Rumit

1.3K 161 8
                                    

"Dek, kita puter balik ke Prama Medika!" putus Jani tiba-tiba yang tentu saja mengejutkan Jendra.

"Hah?! Siapa yang sakit?" Jendra segera mencari tepian yang memungkinkan untuknya menghentikan motor.

"Nanti aja ceritanya. Please, kita harus ke Prama Medika dulu."

Meski berdecak, Jendra mencari jalan menembus kemacetan untuk kembali ke arah Buah Batu. Butuh waktu hampir lima belas menit hanya untuk berputar dan berbalik arus. Tapi selama itu, Jani tidak sempat berpikir yang lain selain kondisi Rayan dan Lita. Hingga mereka tiba di parkiran Prama Medika, Jendra hanya mengikuti Jani yang tergesa di depannya tanpa banyak tanya.

Namun setelahnya, dia begitu kaget ketika melihat Jani menghampiri seorang lelaki yang kemudian memeluknya erat. Lebih tepatnya mereka berpelukan erat. Wajah pria itu cukup familiar bagi Jendra, tapi dia tidak ingat pernah melihatnya dimana. Merasa ada yang salah dengan pemandangan di hadapannya, Jendra segera berdehem keras agar keduanya tersadar bahwa ini tetap tempat umum meskipun sepi.

"Kopernya, Mbak." ujar Jendra setelah Jani menoleh padanya dengan canggung. "Aku tunggu di kantin." lanjutnya tanpa menatap Rayan.

Begitu Jendra pergi, Rayan melihat Jani menarik kopernya mendekati kursi yang tadi didudukinya. Diikutinya Jani dengan duduk di sebelahnya.

"Kamu mau kemana?" Rayan penasaran. Baru sadar kalau Jani nampak siap pergi dengan ransel di punggungnya ditambah koper yang baru saja diserahkan lelaki yang tidak dia kenali.

"Nggak kemana-mana. Tante Lita gimana?" Untuk sementara, Jani memilih abai dengan batalnya kepergian dirinya ke Jakarta. Karena setelahnya, Rayan kembali menampakkan kerapuhannya.

"Tiga hari lalu Mami akhirnya setuju operasi, tapi sampai sekarang belum sadar juga. Dokter bilang kondisinya stabil, tapi kalo stabil kenapa Mami nggak mau bangun ya, Jan?" Rayan mengacak rambutnya sendiri, terlihat sekali raut cemas, bingung, juga frustasi darinya. Sedang Jani hanya bisa menenangkan dengan usapan di punggungnya. Untuk berkata kalau semua baik-baik saja pun sepertinya percuma, karena yang dibutuhkan Rayan adalah Lita yang sadar. Dan selama itu belum terjadi, Jani yakin Rayan tetap gelisah.

"Kakak udah makan?" tanya Jani yang dibalas gelengan Rayan. "Kita ke kantin yuk, Jendra juga nunggu di sana."

"Aku nggak nafsu makan, Jan." Jani bisa membayangkan kalau tiga hari ini Rayan pasti mengabaikan kebutuhannya, terlihat dari begitu kusut dirinya.

"Temenin aku makan mau?" tawar Jani.

"Kamu aja ya? Temen kamu pasti udah nunggu." Alis Jani mengerut sesaat sebelum tersenyum paham.

"Kamu lupa sama Jendra? Dulu dia masih bocah banget ya pas ketemu kamu."

"Jeje? Itu tadi Jeje?" Rayan masih nampak mengingat-ingat, membuat Jani mengangguk.

"Dia sekarang ngambek kalo dipanggil Jeje." Kekehan Jani menular padanya. "Jadi mau ya ikut ke kantin? Nanti perawat pasti kabarin kok kalo Tante Lita bangun. Kamu butuh tenaga lho buat jagain Tante kalo udah sadar." bujuk Jani.

Rayan menghela nafas panjang. Perasaannya memang belum membaik, tapi kehadiran Jani jelas melegakan. Menemukan ketulusan di mata Jani, Rayan tidak bisa menahan diri untuk kembali menarik Jani dalam pelukannya.

"Makasih ya." Setelah kata-kata tajamnya kemarin, seharusnya Jani membencinya bukan malah peduli seperti ini. Tapi tentu saja tidak dia ucapkan, karena takut Jani berubah pikiran.

"Its okay. I know its must be hard for you. Kita teman kan, Kak?" Jani kembali menenangkan dengan usapan di punggungnya. Namun perkataannya justru membuat Rayan tersadar dengan status keduanya. "Yuk, makan."

Zo-Na-Nya-Man-TanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang