11. Trauma yang muncul (2)

4.6K 267 2
                                    

Minggu pagi, hari yang cocok untuk menghabiskan waktu dengan keluarga, begitu pula dengan Oci dan Radhit, tetapi bedanya mereka memilih untuk bekerja sama membersihkan rumah baru mereka. Biasanya Oci lebih memilih untuk menghabiskan weekend untuk menulis cerita fiksi karyanya di salah satu aplikasi ataupun menonton drama korea hingga malam, sedangkan Radhit lebih banyak menghabiskan weekend untuk mengunjungi Fatma ataupun bermain futsal dengan teman-teman kuliahnya.

"Aku keluar dulu, ya, beli gorengan buat Pak Mamat." Oci yang baru saja keluar dari kamar dikagetkan dengan suara Radhit yang baru saja menyambut kedatangan tukang kebun yang akan membantu membersihkan halaman dan kebun di rumah mereka.

"Sekalian beli sarapan nggak?" Radhit bertanya sambil mengambil kunci motor yang berada di ruang keluarga. Rumah mereka memang tidak terlalu besar dan jarak antara kamar mereka dan ruang keluarga lantai dua tidak terlalu jauh.

"Boleh."

"Mau apa?"

"Kalau ada nasi uduk kalau nggak ada apa aja nggak papa."

"Oke."

Setelah kepergian Radhit, Oci berjalan ke arah dapur untuk membuat teh untuk tukang kebun mereka sekaligus membuat kopi untuk Radhit. Mereka tetap harus mengisi amunisi sebelum membersihkan rumah. Meskipun rumah mereka tidak terlalu besar, tetapi Oci yakin bahwa mereka akan kelelahan membersihkan rumah ini.

Sambil menunggu Radhit datang, Oci membersihkan kamar mereka, lebih tepatnya menata ulang letak barang-barang di kamar. Radhit sepenuhnya memberikan hak kepada Oci untuk mengatur letak furniture di seluruh ruangan di rumah ini. Menurut Radhit, perempuan akan lebih paham tentang estetika peletakan furniture.

"Ci," panggilan dari Radhit terdengar. "Makan dulu," lanjutnya.

Oci menjeda kegiatannya lalu mengikuti Radhit yang berjalan ke arah dapur.

"Pak Mamat dibeliin juga?" tanya Oci sambil membuka bungkus nasi uduk yang dibeli Radhit.

"Enggak, Pak Mamat dibawain bekal sama istrinya."

Oci mengangguk lalu mereka melanjutkan sesi sarapan mereka.

"Ruangan mana yang furniture-nya mau kamu ubah?" tanya Radhit ketika melihat Oci baru saja kembali ke meja makan setelah mencuci piring.

"Kamar, ruang tamu, sama ruang baca aja," balas Oci. "Nanti bantuin angkatin meja di ruang baca, ya?"

Radhit mengangguk, "Siap!"

Keduanya menuju kamar yang akan dibersihkan. Oci bertugas menata ulang kamar yang dan Radhit bertugas membersihkan kamar mandi kamar serta debu-debu yang menempel di kaca, pintu, dan barang-barang mereka.

mereka membersihkan seluruh rumah hingga waktu menunjukkan pukul dua belas siang.

"Pak Mamat udah pulang?" Radhit mengangguk sambil berjalan ke arah Oci yang duduk di ruang tamu.

"Kamu suka berkebun nggak? Taman belakang jadi kosong banget," ujar Radhit yang ikut duduk di samping Oci.

"Aku nggak begitu suka nanam, sih, tapi aku kepikiran buat nanam sayuran kayak tomat, cabe, sawi, bayam, yang gampang-gampang aja."

Radhit tidak menjawab, ia justru menatap Oci kagum karena kalimat panjang yang diucapkan istrinya itu.

"Mas?"

"Ya?" Pada akhirnya Radhit tersadar saat Oci memanggilnya.

"Boleh kan?"

Radhit mengangguk, "Boleh, kok. Kamu aja yang ngatur," ujarnya dengan senyuman. "Mau ngeteh di teras? Mumpung mendung kayaknya enak hujan sambil ngeteh di teras."

"Boleh, aku buatin dulu. Mas Radhit tunggu di sana."

"Okay."

Benar saja, saat Radhit sampai di teras, gerimis sudah mulai turun dan angin berhembus pelan.

Beberapa saat kemudian Oci datang dengan nampan yang berisi dua gelas teh hangat dan satu piring berisi kentang goreng dan sosis.

"Kok punya kentang goreng sama sosis?"

"Iya, aku masih punya sisa di apartemen, jadi aku bawa ke sini." Oci duduk tepat di bangku kosong yang terletak di samping Radhit.

Mereka berbincang-bincang kecil yang sebenarnya lebih banyak Radhit yang bertanya dan dibalas seadanya oleh Oci. Perbincangan mereka berhenti saat suara tabrakan kedua benda terdengar disusul suara teriakan dari dalam rumah yang tepat berada di depan rumah Radhit. Jarak antara rumah Radhit dengan tetangga depan rumahnya memang kecil, hanya dipisahkan oleh jalan seukuran dua mobil.

Radhit menghela napas, "Masih aja, terakhir aku ke sini mereka juga berantem hebat."

"Mas Radhit kenal?"

"Nggak kenal, cuma pernah dikasih tau Pak RT aja. Aku juga nginep di sini baru dua kali," balas Radhit. "Kata Pak RT maklumin aja kalau mereka begitu, tapi aku nggak tega sama anaknya," lanjutnya.

"Anaknya udah gede?"

Radhit menggeleng, "Mungkin masih umur 4 tahun soalnya kata Pak RT mereka seumuran sama aku."

"Berarti masih muda."

"Iya, pasangan muda gitu," ujar Radhit. "Udah, deh, ngobrolin yang lain aja."

Oci hanya mengangguk meski hatinya tidak tenang. Suara benturan benda-benda dari rumah tetangganya itu memang tidak terlalu berisik, tetapi untuk Oci suara itu benar-benar terus berputar di kepalanya. Suara itu bercampur dengan suara yang sama di masa lalunya.

"Ci? Kenapa?" Oci hanya menggeleng.

Suara di kepalanya kembali terdengar seiring dengan suara tangisan anak dari tetangganya.

"Aku mau ke kamar dulu." Tanpa mendengar jawaban dari Radhit, ia berlalu dan pergi ke kamar.

Radhit menatap bingung lalu ia mengikuti Oci untuk masuk ke dalam kamar. Saat tiba, ia melihat Oci berbaring tengkurap dengan kepala yang ia tutup dengan bantal.

"Kenapa?" Radhit duduk di sebelah kepala Oci.

Tidak ada jawaban, tetapi ia dapat melihat punggung Oci bergetar. Melihat itu, Radhit semakin panik. Ia mengira Oci sedang tidak enak badan, tetapi ketika melihat istrinya menangis, ia menduga pasti ada hal yang tidak beres dengan istrinya.

"Ci, kenapa?" Hanya gelengan yang ia dapatkan dari Oceana.

"Tolong keluar." Suara serak Oci terdengar tidak begitu jelas, tetapi Radhit masih bisa memahami kalimat istrinya itu. Ia memutuskan untuk keluar dari kamar, membiarkan istrinya menyendiri di kamar.

Sepuluh menit lamanya, Radhit masih setia menunggu di depan pintu, hingga akhirnya isakan Oci terdengar begitu keras disusul dengan raungan yang membuat Radhit kembali masuk ke dalam kamar. Dilihatnya Oci yang sedang duduk di samping kasur dengan memeluk lutut.

"Oci, kenapa?" Radhit berlutut sambil mengelus pundak Oci.

"Takut." Suara parau Oci terdengar. Ini kali pertama trauma Oci terlihat oleh orang lain dan orang itu adalah Radhit, suaminya sendiri.

"Tenang, ada aku di sini." Radhit mendekap Oci dari samping. Istrinya itu tidak menolak, tetapi juga tidak membalas dekapan Radhit.

Tangis Oci masih terdengar pilu di dalam dekapan Radhit. Pria itu hanya dapat mengelus punggung istrinya tanpa berniat mengeluarkan kata-kata meskipun otaknya terus mengeluarkan banyak pertanyaan tentang istrinya.

Radhit terus mendekap tubuh Oci hingga napas wanita itu terdengar tenang. Ia segera menidurkan tubuh Oci di atas kasur.

Radhit menatap wajah sembab Oci. Ia ingin tau apa yang terjadi. Apakah ada hubungannya dengan trauma masa lalu Oci yang tidak ia ketahui? Pastinya ia yakin bahwa ada kejadian yang membuat Oci sangat tersiksa.

–bersambung





Our Traumas [End]Where stories live. Discover now