Chapter 01

299 27 1
                                    

Selamat menunaikan ibadah puasa untuk yang melaksanakan.

Kalo punya waktu, baca cerita sebelah aku yang baru aja dipublish, ya.

***

Asap mengepul di udara, bau tak sedap menyengat indra penciumannya. Di warkop yang penuh anak muda ini, ada sekumpulan lelaki yang berkumpul di meja paling pojok.

“Sekolah sebelah ngajak tawuran, tuh,” ujar Mahesa. “Mau gimana?”

“Terima aja, lagian gimana lagi? Vasko pasti bakal ngira kita pengecut kalo kita nolak,” balas Jervino.

“Gue juga denger, dia ngasih tawaran ke kita,” ujar Mahesa.

“Tawaran apaan?” Haikal menimpali.

“Kalo kita menang, dia bakal kasih kita perempuan,” jelas Mahesa.

“Tawaran apa itu njir, palingan perempuannya juga jablay,” gerutu Haikal. “Yang elit dikit, kek.”

Fokus Jervino teralih pada Ray yang sibuk memainkan ponselnya. “Lo mau nyoba ikut tawuran, Ray?" tanya Jervino membuat seisi meja beralih menatap Ray yang sibuk dengan ponselnya.

Ray tersadar, ia beralih menatap mereka bergantian, tanpa berniat menjawab.

“Jangan bilang lo gak tau apa itu tawuran,” ujar Haikal.

“Saya tau, saya pernah lihat di televisi,” jawab Ray polos.

“Terus lo mau ikut nggak? Kali aja lo bisa berantem, gitu,” ulang Jervino lagi.

Aneh memang,  lelaki polos seperti Ray yang hanya tau buku, mengapa bisa berteman dengan mereka yang tak kenal akan belajar, buku, dan apapun yang bersangkutan dengan pelajaran.

Belum sempat Ray menjawab, sebuah getaran pada ponsel milik Ray mengalihkan antensi ke empatnya.

“Ponsel lo bunyi, tuh,” ujar Haikal yang dibalas anggukan singkat oleh Ray.

Ray dengan segera mengambil benda persegi tersebut, lalu Ray bangkit sedikit menjauh dari sana, dan langsung mengangkatnya, setelah membaca nama ‘Bunda’ tertera jelas di layar ponsenya,

“Halo?”

“Kamu dimana? Kenapa gak ada di rumah?” tanya Sang Bunda di sebrang sana dengan nada yang terkesan datar.

“Ray lagi main,” jawab Ray sekenanya.

“Emang kamu udah belajar?” tanya Nika.

“Udah.” Ray menjawab seadanya.

“Kapan? Bunda gak liat, tuh,” ujar Nika.

“Terus aku harus rekam kegiatan belajar aku supaya Bunda percaya, gitu?" Ray balik bertanya. Terlampau kesal jika Bundanya sudah membawa-bawa periha belajar.

“Udah berani sama Bunda kamu, Ray?” tanya Nika dengan nada yang terdengar jelas bahwa ia kesal, walau sang Bunda tidak menaikkan nada suaranya. “Lagian kamu ninggalin Rey sendiri di rumah. Gimana kalo dia pingsan dan di rumah gak ada siapa-siapa?”

“Dia juga udah besar, Bun. Gak mungkin harus aku jaga terus,” balas Ray. Ia lalu menghembuskan nafas lelah.

“Bunda habis nyari makanan, seenggaknya kamu tungguin Bunda pulang, baru kamu mau pergi kemana aja bebas,” ucap Nika.

“Lagian kenapa Bunda gak masak aja di rumah?”

“Kalo Bunda masak di rumah juga percuma, kamu gak pernah makan masakan Bunda. Mending Bunda beli di luar, beli satu atau dua porsi buat Bunda sama Rey doang,” balas Nika.

RAYNDRA MARANGGAWhere stories live. Discover now