Memori Bersama Ayah

10 2 0
                                    

"Setiap orang memiliki kenangan yang sukar untuk dilupakan. Mengingatnya untuk mengenang bahwa kita pernah bahagia bersama."

***

Selepas dari taman, aku meminta kak Satria untuk langsung pulang. Raut wajahnya masih menunjukkan rasa amarah yang tak terbendung. Entah apa yang akan terjadi padanya setelah kuceritakan hal ini padanya, berharap dia baik-baik saja.
Tinggal sendiri di tempat kos membuatku sedikit lebih tenang. Karena di sini, seringkali aku naik angkutan umum dan melihat beberapa hal, aku belajar banyak hal dan melihat dunia luar bahwa masih banyak sekali orang yang membutuhkan bantuan dalam bentuk makanan. Mereka bekerja banting tulang untuk mendapatkan sesuap nasi dan menghidupi keluarganya. Ada yang menjadi pemulung, berjualan di pasar, menjadi pedangan asongan, dan masih banyak lagi. Sejauh ini, hanya itu yang kutemukan.

Beberapa kali aku melihat orang-orang berpakaian rapi ala kantoran, terpaksa naik angkot karena kendaraan mogoklah, macetlah, mereka sangat tidak terbiasa dengan itu dan bahkan ada yang sampai menutup hidungnya.

Merasa hidup paling di atas, padahal mereka juga sedang berusaha untuk menghidupi dirinya dan keluarganya. Hanya saja dengan cara yang berbeda.  Hidup seadanya dan bergaya sesuai kehidupan sebenarnya adalah hal terbaik dalam hidup. Tidak perlu menjadi orang lain untuk mendapatkan sebuah pujian.
Saat di kos aku langsung beres-beres ruang tamu dan dapur. Setelahnya aku memasak kemudian istirahat sejenak. Rasa lelah sekali seharian pergi ke luar. Semenjak kehamilan ini, tubuhku seringkali merasakan lelah tak tertahankan dan hanya ingin rebahan saja. Namun, banyak hal yang harus kulakukan agar tak dicurigai banyak orang.

Aku teringat membeli beberapa belanjaan, sebelum sampai kos, aku meminta kak Satria untuk mengantarku ke supermarket dan aku kembali membuka belanjaan yang kubeli bersamanya tadi sore.

"Bu, hari ini Manda bersyukur banget, bisa di kelilingi orang-orang baik, terutama kak Satria, semoga dia baik-baik saja di luar sana.” Gumamku.

Teringat pertemuan Ayah tadi siang. Entah kenapa rasanya aku begitu merindukan sosoknya. Sedari kecil aku selalu mendapatkan perhatian dari Ayah, tapi sekarang aku tidak mendapatkan hal itu lagi.

Aku mengingat jelas bagaimana Ayah saat itu, menegurku tanpa memarahiku.  Di mana aku bermain hujan padahal Ibu sudah melarang. Akan tetapi, Ayah hanya mengatakan bahwa aku harus mendengarkan apa kata Ayah dan Ibu. Itu semua memang untuk kebaikanku agar aku tidak jatuh sakit. Anak satu-satunya mereka adalah aku. Sering kali Ayah memelukku saat hendak tertidur dan membacakan dongeng untukku. Menenangkanku saat aku tiba-tiba menangis di sakiti teman. Ayah selalu mengajarkanku untuk bisa kuat menghadapi situasi diluar sana.

Ayah selalu memberiku semangat dan dukungan saat aku tidak bisa melakukan sesuatu yang mereka harapkan.

"Tidak apa-apa, kamu bisa belajar lebih giat lagi. Nanti Ayah bantu, oke Sayang?"
"Apa Ayah tidak marah sama Manda?"

"Tidak, Sayang. Manda adalah anak yang cerdas dan pintar. Ayah yakin, kalau Manda belajar, Manda akan menjadi anak yang pintar!"

"Makasih Ayah, Manda janji akan belajar lebih giat lagi!"

Percakapan singkat itu sangat kuingat dengan jelas. Dan sampai hari ini, aku sudah banyak belajar, tapi belajar kehidupan. Aku memang kurang dalam memahami materi akademik, tapi aku menjadi kebanggan sekolah karena pandai bersosialisasi dengan sekolah luar. Sejak SMP, aku memang gemar sekali berorganisasi, terbukti sampai sekarang.

"Ayah, maafkan Manda. Manda belum bisa menjadi anak pintar kebanggan Ayah."

Aku menangis. Memeluk erat tubuhku sendiri. Merasa sendiri bahkan tidak ada siapa pun yang peduli padaku saat ini kecuali Rani.

"Ayah, ibu. Manda rindu pelukkan kalian. Manda rindu kebersamaan dengan Ayah." Lirihku.

***

Diary Amanda [Selesai]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang