dalam kontrak itu keras-keras membuatku sadar ada yang tidak beres dengan orangtua kami.

"Jauhkan anak gila itu dari istriku," kata Isabelle dengan lantang. "Jauhkan anak gila itu dari istriku," ulangnya sambil tertawa. Ia lantas menoleh pada Naina. "Apa kata mereka?" tanyanya.

Naina malah meremas kontraknya dan kulihat Jason melipat kertas itu sambil melengos. Dugaanku mungkin benar, ada yang tidak beres dengan orangtua kami, atau mungkin kami.

Sementara itu aku tak melihat kontrak Max di dekat kami. Kontraknya agak jauh di pojok meja dan Max mengembalikan kontraknya pada kakek setelah membacanya sekilas. Terlihat lebih mencurigakan daripada milik Naina dan Jason.

Perhatian kami teralihkan saat Max tiba-tiba menanyakan sesuatu yang ada di lemari kaca sebelah meja kakek. I menunjuk sebuah telepon antik yang tampak sudah lama tidak dibersihkan dengan debu cukup tebal. "Kakek, apa ini punyamu? Boleh aku menjualnya?"

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Nov 24, 2023 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Let's Run Five Little Rocks!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang