Mengingat Kebersamaan

85 8 11
                                    

Bagian 1
Mengingat Kebersamaan
*

**

Hak Cipta Dilindungi yang Maha Kuasa

***

Cahaya mentari begitu pekat menyinari seluruh isi bumi. Pijakkan yang terasa panas membuat mereka yang mengenakan sandal hanya bisa pasrah saking panasnya. Begitu pula denganku. Baju dan celana kulot panjang juga sendal jepit begitu menyiksa saat ini. Sangat panas! Perkiraan cuaca satu bulan ke depan memang akan terlihat sangat panas, terlebih satu bulan lalu adalah akhir dari musim hujan. Kini, kemarau datang.

Riuh para pembeli dan pedagang begitu memekkakan telinga. Rambutku yang tergerai panjang rasanya sudah sangat bau matahari. Becek, adalah hal yang kubenci saat ada di pasar.. Banyak saluran air dari rumah warga yang membuatku ingin segera enyah dari tempat ini. Pasar tradisional yang berisi berbagai jenis manusia dan dagangan membuatku bingung sendiri.
Suara tawar menawar terdengar sangat jelas di telinga. Ibu menawar harga ikan yang semula Rp. 50.000; per kilo gram, meminta dengan harga yang lebih murah, yaitu Rp. 40.000. Entah dapat mantra dari mana, akhirnya perdebatan itu berakhir dengan harga yang Ibu minta. Sungguh, aku tidak tahu bagaimana caranya Ibu-ibu bisa ahli dalam tawar menawar. Sangat luar biasa.
"Sudah, Bu?"
"Sudah, ayo kita pulang!" Aku mengikuti langkah Ibu dari belakang. Sebagian belanjaan kubawa karena kasihan melihat Ibu membawa banyak bawaan. Aku tersenyum bahagia saat keakraban ini aku rasakan sejak kecil.

***

"Amanda, bangun!"
Aku membuka mata perlahan. Sudah pukul 5 pagi. Suara itu sudah tidak asing lagi bagiku. Sebenarnya aku sudah terjaga sejak 15 menit yang lalu. Terbangun karena merindukan sosok Ibu yang kini sudah tenang di surga. Ayah yang kunantikan tidak tahu di mana. Saat ini aku tinggal bersama bibi, Marni namanya. Segala kebutuhanku beliau yang memberikan.
Bibi juga memiliki seorang anak laki-laki yang berusia 23 tahun, lebih tua dariku. Sejak pertama kali masuk SMA, aku sudah ditinggal Ibu karena sakit keras. Kini aku harus berjuang hidup walau masih ada keluarga. Merasa tidak lengkap dan terkadang merasa iri pada mereka yang masih memiliki keluarga yang utuh, menikmati kebahagiaan dan berkumpul bersama.
Masa kecil adalah masa yang sangat membahagiakan bagi sebagian orang. Termasuk masa kecilku. Ayah selalu memberiku wejangan agar aku tetap semangat dalam belajar dan mencapai cita-cita. Ibu selalu menasihatiku agar menjadi wanita yang mandiri dan teguh pendirian. Saat ini aku memasuki kelas XII. Di sekolah sederhana tapi aku cukup bahagia dan bersyukur, yang penting bisa sekolah.
Tidak ada yang bisa mengubah apa pun jika Tuhan sudah menurunkan kehendak-Nya. Takdir yang datang harus  diterima dengan penuh keikhlasan. Bukan so kuat, hanya saja kita perlu membaca diri siapa kita di hadapan Sang Ilahi. Kematian adalah sebuah takdir yang tidak bisa kita ubah dengan apa pun. Semua terjadi atas izin-Nya.
Aku melangkah ke kamar mandi, membersihkan diri, salat, lalu bergegas ke dapur sebelum berangkat ke sekolah. Ini sudah menjadi kebiasaanku sejak tinggal di sini, apalagi Bibi hanya memiliki dua orang anak, kak Rayhan dan Naisya, adik sepupuku yang masih SD.
"Maaf, Bi. Semalam Amanda begadang, jadi bangunnya telat." Aku menghampiri Bibi yang ternyata sudah mempersiapkan sarapan. Wajahnya sangat ketus. Aku merasa tidak enak.
"Ngapain aja sih begadang! Sudah Bibi bilang, jam 9 malam kamu harus sudah tidur! Ngerti!"
"Maaf, Bi."
Aku tertunduk lesu. Bukan tanpa alasan aku begadang. Aku hanya merindukan mendiang Ibu yang sudah tiada dan Ayah yang tidak tahu di mana keberadaannya. Bahkan Ayah tidak tahu bahwa Ibu sudah meninggal.
Ayah meninggalkanku saat masih kelas 5 SD, sudah cukup lama aku tidak mengingat kapan terakhir aku melihat wajah Ayah. Sungguh, aku merindukan kebersamaan itu, terlihat sangat indah di ingatan. Hanya bisa dikenang walau ada rasa sesak di dada. Air mataku luruh di depan Bibi.
"Kenapa kamu?"
"Amanda cuma kangen Ayah sama Ibu, Bi. Itu saja."
Bibi menghela napas. Kutahu dia tidak akan merespons apa pun jika membahas Ayah dan Ibu. Aku cukup tahu diri dan bersyukur masih ada yang mau merawatku. Selesai sarapan, aku kembali ke kamar dan bersiap untuk berangkat ke sekolah.

***

Udara segar menyapa indera penciuman. Meski panas matahari begitu semangat menyinari bumi. Tidak meruntuhkan semangat mereka yang berjuang untuk meraih kesuksesan. Sekolah tidak hanya untuk belajar dan duduk di depan buku saja, melainkan juga melatih keberanian dan menciptakan sebuah kebersamaan dan kebahagiaan bersama teman-teman seangkatan.
Senyum sederhana mereka mampu saling memberikan semangat dalam hal belajar, bergotong royong untuk bisa mengejerjakan sesuatu yang tidak bisa dikerjakan sendiri. Sangat menyenangkan. Apalagi aku, walau di rumah sangat diam, tapi di sekolah aku sangat ketus dan dingin, itu pandangan teman-temanku. Padahal aku merasa biasa saja. Mungkin mereka lihat dari wajahku yang tegas seperti Ayah.
"Amanda, sini!"
Pucuk di cinta, Rani pun tiba! Teman satu kelas yang selalu siap aku minta traktirannya.
"Kenapa Ran? Mau traktir? Haha!" Aku menatapnya lucu. Wajahnya begitu imut saat ia ngambek seperti itu.
"Kamu kenapa sih, kalau ketemu aku selalu aja bahas traktiran!" ucapnya. Aku hanya tersenyum dan mengajaknya ke kelas. Karena bel sudah berbunyi. Aku hampir telat pagi ini.

***
"Oh ya, Man. Maaf banget, kata nyokap ga bisa masukkin anak sekolah buat kerja di restoran, takut terganggu belajarnya."  Ucap Rani tiba-tiba.
Aku tersentak. Beberapa hari yang lalu aku sempat meminta Rani untuk mempekerjakan aku di restoran milik mamanya. Karena aku tidak mungkin terlalu banyak meminta pada Bibi, bisa makan di sana itu saja sudah sangat cukup untukku.
"Yah, gimana dong. Cari kerja apa ya kira-kira?" keluhku. Semangatku mulai menurun.
Mencari pekerjaan saat masih sekolah memanglah sulit di dapat. Apalagi saat ini aku sudah memasuki kelas XII dan pasti akan perlu banyak biaya untuk membeli segala keperluan sekolah dan ujian praktik. Bahkan, jajan yang diberikan Bibi selalu aku tabung dan aku sisihkan agar lebih mudah saat ada keperluan mendadak.
"Coba deh, kamu cari informasi di media sosial. Pasti ada banyak," saran Rani.
Aku mengerti. Aku membuka ponsel dan mulai mengetik tentang info pekerjaan. Aku harus bisa secepat mungkin agar aku bisa mengumpulkan uang.
"Semoga aja dapet ya, Ran. Aku butuh banget pekerjaan karena aku tidak mungkin bergantung terus sama Bibi."
"Aku turut prihatin ya sama keadaan kamu, semoga saja Ayah kamu bisa segera pulang dan mengambil alih kamu dari Bibimu yang sangar itu!" kesal Rani. Aku cukup mengerti.
Rani tahu segalanya tentang hidupku, dia teman satu SMP. Sebenarnya bisa saja Rani  bersekolah di tempat yang lebih elit atau internasional. Akan tetapi, saat mendengar kabar Ibu meninggal. Rani memutuskan untuk satu sekolah denganku dan tetap menjadikanku sebagai temannya.
Kedatangan dan kehadiran Rani adalah sebuah anugerah yang tak bisa aku lepaskan. Di saat orang-orang menganggapku rendah, hanya Rani yang selalu membelaku. Bahkan saat Bibi melampiaskan amarahnya padaku.

***

Revisi 19 April 2024

Jangan jadi sider ya, semoga suka.

Diary Amanda [Selesai]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang