Uninvited Feelings

9.2K 353 0
                                    

Aline berjalan lemas menyusuri koridor menuju kelasnya.
Mata pandanya begitu terlihat. Laki-laki itu benar-benar menyiksa tidurnya. Tiba-tiba bel berbunyi dan ia mempercepat langkahnya.

BRAKK!!

"Aduh!" Aline terjatuh keras di lantai.

"Eh.. Sorry.. Sorry.. " kata laki-laki itu.

Aline mengangkat kepalanya, baru saja ia mau memaki, tapi ketika laki-laki itu dihadapannya..
Ia merasa bibirnya ngilu. Kata-kata yang sudah siap ia semburkan, tidak mampu ia keluarkan. Ada sesuatu yang menahan kata-katanya yang telah berada di ujung lidah itu.

Alvin.

"Sorry, gue engga sengaja."

Aline tersadar dan tiba-tiba merasakan kakinya sangat sakit dan sangat sulit digerakkan. Kenapa baru sekarang ini terasa sakit? Tadi saat melihat laki-laki itu, ia tidak merasakan ada yang salah dengan tubuhnya.

"Lo lagi lo lagi. Duh duh kok dua tahun gue sekelas sama lo, gak pernah tuh lo ngeselin hidup gue."

"Duh.. Malunya. Kok bisa sih gue jatuh.. Pintu sialan." pikirnya dalam hati

"Ya gue kan gak tau lo lewat pas gue buka pintu. Lagian siapa suruh lari-lari gitu?"

"Lo budek? Engga denger bel?? Ya gue buru-buru lah. Udah ah males gue debat sama lo."

Aline benar-benar harus menyingkir. Ia tidak bisa terus-terusan melawan jantungnya. Tapi kaki sialannya sangat sakit. Ia meringis.

"Yaudah gue kan udah minta maaf. Sini gue bantu." Alvin berdiri dan mengulurkan tangannya.

Rasa malu, takut dan ragu menyelimuti pikiran Aline. Tapi mau bagaimana pun, ia tidak bisa menghindari rasa bahagia yang selalu merambati hatinya ketika laki-laki itu ada.

Aline dengan enggan, menyentuh telapak tangannya. Menerima bantuan laki-laki itu. Saat pertama kali, telapak tangannya mendarat di permukaan tangan laki-laki itu...Ia merasakan mimpinya yang kemarin malam sedang terjadi. Ia bisa merasakan hangat tangan laki-laki itu. Rasa hangat itu menenangkan jiwa dan pikirannya sekaligus membuat jantungnya lagi-lagi berdetak lebih cepat dari yang sebelum-sebelumnya.

Alvin memegang lengan Aline dengan kuat seakan takut ia terjatuh. Ia juga menenteng tas Aline di tangan kanannya.

"Tadi gue juga buru-buru sih sebenernya, soalnya udah bel. Gue ke perpustakaan buat balikin buku. Eh pas buka pintunya, lo-"

Aline menghembuskan nafas panjang dan melanjutkan kata-kata Alvin. "Gue lari marathon? Bawel banget sih jadi cowok."

Aline merintih sedikit. Kalau ia bisa, ia ingin menyuruh laki-laki itu diam. Karena suara laki-laki itu selalu membuat jantungnya berdebar. Entah ada apa dengan Aline. Entah perasaan apa yang sedang menyerbunya. Yang jelas perasaan apapun ini, ini adalah perasaan tak diundang.

"Sakit banget?"

"Lumayan,"

Aline mencoba untuk cuek. Sebenarnya banyak hal dan respon yang ingin Ia berikan. Tapi ia menutupi segala hal, menutupi perasaannya, menutupi rasa nerveous setiap dekat dengan laki-laki itu.

"Alvin.."

Entah mengapa hatinya mengguman pelan. Ia merasa hatinya telah menyimpan nama itu.
Alvin membantu Aline berjalan sampai ke kelas. Dan sesampainya di kelas, Bu Ros sedang menjelaskan. Mungkin Dewi Fortuna sedang sibuk memberikan keberuntungan untuk orang lain. Jadi, kesimpulannya kali ini mereka akan mendengar celotehan panjang kali lebar Bu Ros.

"Tidak lihat sudah jam berapa?"

"Maaf bu, tadi ada sedikit kecelakaan." Ujar Alvin.

"Aline, ada apa dengan kakimu? Itu berdarah?" tanya Bu Ros sambil menghampiri mereka.

"Engga Bu. Ini berlumut. Ya iyalah berdarah. Ada-ada aja Ibu."

Kemudian Aline meringis memelas. Demi keselamatan!

"Kamu ini. Yaudah Alvin kamu antar Aline ke UKS. Obatin dulu kakinya.

Darah? Kakinya berdarah? Kenapa ia tak sadar?

Lalu Alvin langsung membawa Aline ke UKS. "Sini gue bantu,"

Ralat, ternyata Dewi Fortuna sedang tidak terlalu sibuk. Jadi sempat memberikan mereka sedikit keberuntungan.

Sesampainya di UKS. Alvin segera mengobati luka Aline.
"Tadi beneran sakit banget ya?"

"Lumayan,"

"Tapi tadi kaya beneran sakit banget?"

"Jadi lo pikir kalau gue gak belaga kesakitan, bu Ros bakal ngebiarin kita ngikuti pelajaran dengan gampang?"

"Mmh.. Acting yang lumayan."

Setelah itu Alvin membantu Aline kembali ke kelas.
Aline sangat bimbang. Ia tidak tau apa yang terjadi padanya. Ia terus berpikir. Alvin sangat pendiam dan tampak sombong karena kepintarannya itu sebenarnya sangat baik dan perhatian. Tapi Alvin jarang sekali bersikap seperti ini pada perempuan.

Ia ingin berbicara banyak, ia ingin menunjukkan kesenangannya, banyak hal yang ingin ia tunjukkan. Tapi ia tidak tau sebenarnya apa yang pantas ia tunjukkan. Jadi ia memilih bungkam dan bersikap seolah-olah ia tidak click dengan Alvin. Biarlah kalau memang ada perasaan itu, ia ingin menyimpan dalam-dalam perasaanya. Karena ia belum bisa mendapat kesimpulan sebenarnya ada apa dengan dirinya.

Yang ia tahu, setiap apapun yang berhubungan dengan laki-laki itu, sekecil dan sedetail apapun. Ia merasa ia bahagia. Ia merasakan seberkas ketulusan. Tapi sisi lain semua hal itu membuat jantungnya deg-deg'an tak menentu. Dan ia juga tidak ingin kalau sampai laki-laki itu suatu saat menyadari, apalagi sampai mendengar detak jantungnya.

Ditambah lagi dengan mimpi kemarin malam. Membuatnya tidak tenang sekaligus senang. Ia terus berpikir bagaimana bisa ia mendapat mimpi seperti itu. Ia merasa hal itu seperti kenyataan. Tapi tidak mungkin.
It's impossible.

Ia sering mencuri pandang ke arah laki-laki itu. Terkadang laki-laki itu menyadari. Tapi Aline sangat tidak puas. Ia selalu ingin melihat laki-laki itu.

Caranya memperhatikan penjelasan guru.
Menjawab pertanyaan guru.
Berjalan.
Menulis dan mengerjakan soal.
Tidur di kelas.
Dan tersenyum.
Banyak sekali hal-hal dari laki-laki ini yang membuat perasaan tidak di undang itu semakin lama semakin dalam.

Gue merasa bahwa ada sisi lain dari diri gue yang selalu memaksa gue buat memperhatikan dia. Entah apa yang gue rasakan.
You're the one can make me like this.

Don't Ever Say GoodbyeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang