10: Panggilan yang berubah

57 13 1
                                    



"Mas Chandra!" 

Aku tersentak dari lamunanku saat mendengar Wenda menyebut namaku.

Dengan senyum kikuk dan langkah canggung aku menghampirinya dan pria itu.

"Mas Chandra, kenalin ini Arsen. Dia donatur di panti asuhan yang suka saya datengin mas," Wenda memperkenalkan lelaki itu dengan semangat.

"Arsen Fahreza."

Aku menyambut uluran tangan Arsen, "Saya Chandra."

"Mas Chandra ini sama temen band-nya ternyata pernah datang ke panti asuhan loh, yang pas panti lagi ultah itu."

"O yah? Kok kita gak ketemu ya mas?"

"Mungkin kita datengnya di waktu yang beda kali ya? Makanya gak ketemu," ujarku berbohong, padahal aku jelas melihat mereka berdua berbincang akrab waktu itu.

Arsen mengangguk lalu menjatuhkan matanya pada Wenda, "gue pamit duluan ya, Wen. Masih ada janji nih. Kapan-kapanlah kita ngopi bareng lagi."

"Iya, hati-hati di jalan, Sen."

Arsen mengangguk, "mas duluan ya."

"Silakan." Aku mengangguk.

Arsen melemparkan senyum pada Wenda lalu mengambil langkah untuk meninggalkan kami.

"Kalian berdua kayaknya akrab ya?" Tanyaku.

"Yaa... bisa dibilang gitu sih."

Wenda tak menjelaskan lebih lanjut dan aku terlalu takut untuk bertanya lagi. Pikiranku terpecah belah, Wenda sepertinya lebih akrab dengan Arsen dibanding denganku. Waktu yang mereka habiskan bisa saja lebih banyak daripada aku. 

Sial, apa kau sudah kalah start?

"Mas Chandra, mau berangkat sekarang?"

Lagi-lagi suara Wenda menyadarkan lamunanku.

"Iya ayo." 

Kami berjalan berdampingan menuju parkiran dengan saling tak bersuara. Aku sendiri masih sibuk dengan isi kepalaku sampai lapar yang aku rasakan entah kenapa lenyap begitu saja.

Apalagi mengingat Arsen yang sudah menjadi donatur di sebuah panti asuhan di usia semuda itu. Kemampuan finansialnya jelas jauh denganku. Kemudian jika mendengar percakapan mereka tadi berarti mereka memang sudah akrab.

Astaga, aku sudah tertinggal dalam banyak hal.

"Mas Chandra?"

"Iya?" aku menatap Wenda.

"Mas Chandra gak papa?" Ucapan Wenda membuatku agak terkejut. Aku menatap sekeliling dan baru menyadari bahwa kami sudah sampai di area parkir. Bahkan kami kini sudah berdiri didekat motorku.

Kapan kami sampai?

"Eh, kenapa gitu?" aku tertawa canggung. 

"Mas Chandra sakit ya mas? dari tadi ngelamun terus soalnya."

"Saya gak papa kok, keingetan sesuatu aja. Cuman itu gak terlalu penting sih, nih." Aku menyerahkan helm pada Wenda. Memberinya sinyal untuk cepat-cepat naik supaya kami segera berangkat.

Wenda terlihat agak ragu, tapi kemudian dia menerima dan memasang helm kemudian naik keatas motor.

"Udah siap, Wen?" tanyaku sebelum menjalankan motor.

"Udah, mas," jawabnya.

"Oke, kita berangkat ya."

Aku menjalankan motor keluar dari area kampus yang masih ramai karena festival memang akan berlangsung sampai pukul delapan malam.

UnconditionalWhere stories live. Discover now