Bab 10

531 35 0
                                    

Hari-hari kembali seperti biasa. Kami sudah menyelesaikan sebagian proker utama kami, sisa 2 proker lagi yang belum kami kerjakan. Untungnya, proker yang belum kami kerjakan cukup mudah saja.

Hari itu, dipertengahan bulan kedua kami di desa, ada kejadian yang cukup mendebarkan.

Malam ini, entah mengapa ada yang berbeda dengan Lala. Selesai mandi dan makan, dirinya merenung dipojokan kamar. Saski dan Nira berusaha mengajak ngobrol Lala, Sia dan Tina sedang mengerjakan tugas kuliah mereka, sedangkan aku dan Wati sedang berbincang di ruang makan.

Tiba-tiba Saski berlari ke arahku dan Wati.

"Kak! Kak! Kak Lala kak! Kak Lala!"

"Kenapa?? Kenapa sama Lala?"

"Buruan ke kamar kak!"

Aku, Wati dan Saski bergegas ke kamar. Kulihat Lala menangis. Entah mengapa, tangisannya terasa sedih. Nira, Sia dan Tina berusaha menenangkan Lala. Aku pun mendekat dan mengode mereka untuk sedikit menjauh. Mereka mengikuti kodeku.

"Lala, kenapa?"

Lala tak menjawab. Dirinya mengangkat kepala dan menatapku. Mata itu, mata itu bukan seperti mata Lala biasanya. Mata itu menyiratkan luka yang amat dalam.

"Kenapa, La? Mau cerita?" tanyaku sembari mengelus rambutnya. Lala berhenti menangis. Dia berdiri dan beranjak pergi. Aku mengikutinya. Ternyata dirinya duduk di kursi dan terus menatap ke arah luar. Di seberang Polindes kami, terdapat puskesmas pembantu. Puskesmas itu memiliki suasana menyeramkan. Kondisinya yang sedikit kumuh walau sudah kami bersihkan dan juga aura suram selalu menguar. Puskesmas itu juga hanya memiliki 1 lampu untuk meneranginya.

Lala hanya menatap bangunan itu tanpa kedip. Wati berusaha mengalihkan perhatian Lala dan ya, cukup berhasil. Lala menatap Wati dan mengucapkan bahasa yang tak kami mengerti. Tapi sepertinya dia ingin mengatakan,

"Temanku ada di sana"

Jujur saja, aku segera menutup mata Lala dan berbisik pelan ditelinganya,

"Jangan ganggu teman kami"

Keadaan Lala berangsur pulih. Dirinya kaget mengapa bisa duduk dikursi. Karena seingatnya dia sedang rebahan di kamar. Kami menjelaskan padanya apa yang terjadi.

"Pantes aja aku ngerasa aneh. Tadi seperti ada banyak orang di luar Polindes, kayak berusaha masuk gitu" ucap Lala. Kami tak berkomentar. Kami menghubungi Dhana (ketua kami) agar dia dan yang lain menemani kami di Polindes.

Lala kembali seperti tadi. Kali ini, dirinya tak ingin disentuh. Aku kebingungan. Berakhir aku menyuruh Theo memegangi Lala. Aneh bin ajaib, Lala tak menolak. Aku berbicara pada Wati,

"Baca doa kalian"

Wati mengangguk dan memulai bacaan doa mereka perlahan. Lala sadar kembali. Dia mengatakan bahwa seperti ada yang memegang lehernya dengan kuat. Wati segera membaca doa dan meniup leher Lala.

Akhirnya, Lala kami bawa ke kamar untuk segera beristirahat dan anak-anak cowok kembali ke Balai Desa, menyisakan kak Radit dan Theo. Kak Radit berucap,

"Kamu istirahat juga, Vit. Biar kami yang jaga kalian malam ini"

Aku mengangguk sebagai balasan. Malam itu, kami tidur ditemani Theo dan kak Radit. Tentu saja kami di kamar tidur dan mereka di ruang makan.

'Malam yang cukup melelahkan. Semoga besok tidak ada keanehan lagi' batinku.

Pengalaman Saat KKN (Agak Horror)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang