Chapter 2

7 0 0
                                    

Aku terbangun di ruang UKS, di sampingku, aku disambut dengan seorang gadis yang tidak asing, Alamanda. Ia tampak khawatir. "Bagaimana keadaanmu?"

Aku tidak menjawab. Bibirku terasa perih, tapi kepalaku tidak lagi pusing. Aku mengusap bibirku, tak ada darah beku, seseorang pasti telah membersihkannya.

"Aku pingsan ya? lemah sekali" ucapku.
"Bicara seperti itu lagi, aku pukul kamu." ucap Alamanda kesal.
"Masa SMA-ku sepertinya akan hancur, sama seperti masa SMP, orang-orang akan menganggapku sebagai anak nakal yang suka berkelahi."
"Aku tidak mengaggapmu begitu."
"Kalau begitu, kamu bukan orang."
Alamanda mencubit lenganku.
"Awww sakit!" jeritku refleks.
"Makanya, jangan ngeselin."

Kami hening beberapa saat.
"Kenapa kamu di sini?" tanyaku.
"Menunggumu sadar, memangnya apa lagi?"
'Maksudku, untuk apa?' tanyaku dalam hati, namun tidak kuucapkan.
"Aku baik-baik saja." ucapku.
"Kamu yakin? tadi kamu berdarah."
"Itu sudah biasa."
"Kepalamu sakit? teman-teman bilang tadi terbentur."
"Sudah tidak lagi."
"Syukurlah, kalau begitu."

"Sekolah sudah usai, kamu melewatkan 2 mata pelajaran selama pingsan. Ini, aku pinjamkan catatanku." ucap Alamanda sambil menyodorkan buku catatan.
"Terima kasih." ucapku sambil menerima buku catatannya.

"Hei, apa aku dalam masalah?" tanyaku.
"Tidak, jangan khawatir. Kamu jadi korban dalam kejadian hari ini." jawab Alamanda.

"Kamu pulang naik apa?" tanya Alamanda.
"Motor." jawabku.
"Kamu yakin mampu naik motor?"
"Ya, aku baik-baik saja."
"Tidak, aku tidak percaya, kamu akan pulang bersamaku."
"Lalu bagaimana dengan motorku? Bagaimana aku berangkat sekolah besok?"
"Aku akan menjemputmu."
"Hah?"

**********

Alamanda tidak memberiku kesempatan untuk menolak. Dalam sekejap aku berada di mobilnya, bersama ayahnya yang menyetir.

Selama perjalanan, ayah Alamanda sangat ramah kepadaku, ia tidak menyinggung sedikit pun tentang perkelahianku, baguslah, sepertinya Alamanda belum menceritakan kejadian di sekolah tadi kepada ayahnya.

Beberapa saat kemudian, kami tiba di depan rumahku. Aku turun dan mengucapkan terima kasih.

Saat aku masuk ke dalam rumah, seperti hari biasanya, aku disambut dengan kesunyian. Aku langsung masuk ke kamarku dan berbaring di kasur. 15 menit berlalu, aku segera bangkit dan berganti pakaian. Setelah itu aku memasak dan menyiapkan makan malam.

Tak lama setelah makanan siap, ibu datang. Ia tampak sangat lelah, aku mengajaknya makan bersama.

"Sekolah menelpon tadi siang."
Aku terdiam.
"Beruntung, mereka menyebutmu sebagai korban. Sudah ibu bilang berkali-kali, jangan berkelahi, bagaimana jika orang tuanya meminta biaya pengobatan? kita ini orang miskin."
"Mereka menggangguku, bu."
"Apa susahnya mengabaikan? Ibu sudah pusing dengan pekerjaan, jangan ditambah-tambah lagi dengan masalahmu."
"Baik, bu."

Setelah makan malam, ibu kembali ke kamarnya dan tidur. Aku keluar rumah sebentar untuk menghirup udara segar.

Malam ini bulan bersinar begitu terang. Gemerlap bintang-bintang juga begitu cantik menghiasi langit. Indah sekali. Andai ada seseorang yang bisa kuajak untuk melihat langit malam ini, ia pasti juga akan senang sepertiku.

Handphone-ku bergetar. Tanda ada notifikasi masuk.

