XXXV. Pulang

1.8K 158 7
                                    

Dor!

"Aaakhh!"

Zyan lengah.

Sebuah peluru yang tanpa diduga akan mengenainya, tiba-tiba saja lebih dulu dihalau oleh seseorang.

"Antonio!"

Tepat didada sebelah kiri milik remaja itu sebuah peluru berhasil menancap, membuatnya seketika terjatuh. Rasanya sakit sekali, Tora tidak habis pikir bagaimana Zyan sampai saat ini mampu menahan sakit dari luka tembaknya.

"Tinggalkan saya!" ujarnya segera berteriak, menahan sakit.

Zyan mendekati anak itu, wajahnya semakin terlihat pucat pasi, juga merasa syok. Mungkin ia masih bisa menahan rasa sakitnya, namun Tora hanyalah seorang bocah yang masih berumur enam belas tahun.

"Bertahanlah!" Pinta Zyan.

"S-setelah ini saya akan benar-benar bebas dari, Paman." Nafasnya mulai tersengal, naas peluru itu tampaknya fatal, karena langsung menancap di organ vitalnya.

Tidak .... Tidak!

Bagaimana dengan mimpi-mimpi yang dikatakan oleh anak itu tadi? Apa hanya akan pupus?

Bibir Tora kembali tersenyum, seolah bahagia, akhirnya ia dapat merasakan sebuah kebebasan. Sebelum matanya semakin menutup. "Pergilah, Danton..." Pintanya, semakin lemah.

Tolong....

Jangan secepat ini.

Zyan memejamkan mata, setelah merasakan denyut kehidupan yang mulai menghilang dipergelangan tangannya, seiring dengan manik mata indah itu yang juga tertutup rapat.

Sebuah mimpi kini harus terkubur dalam-dalam, meninggalkan sebuah harapan terindah sekaligus paling sederhana yang pernah Zyan dengar.

Pria itu kemudian bangkit, masih dengan langkah yang tertatih.

Para bajingan itu!

Mereka semakin bergerak maju dan mendekat, meskipun dengan jumlah yang sudah tak sebanyak tadi.

Mata Zyan kini semakin menajam, layaknya binatang buas yang tengah mengintai mangsa untuk siap diterkam.

Dari kejauhan ia bisa lihat sosok yang memimpin paling depan, Diego. Ia pastikan pria itu akan segera menyusul malam ini juga.

Dor!

Tembakan Zyan selalu akurat.

Tepat mengenai tubuh Diego, pria itu nampak limbung karena kembali mendapatkan serangan mendadak.

"Mati kau!"

Nafas semakin tak beraturan itu kini terdengar. Tangan Zyan kembali bersiap menarik pelatuk senjatanya yang ia arahkan kearah musuh. Matanya semakin nyalang.

Fokus.

Membidik, dan...

Dor!

Satu lagi tumbang.

Mungkin hanya tersisa beberapa peluru ditangannya untuk melawan gelombang pemberontak yang kian berdatangan. Memang terlihat mustahil untuk bisa bertahan, keadaan benar-benar tidak sepadan.

Zyan kini memilih menyandar dipohon besar, seraya mengistirahatkan tubuh, menetralkan nafasnya yang semakin tak beraturan.

Bukankah ini terlihat seperti film perang, atau drama action? Zyan terkekeh saat baru saja menyadarinya. Setidaknya masih bisa tertawa disaat ajal mungkin akan segera menghampirinya.

Tangan pria itu kini semakin berlumuran darah. Zyan sadari satu tembakan rupanya kembali berhasil mengenainya, kali ini seolah menembus sela tulang rusuknya. Ditambah luka diperutnya yang menganga, masih belum berhenti mengeluarkan darah, tampaknya semakin parah.

Zyan memekik tertahan, setiap deru nafasnya terasa menyakitkan. Sudah cukup, ia terlampau lelah.

Suara riuh musuh mulai terdengar dari arah belakang, sedangkan Zyan hanya dapat bersembunyi, karena sudah kehabisan amunisi. Senjata yang ia pegang rupanya sudah tak ada isi, tamat riwayat jika terus nekat melanjutkan perjalanan karena pilihan terbesarnya mungkin mati.

