🌸 Here's Your Perfect

276 72 38
                                    

Baik Mario maupun Naura tiba hampir bersamaan di Hoca sore itu. Mario datang semenit lebih dulu, jadi ketika ia tengah memilih bangku, Naura kebetulan sedang berjalan ke arahnya pula.

Di sebuah meja bagian sudut ruangan yang agak menjauh dari atensi publik, sepasang remaja itu duduk saling berhadapan. Dua gelas latte yang mereka pesan terlihat hanya sebagai pajangan. Tak ada yang berniat meminumnya. Membiarkan suhu di kopi itu perlahaan mendingin, seperti perasaan masing-masing pemiliknya.

Dari meja kasir, Rulia dan Arjuna bisa merasakan intensnya tendensi di sana. Rulia menggumam, "Kenapa tuh berdua? Biasanya dateng buat uwu-uwuan kok sekarang serius banget?"

"Iya ya serius banget kayak lagi sidang."

Sidang? Ya, mungkin tebakan Arjuna tidak sepenuhnya salah. Toh Naura dan Mario memang sedang sidang. Menentukan keputusan untuk bertahan atau berpisah.

"Kamu capek nggak sama hubungan kita yang kayak gini?" setelah sekian menit diam-diaman, akhirnya Mario yang duluan ngomong. Dan amat sangat to the point.

Naura menunduk. Ekspresinya terlihat menyesal.

"Jujur, aku capek," lanjut Mario, "Aku berusaha ngimbangi kamu, tapi semakin lama aku malah ngerasa kita jadi semakin jauh, Ra. Akhir-akhir ini aku bahkan selalu cemas tiap kita ketemu. Mikir, bakal ada perdebatan kayak apa lagi. Dan ini nyiksa."

"Iya. Aku ngerti," balas Naura, "Maaf."

"Maaf buat apa?"

"Semuanya. Maaf buat story aku di insta kemarin. Maaf buat kejadian di depan kantor kamu beberapa hari yang lalu. Maaf, kalau aku menuntut kamu terlalu banyak."

Tak hanya Mario, sejatinya Naura juga sudah memikirkan semuanya. Hubungan mereka yang lambat laun terasa hambar, tiap bertemu selalu ada pertengkaran, dan bahkan mereka tidak ingat kapan terakhir kali keduanya bisa ngobrol santai atau saling sapa dengan panggilan sayang.

"Aku juga minta maaf," sambung Mario.

Naura tersenyum miris, "Beneran ya kita gak bisa berhenti saling minta maaf. Pantesan orang lain bilang hubungan kita udah gak sehat."

Mario mengusap wajahnya. Pun Naura yang berulang kali mengatur napasnya, menutupi kegugupan.

"Yo, aku sayang sama kamu," ungkap Naura, "Ini salah aku. Kayaknya rasa takut kehilangan orang yang aku sayang jadi bikin aku gak sengaja ngekang kamu. Aku juga berusaha, Yo, buat balik ke diri aku yang lama, tapi gak bisa."

"Aku gak mau ngerasain rasa sakit kehilangan itu lagi. Sampai aku lupa kalau sikap egois aku justru berakhir menyakiti kamu," lanjut Naura, ia menggigit bibirnya menahan diri, "Hilya, Yumi bilang gitu sama aku. Perkara pasir yang aku genggam terlalu kuat."

Mario menatap Naura. Perasaannya berkecamuk. Padahal dari awal datang ke kafe Mario sudah bulat mau putus terlebih mengingat perbuatan Naura di instagram semalam. Ibaratnya itu adalah batas toleransi Mario.

Namun kini, setelah mereka berhadapan dan saling bicara begini, Mario justru kembali dibuat bimbang.

"Makanya, mulai sekarang aku gak akan maksa kamu lagi, Yo. Kamu juga udah capek kan jadi mungkin emang lebih baik, kita udahan aja ya."

Final. Naura mengatakannya. Hal yang terasa sulit Mario ucapkan. Bukankah ini memang akhir yang baik untuk mereka?

Dan dari semua hal yang sudah mereka bahas juga berbagai pemikiran di kepala Mario. Ujungnya lelaki itu hanya mampu membalas diksi pertama dari narasi Naura.

"Maaf. Aku sayang sama kamu, Ra. Beneran, sayang banget."

Itu tulus. Naura bukan pacar pertama Mario, begitupun Mario yang bukan pacar pertama Naura. Namun mereka setuju jika dikatakan masing-masing adalah cinta pertama.

[✔️] La Petitèحيث تعيش القصص. اكتشف الآن