3. Wisuda bang Wisnu

42 16 72
                                    

HAPPY READING! 

Mereka berdua datang dengan sebuah buket bunga di tangan. Perempuan dengan tinggi yang hanya sepundak Haikal itu tersenyum ketika melihat kakak kosnya memakai baju wisudanya.

"Selamat Bang Wisnu, wisudanya." Haikal yang menyelamati terlebih dahulu sembari menjabat tangan sang wisudawan.

"Selamat, bang!" Pia menyodorkan buket bunga sembari menjabat tangan Wisnu yang sudah memegang buket bunga yang lain dari anak kos-kosan juga.

Dengan rok terusan berwarna kuning muda membuat bajunya serasa serasi dengan pakaian Haikal. Sebuah kemeja berwarna cokelat tua. Haikal sendiri mendekatkan dirinya ke arah Pia yang berdiri setelah berbicara dengan kakak-kakak kos yang lainnya.

"Pi, nanti foto, yuk!" Haikal berbisik membuat Pia menatap Haikal dengan kebingungan.

"Iya, nunggu member kos utuh dulu, ada yang belum dateng soalnya," ujar Pia tanpa merasa berdosa. Haikal yang merasa kodenya tidak sampai akhirnya memperjelas pernyataannya.

"Berdua. Berdua aja," ujar laki-laki dengan sepatu kets hitam miliknya yang tampak sudah agak kusam.

Pia menaikkan alisnya, "Buat apa?" tanya dia sembari menggeser tubuhnya sendiri dan menatap Haikal dengan waspada.

"Ya enggak apa-apa."

"Bebas deh, lagi pula lo udah nganterin gue ke sini. Tapi, enggak ada yang bisa bantu fotoin." Pia akhirnya menjawab, jawaban langka yang tidak akan Haikal sia-siakan.

Haikal berpikir lama, kemudian melihat ke sekitar. "Bang, fotoin kita dong." Seorang laki-laki yang ada di dekat sana melihat ke arah Haikal dan berjalan mendekat. Haikal menyodorkan ponselnya dan berbicara sebentar kemudian langsung berlari kecil ke arah Pia yang masih berdiri.

Pia berdiri di sebelah Haikal. "Gue izin pegang kepala lo, ya?" Pia mengangkat kepalanya ke arah Haikal, menatap Haikal yang meletakkan tangannya ke atas kepala Pia dan tersenyum ke arah kamera.

"Rambut gue, Kal!" Pia langsung merapikan rambutnya sendiri, sementara Haikal meringis merasa gemas dengan tingkah laku kesayangannya itu.

Pia berdecak sebal, walaupun akhirnya rambutnya sudah rapi kembali. "Kalau foto itu, gaya yang bener-bener aja. Aneh-aneh banget." Dia mengomel terus-terusan sementara Haikal meminta mas-mas yang tadi untuk memotret lagi.

"Ayo, pose Pi." Haikal kemudian membentuk jarinya menjadi huruf dua, gaya yang sangat mainstream dikalangan orang-orang.

Pia juga ikut berpose seperti itu, sembari menampilkan deretan giginya. Saat senyuman itu muncul, kedua pipinya ikut naik ke atas membuat Pia tampak lucu.

Haikal mengambil ponselnya sendiri dan berterima kasih kepada tukang foto dadakan yang tadi. Teriakan dari Bang Wisnu membuat Pia langsung melihat ke seberang sana.

Mereka berdua menghampiri untuk berfoto bersama. Agak terkejut dengan sebuah ondel-ondel yang besar memeriahkan foto bersama mereka. Ketika sesi foto berakhir, Pia merasakan kakinya mulai perih.

Dengan langkah pasti ada sebuah kursi di sana. Pia duduk dan mengecek kakinya, sepatu dengan hak tinggi itu melukai bagian belakang pergelangan kakinya.

"Kenapa, Pi?" tanya Haikal begitu merasa Pia sudah menghilang dari kerumunan.

"Oh, ini kaki gue lecet. Biasa, namanya juga sepatu hak tinggi." Pia kemudian memasang kembali sepatunya dan berdiri.

Haikal meminta Pia kembali duduk dan segera pergi dari sana. Mencari sesuatu sepertinya. Pia menurut, dirinya duduk dan mengamati sekitar.

Apa besok dirinya bisa wisuda tepat waktu juga? Jujur saja, Pia benar-benar lelah untuk menjalani masa kuliah ini. Padahal jadwal kuliahnya tidak sepadat kalau sekolah.

Pia yang melamun dan Haikal yang sudah kembali dengan sesuatu di tangannya langsung berjongkok di sebelah Pia. Membantu Pia untuk membuka kembali sepatu hak tingginya.

"Makasih," ujar Pia setelah sebuah plester luka di tempelkan di bagian lecet kakinya. Pia mengambil sepatu hak tingginya hendak memasangkan kembali ke kakinya.

Haikal mencegatnya lalu menggelengkan kepalanya. "Nanti tambah luka," ujarnya lalu melepas sepatunya sendiri menyisakan sebuah kaos kaki berwarna hitam yang tampak baru.

Memasangkan kembali sepatu miliknya ke kaki Pia. "Lo pakai apa nanti? Kalau udah di tempel plester luka, enggak masalah kok." Pia memprotes, berusaha menyingkirkan kakinya walaupun tidak berhasil sepatu hitam itu tetap menempel di kakinya.

"Gue cekeran juga bisa. Yuk, pulang." Haikal mengambil sepatu Pia dan mengulurkan tangannya guna membantu Pia untuk berdiri.

Suasana wisuda masih ramai, tapi Haikal sudah pamit ke Bang Wisnu untuk pulang lebih dahulu. Pia mengikuti Haikal ke arah parkiran dirinya sesekali memprotes ketika melihat Haikal melangkah dengan kaos kakinya.

"Lo pakai sepatu lo aja. Gue enggak apa-apa udahan." Dia masih senantiasa mengoceh sementara Haikal menulikan telinganya.

Haikal menyodorkan helm ke arah Pia dan dia membuka jok motornya, memasukkan sepatu hak tinggi itu ke dalam sana dan menutupnya.

"Naik, Pi," ujar Haikal ketika dirinya sudah siap dengan helm dan menghidupkan motornya. Pia dengan agak ragu naik ke atas motor Haikal dan motor mereka melaju keluar dari area kampus.

Sepatu hitam Haikal sangat besar di kaki Pia. Pia takut kalau sepatu itu akan jatuh karena terlalu besar. Pia menatap ke arah bawah, tepatnya ke kaki Haikal yang hanya menggunakan kaos kaki saja.

"Kal, kaki lo enggak panas? Siang-siang ini. Sepatunya lo pake aja." Pia benar-benar merasa tidak enak hati sementara Haikal tetap tidak menjawab walaupun mendengar nada khawatir dari Pia.

"Kal, kalau diajak ngomong jawab," kata Pia sembari menepuk pundak Haikal dengan kesal karena merasa tidak dianggap sedari tadi.

"Kalau lo sebegitu khawatirnya. Jadian sini sama gue, biar ada status kalau mau nyuruh-nyuruh pake sepatunya lagi." Haikal akhirnya menjawab walaupun jawabannya membuat Pia jadi dongkol sendiri.

"Terserah, deh." Pia membalas dengan jutek. Mendengar itu Haikal tertawa, hati Pia belum terbuka terhadap dirinya. Dia harus berusaha lebih baik lagi.

Pia dipulangkan ke kos-kosannya. Dimana saat motor Haikal masuk ke dalam. Ibu Kos Pia ada di sana.

"Sepatu kok dibawa-bawa aja, enggak dipakai malah cekeran." Bu Endang berkomentar membuat Pia meringis sungkan.

Haikal tersenyum sopan, "Kaki Pia sakit, bu gara-gara pakai sepatu hak tinggi." Haikal menjelaskan walaupun itu bukan suatu hal yang penting.

Bu Endang tertawa kemudian menepuk pundak Haikal senang. "Pacar kamu gentle banget, Pi. Keren kalau pilih pacar," ujar sang ibu kos membuat Pia langsung mengelak.

"Bukan pacar, Bu." Mendengar jawaban Pia membuat Haikal cemberut lalu punya ide yang bagus.

"On the way, Bu. Doain aja, Bu kedepannya Pia jadi pacar saya," ujar Haikal benar-benar muka tebal. Bu Endang yang senang melihat interaksi mereka tertawa senang.

"Iya, deh. Ibu doain. Ibu pergi dulu, ya. Ada urusan." Bu Endang pamit lalu pergi meninggalkan mereka berdua yang masih berdiri di area parkiran.

***

Lanjut?

Kampus BakPiaWhere stories live. Discover now