Sunrise 2: Yang Keruh di Hati Bening

8.1K 1.3K 186
                                    

"Bodohnya kamu, Bening! Punya suami seperti Akshaya masih kamu tinggalin kayak gini? Pakai bawa-bawa Yada juga. Kamu pikir kamu siapa? Kamu bisa apa?"

Bukanlah pelukan hangat dan kata-kata yang membuat kuat, nyatanya yang Bening dapat setelah ia memutuskan untuk pergi dari hidup Akshaya adalah caci maki dari keluarganya sendiri.

Yada saat itu masih 10 tahun. Namun, kini anak itu duduk di balik pintu kamar ibunya, mendengar dengan jelas cemooh yang membuat Bening seperti manusia hina.

"Seumur hidup terlalu lama untuk terus membersamai Mas Akshaya, Ma, Pa." Bening menudukkan kepala. Anak kedua dari tiga bersaudara itu minder hingga hatinya terasa penuh sesak.

Sedari kecil, perhatian cukup tak ia dapat. Dituntut menjadi adik yang penurut bagi si kakak sulung. Di saat bersamaan, harus menjadi kakak yang mengalah bagi si bungsu.

Bening merelakan semua haknya untuk kedua saudara. Hingga besar, masih dibanding-bandingkan. Seolah segala yang pernah Bening capai tak pernah cukup adanya.

"Gayanya kamu, Bening. Ketimbang ngalah sama keluarganya Akshaya saja kamu sampai harus cerai kayak gini. Jadi janda. Bawa anak pula." Lasmaya, mama kandung Bening, duduk dengan gusar di depan anak kedua.

"Seharusnya kamu tahan-tahan aja. Toh, Akshaya itu cinta mati sama kamu. Yang penting, kamu yang nggak punya kerjaan apa-apa itu bisa hidup enak. Yada juga hidupnya bisa terjamin. Daripada sekarang, kamu bisa apa, Ning? Mama sama papa malu kalau kayak gini!"

Bening mengangkat wajahnya yang memucat. Matanya kini berkaca-kaca, menatap Lasmaya dengan begitu terluka. "Mama sama papa malu? Malu kenapa?"

"Malu karena dari dulu, kamu selalu jadi anak yang paling gagal! Kamu lihat, Aruni, kakak kamu sekarang sukses. Kamu sama dia itu cuma beda setahun, tapi pencapaiannya beda jauh. Dia sekarang jadi dokter, suaminya juga pengusaha hebat. Adek kamu, Sandi, bisnis travel umrohnya udah maju pesat. Kakak dan adik kamu hidup dengan gemilang. Sementara kamu ini kenapa, Bening? Umur 32 mau jadi janda? Janda yang nggak punya apa-apa pula! Malu mama, Ning, malu! Apa kata saudara-saudara kita nanti?"

Bening meneteskan air mata. Terisak kecil. Namun, sekuat tenaga ia meracuni pikirannya agar menyudahi tangisan itu.

"Mungkin, Mama sama Papa lupa bahwa sejak kecil, Bening nggak pernah mendapat fasilitas yang setara seperti apa yang didapat Mbak Aruni dan Sandi. Mbak Aruni jadi dokter, karena Mama dan Papa mau keluar biaya untuk sekolahin dia sampai tuntas." Bening mengepalkan tangan, berusaha menguatkan diri sendiri, meski kuku jemarinya kini menancap ke telapak tangan dengan begitu kencang.

"Ning!" Panca, sang papa kini bahkan menaikkan nada bicaranya.

Harusnya Bening berhenti, tapi kini ia justru ingin mengutarakan perasaan yang puluhan tahun ia pendam sendiri. "Kenapa, Pa? Benar, kan? Kalian menyokong penuh hidup Mbak Aruni, sementara aku, selepas SMA, aku ngalah untuk nggak kuliah dulu. Aku bahkan kerja, bantuin biaya sekolah Sandi dan kebutuhan rumah ini sehari-hari. Aku sampai nggak bisa nabung untuk lanjut kuliah karena aku ikut harus jadi kakak yang baik buat Sandi, dan anak yang berguna buat Mama dan Papa.

"Bahkan, Mama sama Papa minta aku untuk menerima lamaran Mas Akshaya, minta mahar banyak-banyak, dan ujung-ujungnya, mahar itu Mama sama Papa pakai untuk ngebiayain Sandi kuliah."

"Berani kamu ungkit-ungkit masalah itu, Ning?" Lasmaya berdiri dari sofa, menatap Bening dengan murka.

Sementara itu Bening tak gentar. Ia menghela napas dan menundukkan kepala. "Aku capek. Dari kecil aku harus ngalah terus sama Mbak Aruni dan Sandi. Bahkan, sampai Sandi mau buka bisnis travel umroh pun Papa sama Mama bela-belain jual tanah buat bantu modal. Sekarang apa?" Bening memutuskan untuk kembali mengangkat wajah, menatap mama dan papanya dengan pandangan kosong. "Aku salah apa? Sebagai anak tengah aku kurang kuat apa lagi? Kurang ngalah apa lagi? Aku nggak pernah ngejar mimpi dan nggak punya cita-cita karena siapa?"

SUNRISE AT SIXWhere stories live. Discover now