seventeen

1.9K 140 29
                                    

Aku mengerjapkan mata berkali-kali berusaha secara sadar mencerna apa yang diinginkan oleh mahluk tampan di depanku ini. Telapak tangannya membentuk cekungan agar sup yang ia tumpahkan tidak jatuh ke lantai. Aku sesekali menatap wajahnya takut-takut. Sorot matanya seakan bilang makanlah apa yang sudah kuberikan kepadamu atau aku akan membunuhmu.

"Kau lapar, makanlah sebelum supnya dingin", Erick berkata sambil menahan rasa tidak sabar.

Persetan. Aku sangat lemah dan kelaparan sekarang. Aku harus mengumpulkan energiku untuk kabur darinya nanti. Aku mencondongkan tubuhku ke arahnya, tidak terlalu banyak karena tanganku lagi-lagi diikat kuat.

Erick seakan tau hal itu dan menyodorkan telapak tangannya yang berisi sup itu kepadaku. Seakan berusaha untuk menghilangkan kewarasanku, aku menyeruput sup di tangannya pelan lalu menjilatinya sampai habis. Tetap enak. Erick mengerang saat aku menjilati tangannya.

Erick menarik tangannya dengan kasar lalu ikut menjilati telapak tangannya sendiri. Aku menatapnya dengan perasaan lumayan aneh sesaat sebelum ia membanting kursi di belakangnya lalu berdiri tepat di depanku. Wajahku berhadap-hadapan dengan perutnya saat ia mencoba menumpahkan sup ditangannya lagi. Aku harus sabar, aku harus diam menunggu hal apa lagi yang akan dia lakukan kepadaku.

Setelah ia menaruh mangkuk sup di pangkuanku, tangannya yang bersih menarik daguku kasar hingga aku terdongak. Atap dan tembok ruangan ini yang ternyata terbuat dari besi sepenuhnya, memenuhi pandanganku.

Wajah tampan iblis di depanku menyeringai melihatku yang kebingungan seakan menanti penyiksaan jenis apalagi yang akan kudapatkan kali ini. Ibu jarinya menarik bibir bawahku tapi aku mengatupkan gigiku erat.

"Harus dipaksa dulu agar mau buka mulut, ya?" kepalanya miring kekanan dan alisnya bertaut kebingungan. Aku yang seperti terhipnotis segera membuka mulutku.

Hei, setan. Kau kan bisa menyuruhku untuk membuka mulut dengan perkataan! Bercanda. Aku tidak berani mengatakan itu padanya. Aku harus memikirkan cara untuk bertahan hidup yang tidak pernah diajarkan pramuka disini.

Erick menumpahkan sup yang ada ditangannya ke mulutku. Sisa sup ditangannya menetes ke dagu lalu mengalir melalui leherku. Seakan mendapat ide baru, Erick malah makin menumpahkannya ke leherku.

Lalu dengan kasar, ia mengusap keatas tetesan sup di leherku lalu membawanya kedepan mulutku. Tangannya menekan bibirku kuat sehingga aku harus menjilatinya lagi. Sesekali aku menatap matanya yang kegirangan.

Aku menjilati sup di tangannya sampai habis, ke seluruh bagian telapak tangannya yang lebar, bahkan yang menetes di pergelangan tangannya sekalipun. Nafasnya terdengar semakin berat saat aku melakukannya.

•••

Aku harus selalu memastikan agar gadisku menyukai apa yang ku lakukan. Lihatlah wajah cantik kelaparan yang sedang menjilati tanganku dengan lahap itu. Lidahnya yang mungil seakan menari-nari di telapak tanganku. Geli, aku bahkan bisa merasakannya di seluruh tubuhku. Andai aku bisa memotong lidahnya dan menyimpannya untuk keperluanku sendiri.

Aku sadar aku tidak bisa mengendalikan ekspresiku saat ini. Wajahnya tampak takut saat melihat ekspresiku sekarang. Duh, Tuhan, bagaimana bisa seorang anak gadis membuatku melayang seperti ini. Aku sangat bersyukur bisa mendapatkannya.

Cantikku menjilati telapak tangan lalu turun ke pergelangan tanganku. Pintar, dia tidak menyia-nyiakan sup yang menetes. Lain kali aku harus membuatnya sangat kelaparan dulu agar dia bisa menjadi gadis baik seperti ini.

Rasanya aku ingin meledak. Pemandangan yang Jennifer berikan padaku sungguh indah, aku sangat menyukainya. Belum lagi caranya menjilati sup yang kuberikan padanya melalui tanganku. Aku bahkan berterimakasih pada Tuhan bahwa aku sebagai manusia bisa merasakan hal semenyenangkan ini.

Dear, JenniferTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang