29. Degup

33 13 3
                                    

Pagi-pagi sekali sudah terdengar suara gaduh dari dapur

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Pagi-pagi sekali sudah terdengar suara gaduh dari dapur. Ada bunyi kompor dinyalakan dan suara metal beradu. Dia memakai jaket hodie berwarna biru tua sedang berdiri di depan kompor, sepertinya sedang menjerang air. Satu tangannya di pinggang, dan satu tangan lainnya sedang memegang ponsel, ujung jemarinya sibuk menggulir layar ponsel.

"Salat, Dek," katanya tanpa menoleh.

"Baru balik dari masjid ya?" tebakku saat melihat sarung tersampir di pundaknya.

"Hm."

Dia masih fokus pada ponselnya, sesekali dia melirik pada panci kecil yang ada di depannya. Aku berjinjit menuju kamar mandi. Lantai marmer yang kupijak, sedingin kepingan es. Baru saja melangkahkan kaki beberapa meter, rasa dingin sudah menjalar ke seluruh tubuhku.

"Airnya dingin bangeeeet, loh!"

Suaranya terdengar sangat meremehkan kekuatanku dalam menahan dingin. Sudah 30 jam aku menahan diri di depan orang dingin, masa cuma air, aku tak bisa menanganinya? Mungkin kalau aku bicara baik-baik, dia akan mulai menghangat lagi.

Aku menoleh sekilas sebelum memasuki kamar mandi yang hanya satu meter dari tempatnya berdiri.  DIa masih berdiri di tempatnya, menunggui air di kompor itu mendidih. Sabar sekali dia, sesayang itu pada air di dalam panci kecilnya.

"Shshszzzzzz!"

Kubuka keran air sampai penuh. Tanganku posisikan menadah epat di bawahnya. Air dingin dari keran langsung membuat tanganku hampir membeku. Dengan penuh keterpaksaan aku pun membasuh wajah dan mulai menyikat gigi. Rasanya, seperti berkumur dengan air es, gigku langsung terasa ngilu. Tubuhku sontak gemetaran tak bisa dikendalikan. Air di dalam ember di bawah keran juga sama saja, seperti lelehan bongkahan es kutub utara, dinginnya sampai sumsum tulang. Aku mengibaskan tangan untuk mengusir dingin yang hampir membekukan tubuh,

Aku segera meloncat dari kamar mandi, berdiri dengan tubuh gemetaran di depannya. Dia menahan tawa tanpa membantuku sedikipun. Aku memilih langsung lari ke dalam kamar dan masuk ke dalam selimut. Kalau saja dia adalah laki-laki menggemaskan dalam hidupku, mungkin aku akan meloncat kepadanya dan memeluknya dari belakang. Tangan kumasukkan ke dalam kantung jaketnya unuk menyerap semua hangat dari tubuhnya. Namun, sayang, dia bukan laki-laki yang hangat. Aku menggeratkan pelukanku pada bantal guling untuk menahan tubuhku yang kedinginan.

"Salat, Dek, jangan tidur lagi udah siang, loh!"

"Nanti ah! Masih pagi!" sahutku dari bawah selimut. Gigiku masih gemertukan menggigil karena kedinginan.

"Dek, di sini tu jam setengah enam udah siang!" katanya. Suaranya kini terdengar begitu dekat. Aku membuka selimut yang menutupi kepala dan menatap ke arahnya.

"Memang, ada perbedaan waktu?"

"Ada, perbedaan waktu salat. Di sini, 45 menit lebih cepat dari kota Medan."

Aku langsung turun dari tempat tidur dan meraih mukenah yang sengaja aku letakkan di belakang pintu kamar. Pintu itu pun langsung kututup rapat tepat di depan mukanya.

Cafe Jasuke Just Okay (Complete Story)Where stories live. Discover now