09

175 28 9
                                    

Mengingat kembali apa yang terjadi kemarin, membuatnya menanamkan rasa kebencian pada gadis itu. Bukan kebencian yang penuh dendam, melainkan perlakuan yang ia dapatkan.

Meletakkan kembali pensil yang ia gunakan pada tempatnya. Menutup buku, dan meninggalkannya tanpa menyusunnya kembali.

Memandangi butiran air yang berjatuhan membasahi tanah. Kini pikiran tertuju pada gadis itu, ingin rasanya menghilangkan pikirannya saat ini. Tapi Sadam tidak bisa berbuat apa-apa, ia hanya pasrah dengan pikirannya dan menunggu hujannya berhenti.

"Kalau di liat-liat, Sera makin cantik"

Sadam memukul dahi nya pelan, guna menghilangkan isi pikirannya tentang Sera. Situasi saat ini Sadam tengah membenci gadis itu, bagaimana bisa pikirannya mengatakan hal yang lain?

Diva memicingkan matanya, memastikan bahwa yang di lihatnya benar Sera atau bukan. Ia mempercepat langkahnya mendekati gadis yang tengah sibuk melihat-lihat buku itu.

Dengan sedikit ragu, ia menepuk pelan pundak milik Sera seraya menyebut namanya.

"Sera?"

Sang empunya membalikkan posisi tubuhnya, menghadap ke arah Diva. Ia menunjukkan wajah terkejutnya kala melihat Diva berdiri di depan tubuhnya.

"Diva?!"

Dengan cepat Sera memeluk tubuh Diva cukup erat. Keduanya saling berpelukan, melepaskan semua kerinduan terhadap satu sama lain.

"Apa kabar lo Ser? Kita udah lumayan lama lost contact anjir"

"Iya banget Div, gua kangen lo banget sumpah. Kabar gua baik kok, gimana lo?"

"Gua juga baik kok Ser. By the way gimana lo sama Sadam? Masih gitu-gitu aja saling ngehindar?"

Sera terdiam, ia menatapi buku yang sedang ia pegang. Ia bingung harus menjawab apa, dan ia tundukkan pandangannya.

Diva yang melihat itu segera merangkul dan mengelus pundak milik gadis itu. Padahal Diva hanya basa-basi menanyakan hal tersebut, yang aslinya Diva sudah tahu banyak hal tentang mereka.

"Sorry ya Ser, gua gak bermaksud kok"

Sera hanya membalasnya dengan senyuman. Di lanjutkan dengan mereka berdua yang berjalan mengelilingi rak-rak tersusun dengan buku.

"Rel, kenapa ya pikiran gua Sera mulu"

"Ya karena lo terus-terusan paksa pikiran lo buat lupain Sera. Yang aslinya pikiran lo menolak, dalam artian lo harus ngelupain Sera pelan-pelan. Gua yakin lo bisa kok, gak harus sekarang Dam"

Sadam menatap re rumputan yang basah akibat hujan tadi. Ia hanya mencerna apa yang Jerrel katakan, memikirkannya kembali dan mencoba meyakinkan dirinya bahwa ia bisa melupakan Sera.

"Lo denger gak gua ngomong?"

"Denger Jerrel ku sayang"

Jerrel yang mendengar itu membelalakkan bola matanya kala mendengar kalimat yang baru saja Sadam ucapkan. Tubuhnya mendadak merinding.

"Dam jangan karna lo gak bisa lupain Sera, lo jadi gay ya anjing"

Sadam yang tak terima akan hal tersebut membantah apa yang Jerrel katakan.

"Apa bangsat?! Kalau iya gua gay, gua juga bakalan pilih-pilih pasangan gay gua lah. Gak yang modelan kayak lo"

"Gua pakai kata tambahan 'sayang' juga emang karna lo temen yang paling gua sayang. Berterima kasih gak lo udah gua anggap temen yang paling gua sayang" tambah Sadam.

Jerrel yang mendengar itu langsung merangkul pundak Sadam. Sembari di tepuk nya pundak milik Sadam itu.

"Iya Dam, makasih banyak ya. Semoga tolol nya berkurang"

Tidak lupa Jerrel membisikkan pada telinga Sadam.

"Cewek gak cuma Sera, Dam"

Sadam mengerutkan dahinya membaca notifikasi tersebut

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Sadam mengerutkan dahinya membaca notifikasi tersebut.

"Ni anak minta tolong apaan lagi sih. Gua udah males mau nolongin ni anak lagi, ntar kayak kemarin gua di jebak"

Jerrel yang mendengar itu sedikit terkejut.

"Hah, di jebak apaan, Dam?"

"Sera chat gua bilang minta tolong Bara mabuk bawa botol miras ke rumahnya. Gua di suruh ngusir tu anoa, ya gua dateng lah, taunya gua sampai sana ngeliat mereka pelukan mesra mesraan. Apa gak bangsat kayak gitu, Rel?"

"Serius lo, Dam? Anjing juga ya ternyata si Sera"

Sadam mengangguk, menghempas handphone nya ke atas meja. Ia tidak memperdulikan pesan yang masuk tadi.

"Gak lagi-lagi gua nolongin tu anak"

Sadam dan Jerrel melanjutkan kembali aktivitasnya, mengobrol santai sambil meminum secangkir kopi hangat dan bebera makanan pendampingnya.

"Lagian Sera kenapa masih sering minta tolong ke lo ya, Dam? Terus guna nya Bara sebagai pacar dia apaan, heran gua"

Sadam menggelengkan kepalanya bahwa ia juga tidak tahu tentang Bara dan Sera.

Di sisi lain, Diva menggenggam erat tangan Sera. Kini, keduanya sama-sama sedang ketakutan. Keringat yang tidak berhenti bercucuran, dengan napas yang tersengal-sengal.

"Div, gua takut"

Dengan tangan yang bergetar ia meletakkan satu jari telunjuk pada mulut Sera.

"Lo ada nomor Jerrel?" tanya Diva.

Sera mengangguk dengan sigap ia mencari kontak Jerrel pada handphone nya. Ia memencet tombol tanda telepon yang terlihat. Dengan besar harapan Jerrel mau mengangkatnya.

Tapi nihil, Jerrel tidak mengangkat teleponnya. Mereka berdua semakin kebingungan. Harus dengan cara apalagi mereka meminta bantuan.

Sera hanya bisa menangis pada situasi ini. Dan Diva yang terus berusaha menenangkan Sera.

"Sera.. Diva.. keluar sayang, percuma lo berdua tetap di dalam, lo berdua tetap bakalan musnah di tangan gua kapan pun gua mau"

Rain ; YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang