31. Dekade

43 16 2
                                    

"Solat Hana," titahnya seperti hari sebelumnya

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

"Solat Hana," titahnya seperti hari sebelumnya.

Dia berdiri di depan kompor dengan satu tangan di pinggang, dan tangan lainnya menggulir layar ponsel. Aku merasa adegan ini seperti sebuah deja vu. Air di juga masih sama dinginnya.

Saat aku keluar dari kamar mandi, dia tidak ada. Hanya ada dua gelas di atas meja yang berisi cokelat panas.

"Cepet, dalam lima menit, minumanmu bisa dingin," katanya dari dalam kamar,

"Iyaa!"

Aku langsung berlari ke kamar karena tak kuat dengan udara dingin. Dia tak keluar lagi setelahnya. Gelas di dapur juga tersisa satu. Aku penasaran, apa yang terjadi padanya, mengapa bisa berubah dalam satu malam. Aku mencoba mengingat-ingat apa ada sesuatu yang membuatnya langsung membenciku setelah kami jalan kemarin?

Sebelum sempat memikirkan apa yang sudah aku lakukan, perhatianku teralihkan pada ponsel yang ada di atas tempat tidur. Ada nama Gladis di layarnya. Buru-buru aku angkat telepon darinya.

"Hana!!"

Suaranya yang penuh semangat itu membuatku ikut semangat.

"Hana!! Kamu ada di mana? Kenapa pergi gak pamit, sih? Kemaren kami pergi ke rumahmu, cuma ada paman di rumah. Masa, sih, abis perpisahan kamu langsung ngilang, emang gak pengen ya, main ama kami lagi?" tanya Galdis menggebu.

"Maaf, ya, Dis, tiket ayah yang beli, jadi aku juga gak bisa milih."

"Ish, kamu pasti ke sana untuk mengejar impian kamu, kan?"

Aku tersenyum kecil, kali ini, impian mana yang dia maksud?

"Eh, katanya Pak Pram juga ada di Bandung, kamu ke sana buat nyari dia ya? Sukur, deh kalau akhirnya lu, inget ama dia."

"Inget gimana maksudnya?"

"Ah, Hana suka gitu, deh, suka nyebelin!"

Aku tertawa kecil, pasalnya aku memang tidak terlalu ingat apa yang sudah terjadi setelah aku memilih cawan itu. Perhatianku hanya sibuk pada Ibu dan semua tugas sekolah. Aku bahkan, tidak punya waktu untuk bermain bersama Gladis dan Thalita.

Dia bercerita banyak hal, mulai dari kegiataanya sekarang yang full time bekerja di kafe bersama Dira dan Luka, sambil menanti semester baru dimulai. Dia juga bercerita tentang menu baru yang ada di sana. Semangatnya menggebu saat menceritakan bagaimana dia meracik es Amerikano dengan takaran sempurna.

"Kalau ke sini, aku akan buatkan es amerikano buat kamu, Hana. Jangan minum Es Latte panas terus, kan sekarang udah di sana, udah gak cemas lagi mikirin Pak Pram."

"Pram?"

"Ya, sayang? Kamu manggil saya?" Om Dimas tiba-tiba saja sudah ada di depan pintu. Dia membuka pintu kamarku sedikit, senyumnya yang menggembang sempurna itu membuat aku tak bisa tak ikut menyunggingkan senyuman.

Cafe Jasuke Just Okay (Complete Story)Where stories live. Discover now