Disaat-saat seperti ini ia ingin kembali pasrah dan berdoa. Zyan sudah tak kuat, bulir-bulir bening itu perlahan jatuh membasahi pipinya.

Ya Allah aku memohon ridho dan petunjuk-Mu.

Ya Allah dengan rahmat-Mu aku memohon pertolongan darimu.

Tiada Tuhan selain Allah, Tuhan Yang Maha mengetahui segala sesuatu yang ada di langit dan di bumi.

Aku memohon perlindungan dari-Mu, Ya Rabb...

Ampunilah dosaku. Dosa orang-orang yang aku cintai, serta orang-orang yang mencintaiku.

Untuk Papa yang berada di sana, semoga beliau senantiasa berada di dalam hidayah dan lindungan Allah Subhanahu wa ta'ala .... Aamiin.

"Hasbunallah wanikmal wakil." Cukuplah Allah sebagai pelindung.

Dor! Dor! Dor!

Suara peluru semakin terdengar bersahutan, namun kali ini dari arah berlawanan.

Dari arah kejauhan, suara sepatu laras panjang terdengar mendekat, serta beberapa orang yang memberi komando untuk bergerak maju. Zyan seketika terduduk lemah, merasa lega. Tim penyelamat akhirnya datang.

"Danton...."

Dari penglihatannya yang semakin mengabur, Zyan masih dapat mengenali sosok pria yang kini menghampirinya dengan tergesa-gesa. Dia Letnan Raka, dokter militer yang dikenalnya.

"Bertahanlah!" Raka nampak tak menyangka saat melihat cedera yang didapat Zyan sangat parah.

Pria itu segera memberikan pertolongan pertama dengan menghentikan pendarahannya. Namun nihil, sudah terlalu banyak luka yang harus ditutupi, terlalu banyak darah yang mengalir dengan deras dimana-mana.

Zyan terbatuk-batuk, "Bagaimana dengan Diajeng?" tanyanya parau.

"Dia sudah selamat," jawab Raka. Mendengarnya Zyan tersenyum tipis, ia juga tahu jika gadis itu akan berhasil.

Zyan memejamkan mata, liquid bening itu kembali jatuh, tubuhnya rasanya sakit semua. Ia sangat lelah, ingin tertidur lama. "Bawa saya pulang, Letnan." Pintanya kembali terbatuk-batuk darah.

"Anda memang akan pulang!" balas Raka, semakin cemas saat deru nafas milik Zyan kian pelan, matanya ingin terpejam cepat. Pria itu sekarat.

"Jadi tolong bertahanlah." Kalimat terakhir dari Raka yang masih Zyan dengar jelas, sebelum semuanya mulai terdengar samar.

Zyan sudah tidak mendengar deru tembakan yang bersahutan. Kondisi sekitar sudah nampak tenang.

"Drttt .... misi selesai! Semua pasukan akan segera ditarik mundur." Suara HT milik Raka terdengar.

"Kita berhasil, Danton! Kita akan segera pulang," ucap Raka.

Pria itu kembali tersenyum.

Ya, ayo pulang.

Zyan sudah tak lagi menghiraukan suara Raka yang kini berteriak cemas memanggil namanya, meminta dirinya untuk tidak menutup mata seraya menepuk pipinya berulang kali.

Beberapa tentara yang ikut menghampirinya, salah satu dari mereka berteriak agar dibawakan segera tandu medis.

Bersyukur tidak ada Ilham diantara mereka, tidak bisa dibayangkan jika Serda heboh itu ikut berada dihadapannya, Zyan pasti tidak akan dibiarkan untuk beristirahat secara tenang.

Matanya meredup. Perlahan semuanya benar-benar menghilang, pandangannya berubah menjadi gelap total. Terakhir yang tadi Zyan lihat adalah suasana fajar semakin menyingsing.

Malam yang remang dan mencekam seketika berganti menjadi sunrise yang indah dan menawan. Mengingatnya pada sosok gadis pemilik senyum ramah yang selalu menyapa lembut orang-orang disekitarnya. Atau gambaran wajah ayu sang Mama yang sering ia lihat difoto.

Sangat indah, sampai ia sendiri tak mampu untuk melukiskannya.

Ma, aku pulang...

__________________

Hey, Danton! (End)حيث تعيش القصص. اكتشف الآن