07

35 14 7
                                    

Minggu sore, setelah bangun tidur, Sakti ngeliat Badai udah ada di ruang tamu rumahnya.

Duduk berhadapan dengan papa Radit; mereka main catur. Serius sekali keliatannya.

Ada sekaleng cola sama teh tawar anget kesukaan papanya di atas meja. Juga toples kue kastengel buatan mama Ratih yang tinggal setengah.

Sakti masih perhatiin Badai dan Papanya dari anak tangga. Turun perlahan ke bawah.

Mata mereka ketemu. Badai senyum lebar. Lambaiin tangannya semangat.

Papa Radit ikut menoleh. “Kak! Sini turun.”

Sakti geleng. “Aku mau sama mama aja.”

“Mama lagi eksperimen di dapur. Jangan diganggu. Lagi pundung.” Papanya ngomong, udah balik fokus sama papan catur di depannya. Dahinya mengerut.

Waktu denger langkah kaki putra kesayangannya itu berlari kecil ke arah dapur, papa Radit mulai teriak;

“Awas digigit!”

Badai condongin badannya. Berbisik lirih, “Tante Ratih masih suka gigit ya, Om?”

Papa Radit tertawa. Lalu mengangguk.

“Sakit?”

“Enggak. Enak malah,” jawabnya. Lalu mereka berdua tertawa bersama.

.
.
.

“Dari tadi kamu, tuh, ngomongnya cuma Badai, Badai, Badai. Badai suka inilah, Badai nggak suka itulah ... deket banget ya kalian?”

Sakti kicep.

Mulai. Sakti tau, mau menjerumus ke mana percakapan ini.

Sekarang ini dia lagi ada di dapur bareng mamanya. Kayaknya Sakti udah terlalu banyak ngomong barusan.

Ngeliat muka anak pertamanya yang pucat, mama Ratih tertawa lirih.

Wanita itu kembali melanjutkan kegiatannya; memotong sayuran yang sudah ia cuci beberapa saat yang lalu.

“Kalian temenan sejak SMP, kan?”

Sakti mengangguk. “Iya. Udah lima tahun.” Dia lagi duduk di kursi. Sanggah dagunya dengan telapak tangan dengan siku di permukaan meja. Perhatiin punggung wanita di depannya.

“Dia masih sama kakaknya Juan?”

Sakti geleng. “Udah enggak.”

“Kamu sendiri, kapan mau cari pacar?”

“Nggak tau, deh. Sakti belum kepikiran ke sana. Toh, Sakti, kan nggak kekurangan perhatian. Nggak kekurangan kasih sayang. Sakti ada Mama, Papa, Sandi, ada Badai juga. Itu udah lebih dari cukup. Sakti nggak perlu pacar.”

Hening.

“Kalian benar cuma teman?”

“...”

Suara teriakan, juga suara langkah kaki terdengar.

“Mamaaa adek pulang!”

.
.
.

Sakti berdiri kaku saat Badai secara mendadak kasih
kecupan di pipinya, tepat setelah Sakti buka pintu kamar dan bersiap masuk ke dalam.

Untungnya nggak ada satupun orang rumah yang ngeliat kejadian barusan.

Sakti cepet-cepet tutup pintu kamarnya. Was-was. Beda banget sama Badai yang udah baring ngerusuh di kasur Sakti. Nggak ngerasa bersalah sama sekali.

“Suka banget cium sembarangan?” Sakti berdiri di pinggir kasur. Lipat kedua tangannya di dada.

Badai geleng. Dia lalu duduk di depan Sakti. Senyum. “Aku sukanya cuma sama kamu.”

opia [bxb]Where stories live. Discover now