Sunrise 1: Yang Yada Rasa

19.5K 1.4K 150
                                    

***Selamat datang di Sunrise at Six. Sebuah cerita tentang romansa dewasa, dan rasa-rasa remaja di dunia yang penuh huru-hara ini. Melalui cerita ini, aku, Yada, Bening, Akshaya, dan Natha akan membawa Teman-teman untuk melayangkan imajinasi ke sebuah kota di Nusa Tenggara Timur, yaitu Labuan Bajo. Semoga, selain semakin gemar membaca, kami juga menggugah Teman-teman untuk lebih mencintai wisata di Indonesia saja.***

***

Tidak ada istilah bergelung dalam mimpi saat pagi mendekap di kamus hidup Yada. Pemuda berusia 15 tahun itu sudah membuka mata sejak jam tiga pagi. Mondar-mandir ke dapur, lalu ke warung. Membentuk nasi dalam mangkuk-mangkuk kecil, lalu meletakkannya ke wadah warna-warni yang tersusun rapi di meja panjang.

"Ayam gorengnya nih, Da!"

"Meluncur, Bu Bening!"

Yada melesat ke dapur, lalu kembali ke depan dengan membawa 50 potong ayam goreng lengkuas yang potongannya besar-besar dan menggiurkan. Dengan gesit, Yada kembali bekerja. Menata semua lauk ke dalam wadah, membiarkannya agak dingin sebentar lalu baru ditutup agar tidak basi.

Setelahnya, jam 05.00 pagi, Yada membuka pintu folding gate, mengeluarkan motor matic-nya, lalu memasang delivery bag gandeng di jok belakang.

Bening yang melihat betapa gesitnya Yada hanya tersenyum kecil. Kemudian ia membantu mengisi delivery bag Yada dengan kotak-kotak bekal. Dua puluh lima kotak di sebelah kanan, dan dua puluh lima kotak di delivery bag sebelah kiri.

"Padahal, tamu ngumpul jam 05.30 pagi, Da. Kamu kepagian." Bening menarik bahu Yada, lalu mengusap wajah putra semata wayangnya dengan begitu bangga.

"Bu Bening, mendingan aku yang kepagian daripada tamu yang kepagian. Lagian, kalau aku datang pagi, suka ada tamu yang ke dermaga duluan, Bu. Belum tentu Bang Oscar datang lebih cepat dari tamunya juga. Kalau ada aku di dermaga, kan, tamu jadi nggak was-was." Yada tersenyum. Mengecup pipi Bening dengan begitu usil. "Ibu cantik banget pagi ini. Meskipun bau bawang, Ibu tetep cantik!"

"Ibunya siapa dulu, dong?" Bening tergelak. Ia lantas membantu Yada memakai helm dan melambaikan tangan saat Yada mulai menjauh.

Anak itu selalu membelah pagi di Labuan Bajo sejak matahari belum muncul. Meniti jalanan dengan membawa pesanan-pesanan untuk makan siang para tamu yang akan berangkat sailing satu hari menggunakan kapal open deck dan speedboat ke Taman Nasional Komodo.

Begitu menjauh dari ruko tempat dirinya dan sang ibu tinggal, Yada menghilangkan senyum. Ia menatap jalanan Labuan Bajo dengan begitu dalam.

Mengulang setiap kenangan betapa di kota kecil di ujung barat Nusa Tenggara Timur itu ia hanya punya sang ibu, dan ibu juga hanya memiliki dirinya.

Yada menyukai kebersamaannya dengan Bening. Ia senang meski hanya hidup berdua. Tapi, setiap kali ia berdiam diri, kilas balik tentang kehancuran keluarganya selalu muncul tanpa permisi.

Yada benci kalau tidak sibuk.

Naik motor sendiri pagi-pagi juga kadang mengundang melankolianya datang. Tapi persetan, Yada ingin hidup dengan banyak manfaat. Meski pernah sedih-sedih, meski pernah marah-marah, Yada ingin meyakinkan sang ibu bahwa ia bisa diandalkan.

Usia lima belas, tak akan kalah bersahaja dengan mereka ... pria-pria yang katanya tua, tapi kadar kedewasaannya amblas.

***

"Ole! Anak janda premium di destinasi wisata premium ini rajin sekali e! Pagi-pagi begini sudah datang, Yada!" Erza, pria 34 tahun, pemilik speedboat Pinguin Cruise menyambut Yada dengan senyum semringah di dermaga.

SUNRISE AT SIXWhere stories live. Discover now