03

311 86 62
                                    

Apasih yang ngebuat Sakti bisa jatuh hati sama sahabatnya itu? Apa mungkin karena senyum manisnya? Sakti rasa enggak, deh. Sakti pernah kok liat senyuman yang lebih manis dari milik Badai.

Atau mungkin, karena sikap manjanya Badai ke Sakti? Tingkahnya yang ke kanak-kanakan? Yang tergantung sama Sakti? Yang bakalan ngambek kalau liat Sakti deket sama cewe, yang suka ngeluh ke Sakti kalo dia benci banget sama pak Warson—wali kelasnya, yang suka banget peluk sakti dari belakang, yang suka debat sama Sakti cuma gara-gara Sakti suka makan bakso pake merica, sedangkan dia sukanya pake garam.

Gimana bisa Sakti jatuh hati sama Badai?

Badai nggak populer-populer amat, kok. Otaknya juga kecil, buktinya dia selalu minta Sakti buat ngerjain tugas-tugasnya. Sakti awalnya nolak, nggak mau jadi pesuruh Badai terus-terusan, tapi Badai ini hebat. Dia selalu punya cara buat Sakti nggak bisa nolak. Nggak bisa marah. Nggak bisa pergi, dan...

... nggak bisa ngelirik orang lain.

"Kenapa nggak jujur aja soal perasaan lu ke dia?"

Sakti senyum pahit. "Terus, dia bakal jauhin homo ini."

Emi geser bangkunya ngedekat ke meja Sakti. Tatap wajah Sakti yang kusut abis di depannya. Sekolah masih sepi, yang datang baru beberapa. Padahal udah jam tujuh lewat.

"Ungkapin, Sak." Emi lanjut. "Seenggaknya Badai tau perasaan lo." Emi nggak tega ngeliat Sakti diombang-ambingin kaya begini sama Badai. Iya. Emi tau soal perasaan Sakti ke Badai. Udah lama, sih. Sakti juga cuma berani curhat sama cewe itu.

Sakti natap jendela di sampingnya. Dia bisa lihat tukang kebun sekolah yang lagi nanam bunga, sama beberapa anak kelas sepuluh yang lagi piket lapangan; nyapu daun-daun yang berserakan di lapangan.

Masih ada kabut. Udaranya dingin banget. Sakti aja masih pake jaketnya. Keliatannya sih bakal hujan deres.

"Aku ragu, Mi." Sakti mulai. Matanya nggak beralih dari jendela. "Aku nggak bisa ngartiin perlakuan Badai. Kata sayangnya dia, tatapannya. Semuanya." Sakti katupin bibirnya sebentar. "Aku nggak yakin dia juga rasain hal yang sama. Secarakan mantannya cewe semua." Sakti decak. "Apa lagi ini. Mbak Shinta ini."

Sakti alihin pandangannya dari jendela ke Emi. Cewe itu masih setia ngeliatin dia. Wajahnya serius banget.

"Aku nggak akan bisa gantiin posisi dia." Sakti basahin bibirnya yang kering sebelum ngomong. "Atau ... nyerah aja kali ya?"

.
.
.

"Nggak mau."

Badai decak. "Ayolah Sakti. Bantuin gue."

Sakti tarik napas pelan. Ambil alih buku di depan Badai. Diarahin ke dia. Sakti lalu natap Badai nggak yakin. "Di SMP udah pernah belajar, loh ini."

Badai cari alasan. "SMP dua tahun yang lalu. Yah, gue lupalah."

"Alasan!"

Badai diem. Cari cara biar Sakti mau bantuin dia. Badai nggak mau nilainya rendah. Badai ini tipe murid yang nggak suka belajar, tapi juga nggak mau kalo nilainya rendah.

"Eemm ... gue traktir bakso, deh! Ya, ya, ya. Mau ya?" Badai manyun, satuin tangannya di depan dada. "Please..."

Sakti lirik. Sebentar. Lalu balik fokus ke HP-nya. Itu HP sebenarnya nggak ada apa-apa, Sakti cuma sok cari kesibukan. Liat-liat status fecebook temannya.

Badai melas. "Dua hari! Gue bakal traktir lo selama dua hari." Angkat telunjuk sama jari tengahnya. "Lo boleh makan bakso sepuasnya! Gimana?"

Sakti noleh. Tatap Badai lama, tapi akhirnya dia ngangguk juga. Sakti sebenarnya sama sekali nggak tertarik sama tawaran Badai. Ya mau gimana lagi. Sakti udah bulol.

"Sekali ini doang tapi." Sakti taruh HP-nya. Lipat tangannya di atas meja. Lanjut ngomong. "Bentar lagi ujian, belajar yang bener." Wajahnya serius.

Badai tatap mata Sakti. "Kan ada elu, gue nggak perlu belajar."

Sakti tabok kepala Badai pake buku paket milik cowo itu. Tarik napas dalam. Coba buat Badai ngerti.

"Mandiri Badai. Aku ogah jadi babumu. Nggak mungkin juga kita bisa bareng-bareng kayak gini terus, kan."

"Pasti ada masanya kita pisah."

Badai diem.

Hening beberapa saat. Mereka cuma tatap-tatapan. Dan Sakti masih berusaha cari sesuatu di mata Badai.

Nggak lama, Badai condongin badannya ke meja. Kikis jarak yang tercipta sebab meja bundar di antara mereka. "Lo mau ninggalin gue?" Badai ngomong tepat di depan wajah Sakti. Badai lirik bibir Sakti, nunggu jawaban yang bakal keluar dari sana.

Sakti beku. Dia cuma bisa angguk.

"Emang bisa?"

"B-bisalah!"

Badai senyum miring. "Gue nggak yakin, tuh." Dia mundurin badannya. Nyender ke kursi. Badai lalu miringin kepalanya. Natap Sakti yang keliatan gelisah. Sakti nunduk, dia nggak suka saat Badai liatin dia kaya gini. Sakti nggak pernah peduli saat diliatin sama orang lain, tapi ini Badai. Tatapan Badai berpotensi ngebuat jantung Sakti detak nggak karuan.

"Lo sama gue nggak akan kuat jauhan." Badai ngomong setelah mereka diam beberapa detik. "Kita udah terikat." Sakti angkat kepalanya waktu denger Badai ngomong begini. "Nggak ada yang bisa jauhin kita."

"Dipisahin sejauh apapun. Sama siapapun. Bahkan meskipun itu keinginan kita sendiri. Kita pasti bakal balik. Pasti. Kita bakal saling cari satu sama lain."

Badai senyum.

Iya. Badai benar. Mereka ini susah buat jauhan. Sudah terbiasa bersama. Dan Sakti nggak bisa tepis itu; Sakti nggak kuat jauh dari Badai. Sakti nggak bisa. Sakti nggak akan pernah bisa bayangin gimana berantakannya hidup dia tanpa Badai.

Tapi di sisi lain. Ketergantungan Sakti ini juga bisa bunuh dia secara perlahan.

•••

Typo? Maapin :(

opia [bxb]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang