XIV

5 0 0
                                    

Hubungan yang terjalin selama dua tahun, pada akhirnya meluntur. Menyisakan dua insan yang sama-sama menyesali perbuatan bejat mereka. Keduanya sama-sama dipojok ruangan. Yang satu terisak pilu, yang satunya terdiam bisu.

Lelaki itu hanya menggumamkan, "Maaf ..." Namun tak disangka wajahnya jauh dari kata menyesal. Ia tersenyum senang, seolah mendapat lotre milyaran rupiah.

Di pojok lainnya, wanita itu meringkuk, julukannya sudah berganti bersamaan dengan leburnya harga diri. Gerakan impulsifnya membuat tangannya tergerak memukuli kepalanya sendiri hingga kelelahan. Tangisnya tak kunjung surut. Semua hanya menyisakan kepedihan mendalam juga penyesalan. Berulang andai ia ucapkan dalam hati, namun tak memperbaiki nasi yang sudah menjadi bubur, terlanjur.

Rasa cinta yang sempat tumbuh dihatinya lenyap terganti amarah juga kebencian. Rasa jijik, kotor, membuatnya mengusap tiada henti. Dunianya berhenti berputar.

Suara nada dering memecah keheningan di pondok itu, berasal dari ponsel Ferdo.

"Sayang? Kamu susah sekali dihubungi dari semalam, ada masalah?"

"Tidak, aku akan menghubungimu lagi nanti."

".... oke."

Hanya sampai disitu panggilannya. Tak dapat didengar Gresta, membuat Ferdo mengucap syukur. Setidaknya ada satu hal lagi yang bisa ia lakukan, menyiksa batin kekasihnya. Lelaki itu berjalan mendekati kekasihnya yang masih menyayangkan kejadian semalam. Ia menepuk pundak polos itu, "Sayang?"

Gresta langsung menepis kasar tangan kekasihnya. Menatapnya dengan penuh kebencian, "Aku membencimu! AKU MEMBENCIMU FERDO! LELAKI BRENGSEK!" Wanita itu memukuli bahu Ferdo dengan membabi buta. Meluapkan amarah, kebencian, juga kekecewaan pada kekasihnya.

***

"Bunda ... Andra menyerah saja, yah? Dia sepertinya sangat membenciku ..." Matanya berkaca-kaca, ingin menumpahkan kesedihannya di pangkuan Sang Ibunda.

Elusan dari wanita yang melahirkannya menenangkan. Seolah terbaring di hamparan padang rumput yang indah dan sejuk, membawa ketenangannya sendiri.

"Dia bukan membencimu, Nak, dia hanya terkejut saja."

"beri dia waktu. Bunda yakin, lambat-laun dia akan luluh lagi sama kamu."

"Tapi kapan, Bunda?" Lelaki itu mendongak, menatap wanita cantik yang lebih tua darinya namun tak nampak tua sedikitpun.

"Sabar, Sayang."

***

Sudah minggu kedua, semenjak kejadian mengerikan yang menimpa wanita itu. Setelah memberitahu Sang Ibu, wanita itu mendapat angkara murka yang dahsyat. Tamparan, pukulan, dan bentakan keras hanya tertuju padanya.

Niat awal menjadikan rumahnya sebagai sandaran penopang hidup, nyatanya harus dikandaskan oleh realita. Rudira memandangnya jijik, Ibunya sendiri. Melihat itu hatinya kembali mencelos, saat melihat pakaiannya dikemasi dan dibuang di depan pintu. Rudira mengusirnya.

"Aku sudah memperingatkanmu, tapi nyatanya?"

"Diam!" Ucapnya pada kekosongan pondok.

Dirinya kini memutuskan menginap dan menetap di dunia menenangkan yang menyesakkan ini. Yang setiap detiknya mengingatkan akan hal menjijikan itu. Sesak, lagi-lagi air matanya mengalir. Tatapannya kosong bak raga tanpa jiwa.

"Kamu istirahat saja, ya? Aku akan menggantikamu. Sesukamu di sini, sampai kamu tenang."

Lagi-lagi bisikan itu datang dari dalam kepalanya. Namun, kali ini membuatnya berpikir sejenak, lalu menyetujuinya. Mata wanita itu terpejam sekejap, lalu terbuka dengan tatapan nyalang bak elang.

Menjadi bintang (End)Where stories live. Discover now