+628xxxxxxxx
"hai azalea, ini alamanda"

"dapat nomorku dari mana?"

"grup kelas, hehe"
"besok aku jemput, jangan telat ya."

"kamu yang jangan telat"

"loh?"
"memangnya aku pernah telat?"

"entahlah, aku kurang tau."

"aku gak pernah telat, sedangkan kamu
sudah pernah telat satu kali di semester ini."

"itu karena ban motorku bocor di jalan."

"alasan, harusnya bisa mengantisipasi"

"kamu pernah kebocoran ban gak?"

"nggak"

"pantas saja bilang begitu"

"hah?"

"gapapa, nothing"

"lg ap"

"??"

"gapapa, nothing"

Aku terkekeh melihat balasan terakhirnya. Karena sudah larut malam, aku memutuskan untuk berhenti membalas, namun suara notifikasi muncul lagi.

+628xxxxxxxx
"Lihat keluar"
"Bulannya cantik sekali malam ini"

"Dia juga sedang menatap langit?" tanyaku dalam hati. Entah kenapa aku merasa sangat senang mengetahui hal ini.

"iya, cantik."

"terima kasih!!"

"???"
"oh, maksudku, iya, bulannya cantik."

"cih, gak perlu dikoreksi aku juga tau."

"lalu terima kasih untuk apa?"

"karena sudah effort keluar melihatnya"

"oh tidak perlu,
aku juga sedang di luar sedari tadi"

"lagi di luar? kukira kamu bukan anak yang suka keluar"

"memang bukan"

"jadi, maksudnya bagaimana?"

"sama sepertimu, aku juga sedang menatap langit"

"oh ya?"

Percakapan kami berhenti di sana karena aku sudah mengantuk. Aku harus tidur dan bangun lebih pagi besok karena aku tidak ingin membuat Alamanda menunggu.

**********

Besoknya, Alamanda benar-benar menjemputku, tentu saja, kalau tidak- bagaimana aku berangkat ke sekolah.

"Kenapa di-read aja tadi malam?" tanya Alamanda.
"Aku mengantuk."
"Setidaknya bilang sesuatu."
"Memangnya kenapa?"
"Aku khawatir kamu diculik"
"Berlebihan sekali"
"Memangnya salah berpikiran begitu?"
"Iya, iya, lain kali aku balas."

Saat tiba di sekolah, teman sekelas yang juga tiba di waktu yang sama, menghampiri kami.

"Hei, kalian bareng?" tanya anak itu.
"Hai Dea, iya nih, aku culik dia kemarin." canda Alamanda. Aku langsung menoleh mendengar ucapannya.
Dea tertawa. Candaan mereka agak aneh.
"Oh, Azalea, keadaanmu bagaimana?" tanya Dea
"Aku baik-baik saja." jawabku.
"Seisi kelas mungkin masih syok karena kejadian kemarin. Siapa yang tidak syok melihat seorang anak perempuan dipukul hingga berdarah lalu didorong hingga terbentur sampai pingsan." ucap Dea
"Maaf..."
"Azalea kamu aneh sekali. Untuk apa kamu minta maaf?"
Aku terdiam.
Setelahnya Dea berbicara tentang berandalan Daniel dan teman-temannya, dia sepertinya memang sudah sangat kesal dengan mereka.
"Daniel pantas dipukul begitu. Aku senang sekali melihat mukanya bonyok." ucap Dea.
"Kok bisa ya, Alamanda berpacaran dengannya waktu SMP" sambung Dea.
"Tunggu, apa?" tanyaku kaget.
Dea tampak kaget juga.
"Astaga aku lupa harus merahasiakan ini, maafkan aku, Alamanda, bye bye" Dea berlari ke ruang kelas.

Kami sudah tiba di kelas, Alamanda tidak mengatakan sepatah kata pun. Tempat duduk kami agak berjauhan, namun aku penasaran dengan hal barusan. Aku ingin mendatangi tempat duduk Alamanda dan menanyakannya, tapi ia tampak sibuk bicara dengan teman-temannya.

###########
Bersambung...



You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Feb 19 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

Wilted Yellow FlowerWhere stories live. Discover now