[CHAPTER 2]

213 16 0
                                    


"Ayah, bagaikan kompas di saat aku kehilangan arah."

— Danda. —

————————————————————


Danda dan Nopal bungkam, mereka tidak mengeluarkan sepatah kata pun. Di ruang tamu berukuran kecil, deru napas mereka hampir terdengar.

Rahmat melirik tajam ke arah Danda dan Nopal, ia menunggu penjelasan dari dua anak ini. Namun, semakin lama, mereka semakin diam dan membuat Rahmat menjadi geram.

Rahmat menggebrak meja di hadapannya.

Bruk!

"Mulut lo pada bisu ye?" tanya Rahmat kepalang emosi.

Danda dan Nopal tetap diam tak menjawab.

Rahmat menggelengkan kepalanya tak percaya, dia lelah dengan kelakuan kedua adiknya ini. Kesabarannya sekarang benar-benar diambang batas.

"Lo berdua kapan sih berhenti bikin ulah?! Kagak capek lo berdua diomongin sama tetangga?! Gue aja yang dengerinnya aja capek, bisa-bisanya lo berdua nyantai aja, heran banget gue. Emang dasarnya kagak punya malu ya gitu!" murka Rahmat

"Lo bisa nggak sih sehari aja nggak bikin ulah? Sehari aja!" pinta Rahmat serius.

"Semalem lo berdua udah hampir bikin rumah tetangga kebakaran karena petasan. Tadi juga ada tetangga yang bilang kalo anaknya dimintain duit sama lo. Malu gue jadi Abang lo!" Rahmat mengusap kepalanya gusar.

"Lo berdua kapan sih berubahnya?!"

"Lo nggak mau banggain orang tua lo?"

Satu kalimat terakhir dari mulut Rahmat berhasil membuat Danda mendongakkan kepalanya, ia menatap Rahmat intens.

"Gue juga pengen banggain Ayah, tapi pake cara gue sendiri!" terdapat penekanan dalam kalimat Danda.

"Pake cara sendiri? Maksud lo balapan liar, tawuran, pulang malem nggak jelas, itu termasuk mau banggain orang tua? Iya?!"

"Lo tau apa sih, Bang? Lo cuma ngeliat sisi buruk gue—"

"Ya lo sendiri kan yang nunjukin sisi buruk lo, bukan gue yang selalu ngeliat sisi buruk lo! Kalo emang lo nggak pengen diliat dari sisi buruk lo, ya lo seharusnya tunjukkin sisi baik lo, bukan malah nyalahin orang!"

Danda diam seribu bahasa, apa yang dikatakan oleh Rahmat memang benar. Ia selalu menunjukkan sisi buruknya, tapi tidak ingin dinilai buruk oleh orang lain.

"Liat gue sekarang! Sekarang gue nggak jadi apa-apa di saat temen-temen gue udah jadi orang. Ya karena dulu gue kayak lo, gue selalu males-malesan, nggak nurut apa kata orang tua, selalu bikin masalah di sekolah, ngajak tawuran orang, dan masih banyak lagi. Dan apa yang gue rasa sekarang? Nyesel, gue nyesel banget. Andai gue nggak gegabah waktu dulu, mungkin hidup gue nggak kayak gini." Rahmat menundukkan kepalanya. Dia merasa menyesal karena dulu semasa remajanya dia sama persis dengan Danda saat ini.

"Gue mau berubah, tapi si Danda selalu ngajak-ngajak," celetuk Nopal dengan kepala yang masih menunduk.

"Lah kok gue sih?!" Danda refleks menoleh ke Nopal, lalu ia mendorong tubuh Nopal hingga bergeser dari posisinya.

"Kemarin ide siapa yang nyuruh ambil duit anaknya Mpok Ida? Lo kan? Katanya duitnya mau beli rokok di rumahnya Babeh Ali, ngaku deh lo!" ujar Nopal dengan polosnya.

Rahmat beranjak dari kursi lalu menatap Danda nanar.

"Lo ngerokok?!" tanya Rahmat penuh intimidasi.

Danda memilih mengalihkan pandanganya, tapi Rahmat mendekatinya lalu memandangnya lagi.

SAMPOERNA [ON GOING]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang