CHAPTER 1|PENYERGAPAN

63 6 3
                                    


Happy reading...

Hutan sebelah barat Calidum...

Kai terengah-engah, dia menyudahi sesi latihannya hari ini. Dia membuka tas perbekalannya, mengambil wadah air dan meneguk isinya setelah memasukkan kembali alat-alat latihannya yang dia gunakan tadi. Karena hari masih siang, dia memutuskan untuk sedikit berbelanja sebelum melanjutkan perjalanannya. Kai mengambil jubahnya, pisau berburu, dan sekantung koin untuk berbelanja.

Dia keluar dari hutan tempatnya menyendiri untuk pergi ke pemukiman. Sudah sekitar satu minggu ini dia menetap di lokasi itu, setelah sebelumnya dia kabur dari kejaran prajurit istana. Di sini aman, karena wilayahnya yang berada di luar kerajaan. Jarang ada prajurit istana atau orang-orang kerajaan yang datang kesini.

Kai memasuki pemukiman itu, dia ingin mencari beberapa persediaan sebelum melanjutkan perjalanannya. Pertama dia akan menemui seorang pandai besi langganannya sejak singgah di sana. Meskipun baru mengenalnya sebentar, dia bisa percaya padanya.

"Hai, aku kembali."

"Hei, kau rupanya. Kau mau mengambil pesanan mu?" Tanya pria dengan jenggot tebal itu.

"Ya, apa sudah bisa di ambil?"

Pria itu mengangguk lalu pergi ke belakang. Tak lama, dia kembali dengan beberapa barang di tangannya.

"Ini, aku sudah memperbaikinya. Cukup sulit karena ini model lama. Kalau boleh tahu, dimana kau mendapatkan ini?"

Kai sedikit tersenyum. "Ini peninggalan Ayahku, aku mendapatkannya dari masterku. Dia bilang ini akan membantu, jadi ku pakai saja," jawabnya.

Si pandai besi itu mengangguk. "Ya, aku bisa melihatnya. Ini sudah cukup lama dan banyak sekali bekas goresan di sini. Tampaknya ayahmu itu seorang petarung yang hebat ya?"

"Aku tidak tahu. Aku tidak pernah bertemu dengannya."

Si pandai besi mengangkat tangannya. "Oh, maaf aku tidak tahu."

"Tidak apa, jadi berapa harganya?"

"Khusus untukmu, aku tidak meminta bayaran. Aku cukup senang bisa memperbaiki semua itu. Anggap saja ini permintaan maaf ku untuk ucapan ku tadi," jawab si pandai besi.

"Baiklah, terimakasih. Oh iya, aku akan segera pergi setelah matahari terbenam. Jika nanti ada prajurit istana yang datang dan menanyakan ku, bilang saja kau tidak pernah melihat ku."

"Kau ada masalah dengan mereka?"

"Tidak, hanya sedikit kesalahpahaman kecil. Tapi lebih baik kau tutup mulut, oke?"

Si pandai besi itu mengangguk, tampak tidak keberatan. "Kalau boleh tahu, siapa namamu?" Tanyanya.

"Aku Kai, kau?"

"Panggil saja Ghanbi."

"Baiklah Ghanbi, senang bertemu denganmu." Kai lalu pergi untuk mencari beberapa kebutuhan lainnya.

Setelah kepergian Kai, Ghanbi yang tadinya tersenyum langsung terdiam. Wajahnya sedikit ketakutan dan tubuhnya gemetar. Seseorang keluar dari belakang, wanita, memakai topeng dengan ekspresi wajah gembira.

"Jadi, informasi apa yang kau dapatkan dari orang itu?" Tanya wanita bertopeng itu.

"Dia, akan pergi setelah matahari terbenam. Aku sudah meninggalkan sedikit cairan yang bisa binatang kalian lacak baunya. Jadi cepatlah sebelum dia pergi," jawab Ghanbi.

"Baiklah, terimakasih atas kerjasama mu." Wanita bertopeng itu melempar sekantung emas ke depan Ghanbi. "Itu bayaran mu, sesuai perjanjian."

Ghanbi diam, tidak melawan. Setelah wanita itu pergi, dia mengambil kantung itu. Benar saja, isinya setumpuk koin emas berkilauan. Dia senang sekaligus merasa bersalah karena sudah membantu orang-orang istana untuk melacak keberadaan Kai.

"Maafkan aku Kai, tapi aku tidak punya pilihan lain.

•••

Kai memilih makanan yang akan di bawanya untuk perjalanan berikutnya. Dia mengambil sepotong daging, beberapa butir buah, dan sebotol cairan berwarna hijau. Dia membayarnya dengan lima keping koin. Setelah selesai berbelanja, Kai kembali ke tempat tinggalnya untuk bersiap. Di perjalanan, dia berhenti sejenak untuk membersihkan pelindung lengannya. Dia mengambil pisau berburunya lalu melemparnya ke arah kanan.

Taakkkk...

Pisau itu menancap di pohon. Kai lalu melihat sekeliling.

"Kalian semua keluarlah. Aku tahu kalian mengikutiku dari tadi," ucapnya lantang.

Beberapa orang yang memakai jubah dan pelindung besi di tangan dan kakinya, serta jubah berwarna kuning yang menutupi sebagian besar tubuhnya, di tambah dengan topeng bermacam ekspresi.

Seorang wanita yang merupakan ketuanya keluar dan maju ke hadapan Kai, seolah menantangnya.

"Kau cukup hebat bisa mengetahui keberadaan kami. Kupikir aku sudah meredam suara seminim mungkin," ucap wanita itu.

"Jika itu orang lain mungkin akan bekerja, tapi..." pisau yang tadi menancap di pohon melesat dan kembali ke tangan Kai. "... itu tidak akan bekerja padaku."

"Banyak bicara, tangkap dia!!"

Belasan anak buah wanita itu melompat dan menyerang Kai bersamaan. Kai tidak gentar, dia justru maju untuk menghadapi mereka semua sekaligus bermodalkan pisau berburunya. Dia menangkis serangan prajurit bertopeng itu dengan baik, sesekali dia akan membalas serangan dengan menendang atau memukul mereka. Tapi, meskipun awalnya dia unggul, perlahan Kai mulai kelelahan karena jumlah musuh yang lebih banyak.

"Ini tidak bagus."

Dia menunduk menghindari tebasan pedang salah satu prajurit. Dia lalu menekan perut prajurit itu dengan dua jari sampai prajurit itu tumbang. Kai mengambil pedangnya dan membalas serangan demi serangan prajurit lainnya. Dalam waktu lima belas menit, mereka semua tumbang dengan luka sayatan di tubuhnya. Kai terengah, jubahnya sobek di beberapa bagian dan wajah serta tangannya terkena percikan darah.

Si wanita bertopeng yang sejak tadi hanya menonton kini ikut maju. Dia mengeluarkan pedang yang lebih kecil namun terlihat lebih tajam, bisa di lihat dari seberapa tipis mata pedangnya. Kai melempar pedang di tangannya dan kembali bersiap dengan pisaunya.

Traaanggg...

Beberapa kali pisau dan pedang itu beradu. Kai beberapa kali hampir terena tebasan pedang wanita itu. Tenaganya sudah melemah karena melawan prajurit tadi.

Bukkk...

Kai tersungkur ke belakang setelah dadanya di tendang. Dia hendak bangun, tapi dadanya di injak oleh wanita itu. Dia sudah menyimpan pedangnya dan di gantikan dengan sebilah belati. Dia berjongkok dan menaruh belati itu di leher Kai. Dia lalu membuka jubah dan topeng yang menutupi kepalanya, menunjukkan wajah muda namun terlihat dewasa.

"Kau sudah kalah, dan aku akan membawamu kembali ke istana untuk di adili," ucapnya.

"Oh iya? Kenapa kau tidak menghabisi ku langsung di sini dan membawa kepalaku ke hadapan rajamu? Dan apakah perempuan secantik dirimu bisa melakukannya? Aku tidak yakin," ucap Kai.

Wanita itu semakin menekan kakinya yang menahan Kai. "Kau jangan bicara sembarangan. Aku komandan Garcia, pemimpin pasukan pengintai dari kerajaan Calidum. Kau jangan meremehkan reputasi ku," ucap wanita yang memperkenalkan diri sebagai Garcia.

Kai terkekeh meskipun dadanya sesak. "Oh, maaf komandan, aku sudah lancang. Kau terlalu manis untuk menjadi seorang pembunuh berdarah dingin. Wajahmu lebih cocok menjadi seorang duta bangsawan daripada menjadi prajurit –"

Buaghh...

Garcia menendang leher Kai, membuat laki-laki itu terbatuk mengeluarkan darah.

"Kau berani menghinaku?! Akan ku pastikan kau akan mendapat hukuman yang berat!" Bentak Garcia.

Bukannya takut, Kai malah tertawa. Dia bangun sambil mengusap darah yang keluar dari sudut bibirnya.

"Kalau begitu, kita lihat apakah kau bisa membuktikan perkataan mu," ucap Kai.

To be continued...

Sang ManusiaWhere stories live. Discover now