20. Gengsi Pembaca Buku

82 25 13
                                    

JANGAN salah, pembaca juga punya rasa gengsi, loh. Apalagi di zaman serba teknologi seperti sekarang, di mana semua orang bisa bebas pamer ini-itu tentang aktivitas membacanya.

Kalau enggak baca buku berbahasa asing, merasa diri sendiri kampungan.

Kalau enggak beli buku import, merasa bahwa diri sendiri enggak modal.

Kalau enggak membaca buku-buku populer, merasa diri ini ketinggalan zaman.

Kalau enggak membeli banyak buku, merasa diri ini bukan booklover sejati.

Pengalamanku sendiri, nih. Waktu masih awal terjun ke dunia booktweet dan bookstagram, aku sempat iri lihat orang-orang yang pada impulsif banget beli buku.

Satu bulan mereka bisa nambah 7-8 buku baru. Bahkan lebih. Padahal harga buku mahal banget, woy. Satu buku bisa sampai 60 ribu ke atas, itu pun buat yang halamannya +/- 200 halaman.

Kalau sudah nyentuh +/- 400 halaman bisa diduga harganya melebihi 100k, awkwkwk 😂

Saat itu, jiwaku yang irit meronta-ronta. Hati kecilku yang malang pun sambat;

"Bahkan untuk hobi sesepele membaca buku, kita harus berani keluarin modal gede."

Tapi apakah aku lantas menuruti jiwa iritku dengan tidak impulsif membeli buku juga? Oh, tidak. Ternyata gengsiku mengalahkan akal sehatku 🙂

Dulu, kisaran tahun 2019-2020, aku pernah impulsif beli buku dari duit gaji. Sebulan bisa beli 3-4 buku baru (kalau bisa kudu baru, anti sama preloved kecuali ada alasan lain. Gayanya selangit pokoknya), ditambah lagi tiap bulan juga nyicil beli peralatan anotasi. Waduh, pokoknya dilengkapi deh sampai satu rak kecil itu isinya kotak-kotak isi sticky note, stabilo, spidol, pulpen, dan tumpukan buku baru yang belum dibuka dari plastiknya.

Intinya aku mikir, "Kalau mau mengembangkan hobi, ya kudu dimodalin dulu. Harus gedein gengsi, enggak boleh nanggung."

Ya memang, di awal berasa udah jadi pembaca paling niat sedunia.

Tapi ternyata rasa "puas" ini hanya bertahan beberapa bulan saja.

Selebihnya, aku justru dikuasai kemarukan bahwa yang kulakukan ini selalu kurang, kurang, kurang. Kok bisa nambah parah? Iya, soalnya aku masih terikat dengan medsos-medsos racun yang bikin aku jadi seperti itu.

Tahu menfess literacy di Twitter yang populer banget itu?

Dia adalah salah satu akun yang bikin aku jadi impulsif beli buku baru, awkwkwk 🤣

Bayangin aja. Semua orang pada drop ulasan buku baru yang bikin aku kepengin beli terus. Tweet-nya pinter banget menggiring calon pembeli, apalagi kalau sudah pakai emoticon heboh ini itu (WAJIB BACA POKOKNYA! INI NOVEL PALING KEREN SEUMUR HIDUP GUE BLA BLA BLA!)

Seakan terhipnotis, tiba-tiba aja jariku udah lari ke Shopee buat masukin ke keranjang ☺🤌

Padahal usut punya usut, kadang yang nge-tweet itu adalah penulisnya sendiri atau dari pihak marketing penerbit (semacam buzzer). NAH, KENA LO 🤣

Setelah 2-3 bulan terjebak dengan perilaku impulsive buying ini, tak lama setelah itu, aku mulai menemukan kejenuhan.

Kok ... rasanya aneh, ya? Padahal ada banyak pilihan buku, tapi kenapa aku semakin males buat baca? Kayak enggak ada yang sesuai seleraku, gitu loh. Tapi aku harus baca supaya aku bisa ikutan trend... tapi aku beneran males.....

Kuberi waktu diriku untuk berpikir, dan aku pun akhirnya sadar;

Padahal, sejak masih SD aku selalu membaca buku demi kesenangan, tapi kenapa beranjak dewasa ini aku malah membaca buku demi pengakuan?

Gengsi itu selalu ada selama kita masih kepengin dapat validasi dari orang lain. Di dunia yang serba maju kayak sekarang, orang yang gengsian nyebar di mana-mana kayak ketombe. Tujuannya apa sih menjaga gengsi? Ya supaya dianggap setara dan enggak diremehin. Supaya kitanya punya nilai besar di mata orang lain. Supaya kita dihormati dan dikenal kalangan luas.

Harus beli buku import supaya bisa berteman akrab sama sesama pembaca. Harus beli buku yang lagi populer supaya bisa ikutan circle booklovers dan ngobrolin alurnya bareng di klub baca, harus beli ini dan itu supaya bla bla bla..... hadeuh.

Yaa, enggak masalah sih kalau tujuannya pengin dapat validasi. Yang salah itu... kalau kita memaksakan diri untuk memiliki sesuatu yang sebetulnya enggak butuh-butuh amat.

Tapi balik lagi, tiap orang beda-beda.

Syukur alhamdulillah aku termasuk orang yang disadarkan cepat. Setelah kapok, duit habis, akhirnya aku kembali ke jalan semula jadi pembaca super ngirit. Sampai sekarang.

Saking ngiritnya, kalau bisa aku beli buku preloved aja yang masih bagus dibandingkan beli yang baru 🥲[]

𝐉𝐀𝐃𝐈 𝐏𝐄𝐌𝐁𝐀𝐂𝐀 𝐆𝐈𝐍𝐈 𝐀𝐌𝐀𝐓 Where stories live. Discover now