23. Pergi tanpa paksaan

1.1K 109 19
                                    


.
.
.
.
.
Arka menatap pada Kian yang tampak kacau saat melihat Vion tidak sadarkan diri, sahabatnya itu terus saja menangis di pelukan Kaivan setelah Vion di tangani.

Kondisi Vion sangat buruk saat ini, dan mereka di haruskan membawa orang tua Vion sebagai wali yang sah. Tapi bagaimana caranya? Sedangkan Bumi dan Maria tidak pernah mau menatap Vion.

Drap

Drap

Drap

"Kaivan!" Kaivan, Arka dan Kian langsung menoleh saat mendengar langkah kaki juga suara Hanan.

"Gimana?" Kaivan menggeleng.

"Dokternya belum keluar, kita belum tau keadaannya Vion." Hanan menghela nafas panjang.

"Kenapa Vion bisa pingsan? Tadi waktu dia nganter aku sama Vier ke depan dia masih baik-baik aja." Ketiga nya menggeleng mendengar pertanyaan Hanan.

"Gak tau Nan, tapi aku liat Vion duduk di depan rumah waktu aku ngecek dia. Habis itu dia pingsan." Hanan menoleh dan menatap lekat pada Okta.

"Kita tunggu gimana kondisi Vion dulu kak, nanti baru papa bisa bantu cari penanganan yang tepat." Vion akhirnya mengangguk.

"Aku takut kalau Vion akhirnya nyerah pa, takut banget." Keempat pemuda itu hanya bisa mengangguk.

Cklek

Okta sebagai satu-satunya orang dewasa disana mendekati dokter yang baru saja keluar itu pertama kali.

"Keluarga Xavion?" Okta mengangguk.

"Bagaimana keadaan anak saya?" Dokter itu menghela nafas panjang saat mendengar pertanyaan Okta.

"Kondisi nya kritis, ada penumpukan cairan di sekitar jantung nya. Apa dia sering dadanya sering terbentur sesuatu?" Okta melihat pada keempat remaja yang langsung di balas anggukan itu.

"Kami akan melakukan tindakan medis, setelah ini pasien akan dipindahkan pada ruang rawat." Okta mengangguk, laki-laki itu menepuk pundak Hanan sebelum mengikuti seorang perawat untuk menyelesaikan administrasi.

"Hanan, aku ndak ngerti apapun soal medis, tapi Vion bisa sembuh kan?" Hanan menunduk dan menatap tepat ke mata Kian.

"Aku sendiri gak yakin Yan, soalnya ini langsung berhubungan sama jantung. Tapi kita semua berharap kalau Vion punya semangat buat sembuh, semua penyakit itu pasti sembuh kalau penderita punya keinginan untuk sembuh."
.
.
.
.
.
Kian menyayangi Vion dengan sangat, karena dia anak tunggal dan kehadiran Vion sudah seperti adik untuknya. Kedua orang tua nya juga tidak keberatan untuk menganggap Vion putra mereka.

"Kian makan sek." Pemuda itu menggeleng saat Arka menepuk pundaknya.

"Aku ndak laper loh Ka, aku mana bisa makan kalau gini." Arka menghela nafas panjang, selain Vion, Kian memang paling keras kepala, itulah kenapa hanya Kian yang bisa membujuk Vion saat pemuda itu marah atau kesal.

"Lek kon gak makan engkok sakit, dan gak bakal tak bolehin jaga Vion. Kon pulang ke rumah, mau?" Kian merengut, dia tidak mungkin bisa tenang jika meninggalkan Vion.

"Ck, yowes mana." Kaivan tersenyum saat Kian mengulurkan tangannya.

"Nah gitu, jangan sampai kita semua ikut sakit. Vion cuma punya kita, sama keluarga Hanan, jadi jangan sampai ikut tumbang." Kian mengangguk kecil, dia baru sadar akan hal itu.

"Kapan Vion mau bangun yo Ka?" Arka yang di tanya hanya menggeleng.

"Gak tau Yan, kita berdoa aja biar Vion cepet bangun."

Memang sejak di bawa ke rumah sakit kemarin Vion sama sekali belum sadar, dokter pun mengatakan jika itu karena kondisi Vion yang masih kritis.

"Hanan mau kesini nanti pas pulang sekolah, sama San." Ucapan Kaivan membuat Arka dan Kian mengernyit.

"Ngapain San ikut?" Kaivan mengedikan bahunya.

"Biarin aja Ka, toh San gak pernah ngapa-ngapain Vion." Arka mendengus, bukan dia tidak suka tapi dia khawatir kalau nantinya Dimas atau Vier ikut.

