10. Trauma yang muncul

4.9K 272 1
                                    

⚠️kata kasar (18+)⚠️

"Gimana kondisi kamu?" Seorang wanita paruh baya tersenyum hangat ke arah Radhit yang duduk di depannya.

"Alhamdulillah, baik, dok." Radhit membalas dengan senyum hangat.

"Saya dengar dari Galang kamu sudah menikah. Selamat, ya." Wanita itu masih dengan senyumnya yang hangat.

"Terima kasih, dok."

dr. Sri Fatimah, Sp.KJ. Nama yang tertulis pada papan nama di meja. Seorang wanita paruh baya yang merupakan tante dari Galang. Sudah sepuluh tahun Radhit berkonsultasi dengan Fatimah dan tentunya atas bantuan dari Galang.

"Bagaimana setelah menikah?"

Radhit tersenyum, "Semenjak saya kembali ke Jakarta setelah menikah, saya sudah nggak mimpi lagi. Terakhir kali waktu nemenin nenek di rumah sakit."

"Syukur kalau begitu, sepertinya memang bahagia, ya, menikah." Radhit membalas dengan senyuman tipis.

Konsultasi Radhit berlangsung selama satu setengah jam. Ia langsung menjemput Oceana yang berada di apartemennya sendiri. Rencananya hari ini mereka akan pindah ke rumah yang memang sudah disiapkan oleh Radhit sebelum mereka menikah.

Butuh waktu sekitar 45 menit hingga Radhit sampai di apartemen Oceana. Hampir seminggu tinggal di sini membuat Radhit mulai mengenal lingkungan sekitar apartemen Oceana. Ia pun menyempatkan diri untuk membeli jajanan untuk istrinya di depan gedung apartemen.

Radhit memasuki apartemen Oceana, tetapi ia tidak melihat Oceana dimanapun.

"Ci?" Radhit berjalan ke arah dapur. "Oci?" Ia kembali ketika tidak mendapati Oceana di dapur. Satu-satunya ruangan yang belum ia cek adalah kamarnya.

"Oci?" Radhit membuka pintu kemudian ia mematung di depan pintu kamar. Pemandangan Oceana yang baru saja keluar dari kamar mandi dengan handuk yang melilit tubuhnya. Hanya handuk, Radhit yakin akan hal itu.

"Mas!" Pekik Oceana terkejut saat mendapati Radhit yang mematung di depan pintu, ia buru-buru masuk ke dalam kamar mandi lagi.

Radhit buru- buru menutup pintu kamar. Ia memegang dadanya sendiri. Jantungnya berdetak cukup hebat. Entah karena terkejut atau ada hal lain, hanya Radhit dan Tuhan yang tahu.

"Lo bayangin apa, Radhit bangsat!" Radhit memukul pipinya sendiri saat di otaknya terbayang sesuatu yang tidak seharusnya ia bayangkan, meskipun tentang istrinya sendiri.

Radhit segera melangkah ke dapur dan meminum segelas air putih untuk menjernihkan pikiran.

Tidak berbeda dengan Radhit, Oceana pun sama gilanya setelah mendapati Radhit melihat dirinya yang hanya mengenakan handuk. Padahal semenjak Radhit tinggal di apartemennya, ia mulai membiasakan untuk berganti pakaian di kamar mandi, tetapi tadi ia mengira Radhit belum pulang dan sengaja tidak membawa pakaian ke dalam kamar mandi.

"Ya Tuhan, malu." Oceana merebahkan tubuhnya di kasur, lalu menutup wajahnya dengan bantal.

Beberapa saat kemudian suara ketukan pintu terdengar bersamaan dengan suara Radhit, "Ci, belum selesai? Ayo, makan! Aku udah laper."

"Iya, sebentar." Oceana buru-buru merapikan rambutnya. Menghela napas panjang, berharap rasa gugupnya tidak terlihat oleh Radhit.

Keduanya makan dengan tenang tanpa suara sedikitpun, keduanya juga dapat merasakan suasana canggung yang menyelimuti makan siang hari ini.

"Kamu udah beres-beres?" Suara Radhit terdengar untuk pertama kalinya sejak mereka memulai makan siang.

Oceana mengangguk, "Sudah."

Our Traumas [End]Where stories live. Discover now