11. Sebuah kesempatan

715 95 9
                                    


.
.
.
.
.
Vier menatap semangkuk bakso yang baru saja dia ambil, lebih tepat nya Dimas yang mengambilkan. Di seberangnya ada San yang sudah asik memakan bakso buatan eyang Asih.

"Makan Vi, diliatin mulu deh." Vier menghela nafas dan mulai memakan bakso nya.

"Loh, udah makan toh, baru mau tak ajak cari pecel." Ketiga remaja itu serempak menoleh pada Hanan juga Kaivan yang baru saja datang.

"Eyang masak bakso, jadi sarapan ini aja." Kaivan mengernyit bingung mendengar ucapan Vier.

"Eyang Asih?" Vier, San dan Dimas mengangguk.

"Yakin eyang Asih? Bukan Vion?" Justru setelah Kaivan mengatakan itu Vier, San dan Dimas mematung. Tapi kan tadi mereka dengar sendiri jika Vion mengatakan itu masakan eyang Asih.

"Vion bilang ini yang buat eyang Asih kok, lagian gak usah ngadi-ngadi kon Van. Vion gak mungkin bisa masak." Kaivan tertawa remeh mendengar ucapan Dimas.

"Lah, kan eyang Asih sebelum subuh udah pergi, ikut pengajian ke kampung sebelah." Hanan menanggapi ucapan sahabatnya dengan santai, karena dia dan Kaivan adalah orang yang di pamiti oleh eyang Asih sebelum berangkat.

"Kon iku ndak tau gimana Vion Dim, jadi gak usah banyak komentar soal Vion. Neng kene selain aku, Arka karo Kian, cuma Hanan seng tau Vion gimana. Bahkan Vier pun ndak tau adek nya gimana." Ucapan santai Kaivan seperti tamparan keras untuk Dimas maupun Vier. Karena hal itu benar, Vier yang notaben nya adalah kembaran Vion pun tidak mengenal baik bagaimana Vion.

"Wes ta Kai, tapi kok kalian cuma bertiga, Vion ndi?" Vier menatap lekat ke arah Hanan.

"Tadi Vion pergi, dia cuma bilang kalau mau ke rumah tukang gas. Gak tau mau ngapain, emang gas di rumah habis ya?" Kaivan dan Hana serempak tertawa saat mendengar penjelasan Vier.

"Hahahaha...hahaha..."

"Hahaha...aduh Vier, Vion iku bukan mau beli gas, tapi dia lagi main ke rumah Kian." Jawaban Kaivan membuat Vier dan San bingung.

"Gimana maksudnya?"

"Kian itu anak juragan lpg disini."
.
.
.
.
.
Vion sudah menginvasi kamar Kian sejak dia datang lima belas menit lalu, remaja itu bahkan dengan senang hati membantu mamanya Kian untuk membangunkan anak tunggalnya itu.

Grep

"Udah lah tidur aja Yon, masih pagi bener ya gusti." Vion yang mendengar gumaman Kian hanya tertawa.

Plak

Plak

"Ayo bangunlah Yan, mama masak ayam kecap, aku laper tapi nungguin kamu." Kian langsung membuka matanya lebar saat mendengar ucapan Vion.

"Loh salah sendiri gak bilang dari tadi, kalau gitu bentar, aku tak cuci muka." Vion mengangguk kecil dan berganti merebahkan diri di kasur Kian.

"Leh, malah turu. Ayo mudun, jare luwe." Vion kembali mengangguk dan langsung melompat untuk merangkul pundak Kian.

"Ma, iki loh ma. Anak mbarep e mama kaliren jare." Vion spontan menggeplak pundak Kian saat sahabatnya itu.

"Oalah, ndang lenggah, sarapan sek. Harus e mau ndak usah nunggu Kian toh le, Kian kan koyo kebo." Vion tertawa saat Kian justru di nistakan oleh mama nya sendiri.

"Ya gusti Kian sabar kok." Kian hanya bisa mengelus dada saat mendengar tawa Vion dan sang mama. Ya tidak masalah dia dinistakan oleh mama nya asal Vion tertawa.

"Wes wes, iki sarapan e." Kian berbinar melihat piring di hadapannya yang sudah lengkap dengan nasi, ayam kecap juga tumis kangkung.

