Happiness

210 41 2
                                    

"Aku hamil."

Bukanlah kata yang diharapkan Mark untuk didengarnya dari sang kekasih ketika diajak bertemu. Bukan, bukan Mark tidak sayang, tidak cinta kepada kekasih yang sudah menemaninya selama lebih dari tujuh tahun itu. Tapi Mark, bagaimana ya mengatakannya, belum siap untuk hidup bersama dengan Donghyuck. Betul, masih banyak keraguan dalam diri Mark, yang salah satunya ternyata menjadi kenyataan saat Donghyuck berkata bahwa dia mengandung anak Mark. Mark tidak siap untuk mejadi ayah.

"Mark?" panggilan ragu dapat Mark dengar dari sosok yang duduk di hadapannya. Wajah pucat yang menatapnya khawatir, tapi mengulas senyum, tidak lama kemudian. "Aku gak akan minta tanggung jawab kamu kok, kalau kamu memang belum siap." Lanjutnya, mengerti benar alasan Mark terdiam cukup lama setelah Donghyuck memberitahukan kabar kehamilannya. Kalau ada satu hal yang Mark tidak suka dari Donghyuck adalah, kekasihnya itu tidak pernah memaksakan kehendaknya atas Mark. Donghyuck selalu mementingkan kenyamanan Mark di atas kebutuhannya sendiri, dan Mark, selalu menjadi si brengsek yang memanfaatkan keadaan itu.

"Bukan gitu, sayang." Mark mengernyitkan alisnya bingung ketika Donghyuck justru menarik tangannya dari genggaman tangan Mark. Mark bahkan bisa merasakan dinginnya tangan kekasihnya itu, pertanda bahwa kegugupan melingkupi sosok pucat di hadapannya itu.

"Aku beneran gapapa, Mark. Aku cuma ngasih tau aja kok, gak ada yang harus kamu lakuin. Buat aku. Buat kami." Dan Mark tidak suka, sangat tidak suka ketika Donghyuck tidak melibatkannya dalam pengambilan keputusan, seakan pendapat Mark tidak cukup penting untuk dipikirkan oleh kekasihnya itu.

"Donghyuck..."

"Gini deh Mark, kamu pernah gak, dalam tujuh tahun hubungan kita, kepikiran untuk nikah sama aku? Punya anak sama aku? Atau sesederhana mikir ada aku di dalam rencana jangka panjang kamu, lima atau sepuluh tahun lagi?" Pertanyaan Donghyuck menampar Mark. Bukan Donghyuck yang tidak cukup mempercayainya, tapi dirinya sendiri juga kadang masih kurang terbuka. Bahkan tujuh tahun kebersamaan mereka, tidak cukup untuk membuatnya jujur mengenai segalanya kepada sang kekasih. Mark mengingat kembali percakapannya dengan ibunya beberapa waktu silam, yang bersikeras akan mengenalkannya dengan seorang gadis, meski tahu Mark sudah mempunyai kekasih. Ibunya, sama seperti ibu-ibu lain, menginginkannya menikah, berkeluarga dan memiliki anak. Bukannya ibunya tidak menyetujui hubungan dengan Donghyuck, tapi di mata sang ibu, berkeluarga dengan Donghyuck tidak masuk dalam kriteria berkeluarga secara utuh. Yang sebenarnya, sekarang bisa dibantah karena Donghyuck akan memiliki anak dari Mark. Toh nyatanya Mark tidak mempunyai cukup keberanian untuk membantah sang ibu, kala itu, atau memberitahu mengenai kehamilan Donghyuck, jika menilik kasus saat ini.

"Jadi..." Deheman Donghyuck membuyarkan lamunan Mark, yang untuk kesekian kalinya membuat Donghyuck merasa diabaikan. "Aku di sini beneran cuma mau kasih tau kamu kalau aku hamil dan aku gak akan minta tanggung jawab kamu dalam bentuk apapun. Kalau suatu hari nanti kamu mau ketemu anak kita," Mark bisa melihat sinar mata kekasihnya membulat sempurna, terlihat berbinar bahagia. "boleh, aku gak akan menghalangi. Tapi kalau enggak, juga gapapa."

