12// Bertaruh Angan di Tanggal Merah

17 4 0
                                    

▼△▼△▼△▼△


Yoga hampir saja tak berkedip, memandangi mobil putih yang berusaha memasuki karangan rumahnya. Ia pikir hanya orang asing yang sedang berusaha berputar arah, tapi perasaanya meledak bebas saat melihat sosok laki-laki jangkung menuruni mobilnya. Yoga lantas bangkit dari duduknya, berjalan gusar ke depan, kemudian kembali mundur, begitu saja terus.

Yoga masih tak tau arah, ia bingung harus masuk rumah atau mendekati mobil. Yoga tak mau ambil pusing, "WOI COK, IAN IKI LOH! IAN MULEH!!" teriaknya sekencang mungkin. Ia tak yakin untuk memanggil satu persatu saudaranya dengan namanya.

Suara grusak-grusuk terdengar jelas di pendengaran Yoga, dapat dipastikan itu ulah saudaranya yang berlarian tak memandangi sekitar hingga menyebabkan suara-suara bermunculan.

Deka mendorong pintu depan yang tertutup separuh, tanpa menggunakan alas kaki, Laki-laki itu berlarian menginjak pelataran depan rumah, badannya lantas memeluk kasar Ian yang berdiri di samping mobil- membuat saudaranya itu terhuyung kecil karena dorongan Deka yang begitu keras.

Ian masih terus tertawa tanpa suara, badannya terus bergerak karna perlakuan Deka yang terus mengguncang tubuhnya. "Gimana sekolahnya?"

"Walah, ngga liat tiga hari makin kurus aja, Ka." ujarnya dengan memandang intens tubuh Deka.

"Sekolah ga aman, gue naik sepeda sendiri lagi, parah banget ga ada temen ngobrol." sahut Dekat,

"Sekarang aman, besok kita berangkat bareng deh."

Deka memukul kecil belakang leher Ian, mencoba mencari keyakinan atas ucapan saudaranya itu. "Lo ngga jadi pindah?!"

"A AW! Engga, gue aman di sini sama kalian."

"Kata bapak suruh selesain di sini, dia bakal mantau dari jauh lagi, tau deh."

"Gue sih yes! Tapi serius kan?"

Ian mengangguk, kemudian keduanya melanjutkan jalannya, mendekati saudara lainnya, simbah, bapak dan ibu- baru Ian.

Benta menangkup tubuh Ian, entah apa yang membuat Ian kembali lagi, tapi ia sangat senang atas kembalinya Ian, semuanya akan utuh sepenuhnya.

Benta mengusap kecil punggung Ian, "Cielah, dari Semarang. Harusnya sih bawa oleh-oleh lah ya." ujar Benta dengan kodean kecil pada Ian.

Ian hanya terkekeh, "Santai bro, ada-ada."

"Walah cair cokk!"

Nazan mencubit leher belakang Yoga, kebiasaan, ucapan saudaranya sangat kasar. "Cangkemmu, Ga!"

"Udah deh, ini baju di coba dulu. Sama nih sama, cuma satu yang polos, soalnya yang garis-garis cuma enam, itu juga ada yang beda motif."

Ian menenteng 3 totebag putih, membuat saudaranya memandang suka. Ian senang, akhirnya ia bisa membelikan sesuatu untuk saudaranya. Mungkin jika diukur tidak akan sebanding dengan apapun pemberian saudaranya, tapi melihat reaksi bahagia saudaranya membuat dirinya merasa dihargai.

"Udah jadi anak kaya nih ya!"

"Udah deh, ayo masuk, ayo masuk."

Setelah mengucapkan perintah, Damar segera memimpin untuk memasuki rumah terlebih dahulu.

Yoga memaparkan baju pemberian Ian di tubuh bagian depannya, "Eh, ini bagus ga sih sama gue?"

"Tapi kaus nya cuma satu, padahal kalo ada beneran kembar sama Najan. Tapi gapapa deh, sama sama putih terus sama garis-garis, kaya lo-lo semua."

Tangannya mengangkat dua setelan baju. "Gue ambil ini deh ya."

"Sebenernya sih curang, tapi gapapa lah sekali-kali." sindir Benta dengan tatapan sirik andalannya.

GELANTUNGWhere stories live. Discover now