"Ayo Vion sarapan."

Kian ikut ke rumah Vion setelah sarapan, kalau saja bukan karena bujukan Vion tentu saja Kian akan lebih memilih rebahan sambil nonton wetube.

"Kan bener, dari rumah Kian." Vion dan Kian yang baru saja datang langsung menatap ke arah Kaivan yang sudah duduk anteng sambil makan bakso.

"Dah udah disini aja kalian, Arka belum dateng?" Hanan menggeleng.

"Udah sarapan Yon?" Vion mengangguk.

"Udah, numpang makan di rumah Kian." Seharusnya jawaban Vion tidak cukup membuat mereka emosi, tapi ternyata hal itu mampu membuat Dimas kembali mengeluarkan kata julid.

"Padahal di rumah udah ada makanan, malah numpang di rumah orang, gimana sih?" Vion terlihat tidak peduli dengan ucapan Dimas, namun berbeda dengan Kian yang sudah memasang wajah kesal.

"Heh, itu mulut gak bisa di jaga ya? Belum pernah di teploki sambel e mama ku seh, dadi e ngunu. Mama ku seng masak nang omah ae ndak protes kok kon seng protes." Dimas menatap tajam ke arah Kian, hal itu membuat Vier, San dan Hanan mendengus kesal.

"Yo kan gak enak di liat e, masih pagi udah bertamu ke rumah orang terus numpang makan lagi." Kian sudah akan merangsek maju sebelum tangannya di tarik Vion.

"Sek ta, Vion sahabat ku, mama karo papa ku ndak keberatan kalau dia makan di rumah, mau pagi, siang, sore, malem, bahkan subuh sekalipun. Coba ngaca Dim, kon tamu, bangun jam enam pagi, udah ada sarapan dan tinggal makan. Kok kiro sopo seng masak iku cok?! Vion iku seng masak!" Vion sedikit menghela nafas berat saat Kian menaikan nada suaranya. Tapi sepertinya ucapan Kian berhasil membuat Dimas diam.

"Dah lah, lek gegeran kono nang njobo, ojok ndek njero." Setelah mengatakan itu Vion berlalu pergi ke halaman belakang rumah. Vier yang melihat itu memilih mengikuti Vion.

"Dimas, kita tamu loh, sedangkan Vion tuan rumah. Tolong lah jaga ucapannya, kon udah janji loh."
.
.
.
.
.
Vier menghampiri Vion dengan perlahan, dia terlihat ragu untuk semakin mendekati adiknya itu. Vier takut jika Vion akan kembali mendorong nya menjauh atau mungkin kembarannya itu yang akan menjauh.

"Dek." Vion terlihat menoleh sebentar sebelum kembali fokus pada kolam ikan di hadapannya.

"Hm?" Vier mengerjap saat mendengar respon Vion, tidak ada ucapan ketus ataupun usiran.

"Kamu udah gak papa kan? Gak ada yang sakit?" Vier memberanikan diri mendekat dan duduk di sebelah Vion.

"Gak ada, aku sehat." Vier diam-diam mengulum senyum saat mendengar jawaban Vion.

"Kalau sakit bilang ke mas dek, jangan dipendem sendiri." Vion lagi-lagi hanya berdehem.

"Aku nanti sore mau keluar, ikut gak?" Vier mengerjap, dia tidak menyangka jika Vion akan mengajak nya. Padahal kemarin saja mereka harus bertengkar saat Vier mengajak Vion keluar.

"Ikut, sama San, Dimas, Hanan juga kan?" Lagi-lagi yang di dapat Vier adalah deheman. Tapi bagi Vier itu sudah cukup.

"Pastiin mulut temen mu itu bisa di jaga, aku mungkin bisa tahan emosi, tapi Kian belum tentu. Aku cuma gak mau ada masalah setelah kita balik dari malang, apa lagi kalau masalahnya cuma karena Kian ngehajar temen mu itu." Vier mengangguk, ini adalah kalimat terpanjang yang di ucapkan Vion padanya.

"Iya nanti mas bilangin ke Dimas dek."
.
.
.
.
.
Tbc
.
.
.
.
.

DifferentDonde viven las historias. Descúbrelo ahora