Arka sedang melakukan sesuatu yang berhubungan dengan Vion dan orang tuanya, semua itu dia lakukan karena ucapan Vion beberapa waktu lalu. Arka hanya ingin membuktikan semuanya dan akan membuat kedua orang tua sahabatnya itu menyesal sudah menyia-nyiakan anak seperti Vion.

"Asal Dimas sama Vier gak ngekor aja. Aku lagi males ngeliat mereka disini." Kaivan mengangguk dan segera memberitahu Hanan.

"Udah jangan kesel gitu maka nya, aku tak beli es dulu, mau ta?" Kian dan Arka mengangguk serempak.

"Titip es cincau kalau ada."

"Aku iyo, tapi gak pake mutiara." Kaivan hanya mengangguk, dia terlalu hafal dengan selera sahabat-sahabat nya itu.

"Iyo, kalau gitu aku keluar dulu."
.
.
.
.
.
"Kita bener-bener gak mau kasih tau Vier sama orang tuanya?" Hanan menatap lekat pada San yang baru saja berucap. Mereka sudah melihat keadaan Vion tadi, dan sekarang tengah duduk di kursi tunggu depan ruang Vion bersama Kaivan.

"Apa mereka bakal peduli?" Ucapan lirih Kaivan justru membuat San dan Hanan menunduk.

"Oke, memang Vier peduli, tapi apa dua orang bajingan yang sayang nya orang tua Vion itu mau peduli? Gak mungkin San!" San memejamkan matanya.

Dia baru saja mengetahui tentang penyakit Vion dari Hanan saat dalam perjalanan ke rumah sakit tadi, dia tidak menyangka kalau pemuda yang selama ini selalu diam itu memendam rasa sakitnya sendiri.

"Eyang Asih kesini, mungkin nanti malem sampai." Hanan dan San mendongak, menatap ke arah Kaivan yang baru saja mengatakan hal itu.

"Eyang Asih berangkat sama siapa?"

"Sama orang tua Arka sama Kian, papa nanti juga ikut. Mama gak bisa ikut soalnya Rara harus sekolah." Hanan mengangguk paham.

Meskipun diabaikan oleh kedua orang tua nya, Vion mempunyai orang-orang yang menyayanginya dengan tulus dan menganggap dia sebagai putra mereka.

"Aku sempet tanya ke papa tadi pagi, harusnya keadaan Vion gak sampai ngebuat dia kayak gini. Tapi sampai sekarang Vion bahkan belum bangun, aku takut Kai." Kaivan mendekati Hanan dan memeluk sepupunya itu.

"Aku yo takut Nan, tapi kita cuma bisa doa buat Vion."

Drap

Drap

Drap

Hanan, Kaivan dan San terkejut saat melihat beberapa dokter dan perawat berlari cepat ke arah kamar Vion, bahkan mereka menahan Kaivan yang baru saja akan masuk.

"Kian, Arka, ada apa?" Kedua orang yang baru saja keluar itu hanya bisa menunduk.

"Arka." Arka menggeleng, sedangkan Kian sudah ada dalam pelukan Hanan.

"Gak tau Kai, tadi Vion tiba-tiba aja kejang." Kaivan menggigit bibir bawahnya, dia ikut takut saat mendengar ucapan Arka.

Kaivan bisa melihat bagaimana para dokter menangani sahabatnya di dalam sana lewat kaca kecil yang ada di pintu ruang rawat. Kaivan meremas jemarinya, dia cemas dan takut.

"Hanan, Vion gak bakal ninggalin kita kan? Dia gak bakal pergi gitu aja kan?" Hanan mengeratkan pelukannya pada Kian saat pemuda itu bertanya dengan suara bergetar.

"Vion memang sering sakit dari kecil, fisik dan imun nya beda sama kita tapi dia gak pernah kayak gini. Aku sering nemenin dia sakit tapi kali ini aku takut Nan, aku takut kalau akhirnya Vion bakal milih pergi, nyerah sama keadaannya disini." Ucapan lirih Kian mampu membuat mereka yang ada disana ikut merasakan hal yang sama.

Cklek

"Dokter gimana?" Kaivan, Arka, San, Hanan dan Kian langsung menatap seorang dokter yang baru saja keluar dari ruang rawat Vion.

"Maaf..."
.
.
.
.
.
Tbc
.
.
.
.
.
Selamat pagi...
Vion datang lagi nih...
Mau double atau triple?
Jangan ada yang mewek ya, belum saat nya soalnya...

Selamat membaca dan semoga suka

See ya

–Moon–

DifferentTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang