4: Sekilas Tentang Wenda

109 23 13
                                    

"Lo ngapain bengong kayak gitu? abis ketemu setan?"

Aku tersadar begitu mendengar suara Agam- Kakak iparku. Kami yang hanya berbeda dua bulan dengan dia lahir lebih dulu, membuat Agam menolak untuk dipanggil Kakak atau Abang olehku. Ya, kakak perempuanku memang menikah dengan laki-laki yang usianya lebih muda darinya.

Hal yang cukup membuatku terkejut saat pertama kali Kak Yura mengenalkannya pada aku dan Ibu. Tapi itu bukanlah hal yang penting karena Yura terlihat bahagia dengan Agam.

"Enggak," aku menggeleng lalu berjalan menuju dapur dan meletakkan dua kantung besar yang berisi belanjaanku di meja makan.

"Lo beli eskrim gak?" Tanya Agam yang rupanya mengikuti ku ke dapur.

"Enggak, siapa yang pengen eskrim? Kak Yura?" Tanyaku mengingat saat ini dia tengah mengandung.

"Gue," jawab Agam sambil tersenyum lebar.

"Ya elah, beli sendiri napa, Gam?"

"Males euy, ujan," katanya.

"Ya udah jangan beli," ujarku yang kini membereskan barang belanjaan. Iya sendirian, karena Agam jika ikutan akan menghancurkan banyak barang.

"Eh, gue pengen ngomong ini deh, tapi baru keingetan sekarang," ujar Agam tiba-tiba.

"Apaan?"

Agam menarik kursi dan duduk disana, "aura lo beda dari biasanya, lebih bercahaya gitu loh, Chan. Lo ngerasa gak sih?"

"Maksud lo?" aku menatap Agam dengan kening berkerut.

"Ya keliatan lebih bahagia aja gitu, lo menang judi dimana, Chan?"

"Ngomong sekali lagi, gue libas muka lo pake blender," aku mulai kesal padanya sekarang.

"Gue becanda loh," Agam menipiskan bibirnya, "maksud gue tuh aura lo kayak yang lagi jatuh cintrong gitu. Duh, lo udah gede ya, Chan," Agam tertawa kecil diakhir kalimatnya padahal menurutku tak ada yang lucu.

"Apa sih lo? Dari tadi ngomongnya gak jelas. Abis ngobat?"

"Anjing! serem banget omongan lo," balas Agam.

"Gak boleh ngomong kasar di rumah ini, nanti gue bilangin Ibu loh."

"Dih ngaduan banget," cibir Agam.

Aku tak membalasnya lagi dan hanya fokus pada tugasku sekarang.

"Eh tapi, Ibu sama Kakak dimana?" Tanyaku karena sejak pulang tak melihat mereka.

"Tidur," jawab Agam lalu mengambil beberapa buah anggur yang baru saja aku simpan di kulkas.

Aku mengangguk, lalu melipat tas belanjaan begitu aku selesai membereskan barang-barang belanjaan.

"Lo mau kemana sekarang?" Tanya Agam.

"Main judi," aku menjawab dengan cuek dan berjalan menuju kamar.

"Eh, anjir yang bener lo?! Bagi-bagi kalo menang."

Aku tak menyahut dan langsung mengunci pintu begitu masuk kedalam kamar. Melepaskan jaket lalu berbaring di kasur. Hujan masih turun meski tidak terlalu deras, suaranya masuk hingga rasanya memenuhi seluruh kamarku.

Tiba-tiba ucapan Agam kembali melintas di kepalaku. Apa memang selalu terlihat jelas saat seseorang jatuh cinta?

Tunggu, tapi apa memangnya aku sudah jatuh cinta? pada siapa? Wenda? Apa memang bisa semudah itu?

"Masa sih? Apa gue emang segampang itu jatuh cinta? Padahal kita ketemu juga selalu gak sengaja, ngobrol juga gak lama-lama, bahkan gak saling tuker kontak."

Jika mengingat saat bertemu tadi, aku sebenarnya ingin mengajaknya pulang bersama. Tapi khawatir jika tindakanku itu malah membuat Wenda tak nyaman dan berpikir kalau aku tak sopan. Kami hanya sebatas saling tau nama saja, tidak lebih.

Apa untuk pertemuan selanjutnya aku harus lebih banyak mengajaknya bicara?

Dimana dia tinggal, apa hobinya, makanan favorit, tempat yang ingin dia datangi, dan yang paling penting apa dia sudah punya pasangan?

Aku ingin mendekatinya dengan perasaan aman dan nyaman.

Tapi dibanding itu apa aku benar-benar tertarik padanya atau hanya karena penasaran saja?

Aku tidak ingin terburu-buru dan melakukan kesalahan yang nantinya membuat kami saling menyakiti. Sepertinya akan lebih baik jika aku memastikan perasaanku sendiri.

° ° °

Author POV

Wenda menarik napas, masih merasa gugup dan malu meski ini bukan pertama kalinya. Sapuan angin malam menerpa wajah, rasanya dingin dan Wenda kurang menyukai sensasi ini.

"Udah sampe bu," sopir ojek online itu mengentikan langkahnya didepan pintu masuk apartemen yang cukup mewah.

Wenda turun dan melepaskan helm yang sedari tadi menutupi kepalanya, "ini pak, makasih ya," dia memberikan helm dan uang tunai yang sesuai dengan tarif.

"Iya, sama-sama, mari Bu."

Setelahnya, Wenda masuk kedalam gedung dan berjalan menuju lift. Dia menekan angka lima yang merupakan lantai yang ia tuju. Tidak butuh waktu lama dia sampai dan berjalan menuju sebuah kamar.

Perempuan itu menekan bel begitu sampai didepan pintu. Butuh tiga detik untuknya menunggu sampai akhirnya pintu di buka.

Begitu melihat sosok pembuka pintu, Wenda terkejut bukan main.

"Oh, udah dateng. Sini masuk," ujarnya. Dia menyingkir dari jalan, mempersilahkan Wenda untuk masuk.

"Iya," Wenda mengangguk, kakinya menapaki apartemen yang terbilang mewah itu. Ia meneguk ludahnya, tak menyangka jika lelaki yang memintanya datang dan menghangatkan ranjangnya adalah sosok yang cukup populer dan dikenal sangat menyayangi keluarganya.

Tapi nyatanya, lelaki itu memanggil Wenda untuk menghabiskan malam bersamanya.

"Lo cantik," ujar lelaki tersebut.

"Makasih," sahut Wenda.

"Gue gak terlalu suka cewek agresif. So, biarin gue yang mendominasi."

"Oke."

Lelaki itu mendekati Wenda, mengusap kedua bahu perempuan itu, lantas menciumnya. Wenda memejamkan mata, membalas ciuman lelaki itu.

"Bibir lo manis," lelaki itu melepaskan ciumannya dan melontarkan pujian pada Wenda.

"I know."

Kedua kembali memagut bibir, Wenda membiarkan semuanya berjalan sesuai keinginan lelaki itu. Begitu juga, saat pria itu mengangkat tubuhnya dan membaringkan dirinya di ranjang.

Malam ini, untuk kesekian kalinya Wenda menghangatkan ranjang para lelaki yang memanggilnya.

***
04. 4. 2023



UnconditionalWhere stories live. Discover now