"Aku masih sayang sama kamu."

"Aku juga." Jawab Donghyuck singkat

"Aku gak mau putus." Donghyuck terkekeh mendengar kalimat polos kekasihnya. Tidak salah sih, tapi lucu saja mendengarnya.

"Terus?" tanya Donghyuck, mencoba memancing keputusan apa yang akan Mark ambil mengenai hubungan mereka ke depannya. Donghyuck jelas tidak bisa, dan tidak mau mengaborsi calon anaknya, tapi Donghyuck juga tidak bisa memaksa Mark untuk menikahinya.

"Tapi aku gak siap nikah. Aku gak siap.... Punya anak." Detak jantung Donghyuck seakan berhenti saat mendengar Mark mengucapkan kalimat itu. Meski sudah bisa memprediksinya, ketika kalimat itu benar-benar diucapkan kepadanya, hati Donghyuck tetap saja terluka karenanya.

"Iya, gapapa." Donghyuck mengelus perlahan surai sang kekasih, yang sudah menaruh kepalanya ke atas meja, berbantalkan lengannya sendiri. Donghyuck tidak tahu siapa yang lebih butuh ditenangkan, dirinya atau kekasihnya yang sekarang terdengar terisak dalam diam, berusaha menahan tangisnya. "Tapi Mark, kalau aku dihadapkan pada pilihan harus kehilangan kamu atau anak ini, maaf, jawabannya aku lebih memilih kehilangan kamu."

*

Kalau Mark yang sekarang, datang kepada dirinya sendiri dua tahun lalu dan berkata bahwa dirinya akan menikahi kekasihnya, memiliki satu anak dan hidup (cukup) bahagia, Mark pasti akan tertawa terbahak-bahak dan mengatainya gila, karena mana mungkin? Tapi lihat sekarang, Mark sedang menatap pengantinnya yang tersenyum lebar, bahagia hingga Mark yakin bisa melihat binar gemerlap di mata kekasihnya itu. Hingga menularkan senyum bahagia yang sama kepada Mark, yang sedang menanti Donghyuck berjalan menghampirinya, bersama satu sosok mungil, yang lucunya begitu mirip dengan Mark. Anak mereka. Ya, Mark dan Donghyuck akhirnya memutuskan menikah setelah anak mereka berusia satu tahun, karena Donghyuck memberikan Mark waktu untuk memutuskan untuk menginginkan dirinya dan anak mereka atau tidak.

Dua tahun yang berat karena Mark harus menghadapi kehamilan Donghyuck. Tidak, Donghyuck tidak rewel menginginkan ini dan itu, dan justru itu yang menurut Mark semakin berat untuk dihadapi. Ketika menginginkan sesuatu untuk dimakan, Donghyuck akan mengusahakannya sendiri, entah membelinya ataupun membuatnya di tengah malam. Ketika tiba waktunya untuk periksa kandungan, Donghyuck juga akan pergi sendiri. Membuat Mark berpikir apa gunanya di hidup Donghyuck. Dan setelah kelahiran anak mereka, meski semakin sibuk dan mengalami kesulitan tidur (panggil Mark bucin tapi itu semua Mark lakukan demi Donghyuck mendapatkan tidur yang cukup), Mark tidak bisa berbohong kalau dirinya menikmati hal itu. Terlepas dari kantung matanya yang terlihat jelas dan pinggangnya yang kadang terasa akan patah. Beruntung dirinya memiliki Donghyuck sebagai pasangan, yang akan dengan senang hati menghadiahinya pijatan di sela waktu istirahat mereka.

"Aku hamil." Mark tertawa saat Donghyuck terkikik membisikkan dua kata itu padanya, tepat setelah ciuman pasca janji suci mereka. Kata yang dua tahun lalu sempat memporak-porandakan akal sehat dan kehidupannya, nyatanya membawa efek yang berbeda hari ini. Terutama melihat senyum bahagia dari kekasihnya, pujaan hatinya.

Mark bahagia. Sangat bahagia.

***

Kayaknya aku hobi bikin cerita sex before marriage ya? Hehehehe

KoushikWhere stories live. Discover now