Prolog : Ama

12 0 0
                                    

Apa yang lebih baik dari nuansa pedesaan?

Udara sejuk, jauh dari hiruk pikuk kota, penduduknya ramah dan damai. Sebuah desa di sisi pantai itu sangat terlindung dari budaya perkotaan yang serba cepat dan tergesa-gesa.

Sejak dulu, orang tua Ama selalu menyarankan agar nona itu menikmati hidupnya. Ia seorang perempuan, ibu dan ayahnya tidak begitu mengahrapkan Ama terlalu fokus dengan pekerjaannya. Namun, Ama memiliki rencana yang lain.

Maka ketika Ama menjadi sangat disibukkan dengan berbagai kasus dan laporan penyelidikan, ia sempat berseteru dengan kedua orang tuanya. Mereka menyarankan agar Ama rehat sejenak agar mentalnya lebih stabil. Pergi ke pedesaan, kata mereka. Agar Ama memiliki perspektif yang lebih jernih karena udara di sana jauh lebih bersih.

Saat itu, saran dari ibu dan ayahnya terdengar seperti bualan. Ama memiliki ambisi untuk menjadi penyidik nomor satu di divisinya. Rehat sudah dihapus dari kamusnya sejak lama. Akan tetapi, doa orang tua tetaplah punya kuasa yang begitu besar. Harapan agar Ama pergi ke pedesaan dan menjernihkan pikirannya terkabul ... dengan kondisi yang sama sekali tak ada manis-manisnya.

Ama dipindahtugaskan karena kecerobohan tim yang ia pimpin. Kejadian tersebut menyebabkan seorang penyidik senior mengalami cacat permanen dan berakhir perlu pensiun dini. Kerugian besar yang dialami Kepolisian Metro, maka penanggungjawabnya "dibuang" secara halus ke Shizuoka.

Semula, Ama merasa dunianya runtuh. Segala ambisi terasa semakin jauh. Ia bahkan sempat berpikir untuk menyudahi karirnya di bidang penyelidikan. Akan tetapi, ia lebih tak mampu menahan malu karena melepaskan semua mimpi-mimpinya.

Ia telah berjanji pada diri untuk tidak berhenti sebesar apapun rintangannya. Ia telah berjanji pada diri untuk membuktikan celaan dan tutur orang-orang yang meragukannya adalah salah.

Bagaimana Ama bisa melunasi janji itu jika ia memutuskan untuk menyerah?

Maka Ama memilih untuk menganggap rintangan ini sebagai ancang-ancang sebelum melompat lebih tinggi. Mimpinya belum runtuh, ia hanya perlu mundur sejenak dan memulai kembali.

Toh kasus di pedesaan tidak akan sama gilanya dengan kasus di kota, bukan?

***

Ama terbangun. Sebuah senggol di bahu membuatnya tersadar. Ia mengerjap sesaat. Telinganya berdengung dan rahangnya terasa pegal. Ketika sadar telah sepenuhnya hinggap di pelupuk mata, pemandangan di hadapan membuatnya terbelalak.

Sebuah kabin mobil karavan, lampunya dimatikan, jendelanya ditutupi kertas sehitam karbon. Gelap gulita, hanya ada sekelebat cahaya putih di lantai tempat beberapa insan ikut memijakkan kaki. Udara dalam karavan lembab, bercampur uar keringat dari balik seragam yang melekat entah berapa hari.

"Target menjauh, Kapten. Kita harus segera bergerak."

Desis terdengar kentara dari salah satu pria yang baru saja melepaskan maskernya. Ada kemelut yang tergambar jelas dari air wajahnya. Ia tengah bimbang, kebingungan. Sementara Ama memilih untuk mendekat pada jendela dan mengintip ke luar dari celah kertas hitam yang tertempel.

Seekor kunang-kunang hinggap di sudut jendela. Pendar sinar yang sama Ama temukan pada celah-celah rumput dan ilalang. Mobil karavan ini berada di tengah padang rumput?

Kala pandang menyapu lebih jauh, Ama menemukan sinar bulan, sejajar dengan rerumputan. Nona itu menggeleng. Bukan sinar bulan, tetapi pantulannya. Ada sebuah badan air yang terlihat seperti kanvas berwarna hitam—Ama menyimpulkannya sebagai sebuah danau.

"Apa yang kau perintahkan, Kapten?" ujar orang yang sama. Ama menoleh cepat, dari balik bayang ia bisa melihat beberapa orang melemparkan pandang penuh keputusasaan. Namun, isi pikirnya masih belum lurus. Ama bahkan tidak mengerti apa yang tengah dihadapinya dan sekelompok pria ini.

"Kita masih belum bisa memastikan berapa banyak pasukan mereka." Bibir Ama berucap tanpa sadar. Matanya lagi-lagi membelalak. Pasukan apa? Siapa yang sedang mereka hadapi?

"Namun, pengintaian ini tidak akan menghasilkan apapun jika kita tidak bergerak!"

"Hentikan omong kosongmu, Aito!"

Karavan menjadi hening karena ujaran penuh geram dari pria yang tampak paling tua. Ama segera berdeham. Berusaha memecahkan ketegangan.

"Tidak ada yang boleh ke luar hingga saya me ...."

Kalimat Ama dipotong suara pecahan kaca. Kertas hitam berlubang, beling memantulkan kilap dari cahaya senter yang disorotkan. Tak berselang lama, kaca jendela dari sisi yang lain ikut pecah. Semua orang di dalam karavan segera tiarap. Kaca kembali pecah, kini berturut-turut.

"Keparat!" geram seorang dari pasukan sebelum merangkak menuju pintu karavan. Ia menendang pintu itu sekuat tenaga dan berlari ke luar.

"AITO!"

"Anak itu!"

Seorang pria yang lebih tua mengokang senjatanya. Ia bangkit, lalu ikut berlari ke luar. Letus senjata menggema. Bayang-bayang pintu mobil karavan berayun tampak dari tempat Ama tiarap. Sumpah serapah ikut mengalun dari bising baku tembak di luar sana.

Ama terbangun.

Telinganya berdengung dan rahangnya terasa sakit. Sebuah senggol pada bahu membuat sadarnya kembali pada badan. Ia mengusap wajah sebanyak dua kali sebelum benar-benar terbangun.

"Kelihatannya perjalanan dua jam membuatmu mengantuk, Nona Muda?" gurau seorang pria tua dengan lap handuk tersampir di bahunya. "Kita sudah sampai. Kau bisa cuci muka di toko kelontong. Di sana," lanjutnya sambil menunjuk ke luar jendela bus.

Ama mengernyit sejenak. Ada gambaran garis pantai, kerlip ombak dari pantulan cahaya matahari, dan toko kelontong dengan furin berdenting nyaring. Ia telah tiba, sesuai dengan yang dikatakan pria tua tadi—sopir bus menuju kota kecil di sudut Semenanjung Izu, Matsuzaki. Tempat barunya untuk bertugas.


***


Galeri Ama

Galeri Ama

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.






You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Apr 18, 2023 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

ANTI-USO Team : Invasi Pagar BiruWhere stories live. Discover now