36. Demam

33 13 2
                                    

"Hana

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

"Hana." Suaranya terdengar parau dan lemah. Dia membuka matanya, demamnya sudah turun. Aku duduk di sisinya dan mulai menyeka keningnya. Bajunya basah kuyup karena keringat yang mengucur deras. Hatiku ngilu melihat laki-laki yang gemar tersenyum itu terlihat lemah dan kuyu.

"Hana, Mas udah nggak apa-apa, kok."

"Sudah istirahat dulu, ini makan dulu, sini Hana suapi."

Dia hanya mengangguk dan mencoba untuk duduk.

"Sini buka mulutnya, aaa."

"Mas bisa sendiri," katanya sambil menarik mangguk dari tanganku. Aku seperti pernah melihat adegan ini. Kenangan tentang seseorang yang tiba-tiba datang dan tidur di pangkuanku ikut muncul. Aku mengelus kepalanya lembut. Dia menoleh dan mencoba menarik senyumannya.

"Mas, gak usah sok kuat, kita ke dokter aja ya?"

"Cuma demam aja, kok, bukan hal yang serius."

Aku tak ingin membantahnya kali ini, karena dia mungkin saja sedang berusaha membuatku tidak khawatir berlebihan. Jantungku berdebar begitu kuat saat mendengar dia merintih kesakitan, tadi. Aku berlari ke warung untuk membeli obat, tetapi di sini, aku harus membeli obat langsung ke apotek. Tidak boleh sembarang beli obat, begitu kata penjaga warung yang aku temui. Aku terpaksa berlari ke jalan utama untuk mencari angkutan menuju apotek terdekat.

Aku tidak bisa berhenti berdoa agar dia baik-baik saja saat kutinggal begini. Aku tidak akan memaafkan diriku jika sesuatu yang buruk menimpanya. Dia, aku tidak tahu mengapa aku melakukan ini. Rasa cinta atau karena sekedar kasihan.

Sehari, dua hari, kondisinya membaik di pagi hari, dan memburuk di malam hari. Aku terpaksa berjaga semalama, takut dia mendadak kejang atau malah pingsan. Ada yang salah dari dirinya, tetapi dia tetap bersikeras tidak mau dibawa ke rumah sakit. Namun, aku tidak ingin menanti lebih lama lagi, aku harus menyeretnya ke rumah sakit.

Dan, momen untuk membawanya ke rumah sakit pun terjadi juga. Dia pergi ke kamar mandi sendirian tanpa sepengetahuanku, dan terjatuh lalu tak sadarkan diri dan berhasil membuatku panik bukan main. Aku berlari keluar rumah untuk memanggil orang-orang. Syukurlah para tetangga membantuku menelepon ambulans, hingga akhirnya dia bisa sampai di sini.

Dokter yang pertama kali menanganinya merasa aneh saat melihat remaja sepertiku membawa orang dewasa, bukan dia bertanya pasiennya kenapa, dia malah bertanya orang tuaku di mana. Aku kembali harus berlari ke sana-sini untuk melengkapi berkas administrasi.

"Mau bayar umum atau pakai asuransi, Dek?" tanya pegawai bagian administrasi saat aku mendaftar.

"Umum, Kak." Aku ragu, tetapi dia harus segera ditangani kan?

Aku terpaksa mengabarkan kondisinya pada Ayah agar Ayah mengirimiku uang. "Ayah, bantu Hana, plis."

"Hana, tenang dulu sayang, Ayah akan segera transfer dan segera terbang ke sana secepatnya. Kamu jagain Pram aja, jangan pedulikan biaya rumah sakit, itu urusan Ayah."

Cafe Jasuke Just Okay (Complete Story)Where stories live. Discover now