eleven

11.9K 712 159
                                    

Aku terus meneriaki diriku sendiri. Ayolah, jangan menangis. Dia itu pria yang sudah menolongmu, Jane! Kau seharusnya bersikap manis padanya.

Tapi tidak. Bagian otakku yang lain menolaknya. Dia stalker! Dia penguntit! Kau tidak tahu siapa dia, Jane! Jangan dekat-dekat. Bisa saja dia itu jahat! Dia menginginkan sesuatu darimu.

Aku tidak tahu apa yang harus kulakukan. Ya Tuhan, tolong aku. Pria ini sudah di hadapanku dan aku harus bagaimana?

Otak dan hatiku berperang mempertahankan ego masing-masing. Aku tetap diam dan menangis seperti orang bodoh, tidak mengikuti hati maupun otakku.

Aku masih sibuk menangis hingga akhirnya kulihat pria itu menyerah dan perlahan mulai menjauh. Dia akan pergi? Oh jangan. Aku bahkan belum berterimakasih padanya.

Saat ia berjalan keluar, tanganku reflek menariknya. Reflek. Aku bahkan kaget saat aku melakukannya.

Biarlah. Aku tidak peduli. Ini sudah terlanjur, aku akan mengenalnya. Kita tidak bisa terus-menerus bermain kejar-kejaran seperti ini.

"Tolong jangan pergi. Are you my guardian angel?"

Apa yang kau lakukan Jane?! Dasar bodoh. Aku memejamkan mataku dan berusaha mengatur nafas. Tidak apa-apa. Dia tidak berbahaya. Mungkin.

Aku mendongak menatap wajahnya perlahan. Dia tersenyum. Dia tersenyum sangat lebar dan menunjukkan deretan giginya yang rapi itu.

What the fuck. Siapa wanita yang tahan melihat pria yang tersenyum lebar seperti itu? Aku memalingkan wajah sejenak dan menatapnya lagi. Dan dia masih bertahan dengan senyumnya yang seperti itu.

Ya Tuhan. Dia manis. Wait, what? Tidak. Tapi dia memang manis! Entahlah. Aku tidak pernah memuji seseorang pada pandangan pertama, tapi dia beda.

Maksudku, lihatlah matanya. Bagus sekali. Ia memiliki sorot mata yang tajam, tapi membuatku ketagihan untuk menatapnya.

Dasar. Lewis juga membuatku ketagihan saat menatapnya, tapi Lewis tidak mempunyai sorot mata seperti itu. Persetan. Dasar keparat. Semua hal indah tentangnya di kepalaku sudah lenyap.

"Kau.. Bisa menjadikanku apapun yang kau mau, cintaku", pria itu menyentuh bahuku, membuatku tersentak.

Bisakah seseorang menghentikan ia memanggilku dengan kata itu? Oke, ini sudah cukup jauh. Aku telanjang. Dan seorang pria berada di kamarku selagi aku telanjang.

"Eh.. Tuan, bisakah kau menungguku di luar selagi aku memakai pakaianku?" aku berkata takut-takut.

Tiba-tiba senyumnya berhenti dan ia menatapku lagi. Sungguh, aku takut jika ia akan mendorongku dan melucutiku.

"Bisakah.. aku tetap di sini melihat Jane ku memakai pakaian?" ia menatapku tajam.

"Tidak boleh!" ia tampak terkejut, dan cepat-cepat keluar lalu menutup pintu kamarku.

Apa-apaan itu tadi? Dasar aneh. Apakah ia punya gangguan jiwa? Terserahlah, aku bisa bertanya nanti. Aku cepat-cepat memakai pakaianku.

Aku keluar kamar dan tebak? Dia berdiri seperti patung di depan pintu kamarku. Aku merinding menyadari tatapan penuhnya ke diriku. Apakah pria itu terus berdiri disini seperti itu selama aku berpakaian?

Dia tidak normal, sungguh. Aku berjalan menjauh dari kamar melewatinya, sambil terus mengamati setiap gerakannya.

Dia mengikutiku, tentu saja. Aku turun ke dapur dam dia masih mengikutiku. Aku risih, sungguh. Dia seperti anak ayam dan aku induknya.

"Jadi.. ", Aku berbalik dan mengangkat satu alisku sambil menunjuknya.

"Erick", dia menyebutkan namanya.

"Nah, jadi bisakah kau berhenti melakukan itu dan duduk di sana sambil menungguku membuat minum?" aku mendorong dadanya menjauh.

Erick tersenyum lagi, seperti terakhir kali dan menuruti apa yang kukatakan. Dia duduk di salah satu kursi di sudut dan menatapku seperti patung. Lagi. Sungguh, aku baru tahu ada orang dengan perilaku seaneh itu.
"Tuan.. "

"Erick", dia memotong omonganku.

"Iya iya, Erick, kau ingin minum apa?" aku memutar bola mataku dan berbalik ke arahnya.

"Bisa kau melakukan itu lagi?" nada dalam ucapannya bergetar.

"Hah? Melakukan apa?" aku menatapnya bingung.

"Menyebut namaku lagi", dia tersenyum lebar dan tangannya saling menggenggam erat.

BLANK.

Really? Apakah dia hidup di dalam gua dan tidak pernah bertemu manusia? Ya Tuhan, perasaan apa ini.

"Yeah, tentu saja. Erick, kau mau minum apa?" aku menatapnya geli.

Dia tersenyum semakin lebar dan berdiri hendak memelukku, tapi segera kutahan dadanya dengan kedua tanganku. Apa-apaan?

"Jane memanggil namaku!" teriaknya kegirangan.

"Yeah, lalu?"

"Aku akan meminum semua yang diberikan cintaku", Oh, aku berfikir untuk memberinya racun nanti.

"Oke, kau bisa duduk disana lagi", aku mendorongnya menjauh dan menunjuk kursi yang dia dudukki tadi.

Aku bersyukur. Erick tidak berbahaya. Bayanganku tentang psikopat kejam yang membuatku mimpi buruk selama ini lenyap. Erick justru seperti anak ayam daripada psikopat gila.

Aku menyodorkan teh chamomile kepadanya yang masih terus menatapku. Erick menerimanya dan tidak sengaja melihat bekas cakaran di punggung tanganku gara-gara kejadian malam itu.

Erick menatap bekas luka itu lama, sampai akhirnya dia menatapku dengan sorot mata yang tidak bisa kubaca. Dengan gerakan cepat, ia menyambar gelas itu dari tanganku dan membantingnya ke lantai.

Aku takut sekarang. Ada apa? Aku bahkan tidak melakukan apapun. Apa dia seperti ini hanya karena melihat bekas luka ini? Tiba-tiba Erick berdiri dan aku harus mendongak menatap wajahnya.

"Jane, kau milikku. Tidak boleh ada yang menyentuh milikku selain aku", suaranya berat dan bergetar.

Aku mengambil langkah mundur dan tatapannya menggelap. Aku tidak mengerti situasi ini. Dimana perilaku seperti anak ayamnya tadi? Dia mencengkram lenganku dengan menyakitkan.

"Aku akan melindungimu, cintaku. Jangan takut, aku akan terus disini. Aku harus mengajarimu bahwa kau milikku. Bisakah aku tinggal disini selamanya?"

•••••

I miss you guys so much, tapi ada kejadian yang bikin aku gabisa update Dear Jen dalam waktu cepet.


File nya Dear Jen sempat corrupt. Jadi aku harus refresh otak lagi untuk nulis.

Jan lupa vomment ya manteman.

Dear, JenniferWhere stories live. Discover now