Part 18. Perjodohan Dyaz.

221 43 4
                                    

Assalamualaikum. Selamat malam temans.
Maaf, lagi-lagi updatenya lama. 🙂

Part kali ini di khususkan bahas Kak Dyaz dulu, ya.

Happy reading🥰



Hujan masih lumayan deras mengguyur Ibukota pagi ini. Gadis berhijab putih masih termenung memikirkan ucapan pria misterius yang baru saja menghilang dari pandangan matanya.

Berusaha mengabaikan apa yang disampaikan pria tadi, tapi kenapa justru semakin kepikiran. Anggita bukan tandinganmu, wanita itu bisa melakukan apa saja demi mewujudkan keinginannya. Kalimat tersebut terus terngiang laksana kaset yang terus berputar. Kenapa juga pria itu meminta dirinya harus waspada saat dekat Anggita?  Pertanyaan-pertanyaan tersebut menjejali benak Zahira.

Kedatangan mobil putih diiringi suara klakson membuyarkan lamunan Zahira. Secepat kilat ia menoleh. Kelegaan terlihat mengetahui taxi online pesanannya telah sampai.  Menerobos gerimis yang masih lumayan deras, gegas ia berlari.  Tas punggung berwarna hitam ia gunakan sebagai penutup kepala menuju kendaraan beroda empat yang menunggunya.

Dalam perjalanan Zahira masih saja memikirkan perkataan pria misterius tadi. Sampai akhirnya ia tersadar saat supir taxi mengatakan jika mereka telah sampai di tempat tujuan.

💕

Di tempat lain, dua wanita yang ditaksir berusia 50 tahun tengah melepas rindu setelah berpuluh tahun tidak bertemu. Dulu, keduanya merupakan sahabat dekat saat bersekolah di bangku SMA. Selepas kelulusan, mereka berpisah lantaran pekerjaan kedua orang tua masing-masing yang dipindah tugaskan.  Satu ke Lampung dan satu lagi ke Kalimantan.

Salah satu diantaranya adalah Widya mamanya Dyaz. Ia tak menyangka akan kembali dipertemukan dengan sang sahabat di acara pernikahan keponakannya ini.  Tawa lepas kerap terdengar kala dua wanita paruh baya itu mengingat kekonyolan mereka dulu.  Banyak hal yang dibicarakan, sampai akhirnya perbincangan merembet pada urusan anak.

“Jadi anak sulungmu belum menikah, Wid?” tanya wanita yang diketahui bernama Siska.

“Belum. Jodohnya belum sampai. Usianya padahal udah masuk kepala tiga, kerja juga lumayan mapan.”

Siska tampak terdiam dan berpikir. Tak lama ia kembali membuka suara.

“Kapan pulang ke Lampung?” Siska kembali melontarkan satu pertanyaan.

Setelah mendapat jawaban dari Widya, Siska menyampaikan niatnya untuk mengajak Widya singgah ke rumahnya.  Undangan Siska disambut baik Widya.

Pukul empat sore kedua sahabat ini  berpisah. Widya mengantar Siska sampai ke mobil, wanita itu memberikan ancaman jika sampai Widya tak jadi datang ke rumahnya malam ini.

Mobil yang dikendarai Siska perlahan meninggalkan tempat acara, Widya  memutuskan masuk ke rumah adiknya untuk mencari anak dan sang suami.

“Tante Siska itu teman Mama yang tadi dikenalin sama kita?” tanya Kirana, saat Widya bercerita mendapat undangan dari sang sahabat.

Widya mengangguk.” Pokoknya siap-siap aja. Selepas salat isya kita berangkat ke sana. Mama mau cari Kakak dan papamu dulu.

💕

Selepas salat  Isya, Widya meluncur ke kediaman sang sahabat.  Sambutan hangat mereka terima dari si empunya rumah. Siska dengan semangatnya mengajak tamunya masuk.

“Alysa belum pulang, Ma?” tanya Burhan suami Siska.

“Belum, Pa. Mama nggak tahu kalau hari ini Alysa dapat jatah piket sore.”

Burhan yang baru saja tiba di ruang tamu ikut bergabung.

Dua keluarga terlibat obrolan ringan, utamanya membahas masa lalu, pekerjaan dan masih banyak hal. Tentang keluarga Siska yang sudah satu tahun terakhir ini kembali ke Bogor karena Burhan yang sudah pensiun dan mendiami rumah warisan istrinya.

Setelah cukup lama bertukar cerita, Siska mengajak tamunya menuju meja makan.

“Duh, Sis. Jadi ngerepotin kamu, kan.”

“Apaan, sih. Enggaklah  Wid. Anggap jamuan  ini merayakan pertemuan kita lagi.”

Siska menarik tangan sahabatnya diikuti Kirana dan Dyaz, serta kedua suami.

Hidangan yang tersaji sangat menggugah selera, Siska tak pernah gagal dalam mengolah makanan. Sejak dulu ia memang pandai memasak,  Widya memuji  sang sahabat.

Di tengah menyantap hidangan obrolan ringan masih terdengar. Kali ini kaum bapak-bapak lebih mendominasi. Apalagi yang dibahas kalau bukan masalah pekerjaan. Siska sempat memprotes Burhan, ia takut suami Widya tak nyaman.  Namun, dengan cepat hal itu disanggah suami Widya.

Sesi makan malam selesai, saat ini semua tengah berkumpul di teras samping rumah Siska seraya mencari angin segar. Ada taman kecil di sana lengkap dengan berbagai tanaman hias dan kolam ikan hias.

Ucapan salam terdengar dari ruang depan, Siska yang hapal betul suara tersebut gegas beranjak dari tempat duduk menuju sumber suara. Tak lama ia kembali bersama seorang gadis seusia Kirana. Ia adalah Alysa putri semata wayang Siska dan Burhan.

Siska membawa putrinya untuk dikenalkan pada keluarga Widya. Dyaz yang tengah membalas chat dari Bara hanya melirik sekilas pada gadis yang tengah bersalaman dengan kedua orang tua dan adiknya.  Melihat reaksi Dyaz, Widya yang berada dekat dengan sang putra menggamit lengannya, agar Dyaz menghargai kehadiran Alysa. Gadis berhijab yang berada diantara Siska dan Burhan  hanya tersenyum samar saat Dyaz mengangguk padanya.

💕

“Aduh, Ma. Kenapa pake acara jodoh-jodohan segala, sih!” protes Dyaz saat sang mama mengutarakan niatnya.

“Mau nunggu kamu bawa calon sendiri ke rumah itu rasanya mustahil, Az. Usia kamu udah pantas untuk berkeluarga. Tunggu apalagi? Toh Alysa gadis baik-baik. Asal-usul keluarganya bagus, pekerjaan juga oke.”

“Ck! Masalahnya bukan itu, Ma. Dyaz ....” Pria berkacamata itu menjeda kalimat, bingung harus memberi alasan apa pada Widya. Ini terlalu mendadak baginya.

“Apa kamu udah punya calon. Siapa? Kenalin dong sama Mama.”

Dyaz terdiam. Mulutnya terkatup rapat dengan tatapan datar.

Suasana hening. Widya masih setia menunggu jawaban Dyaz, ia penasaran apa yang akan putranya sampaikan.

Dyaz terlihat menghela napas, menoleh ke arah sanga mama  lalu berkata,” Tapi ini belum deal, kan, Ma? Kita perlu penjajakan dulu. Mengenal satu sama lain untuk tahu sifat dan karakter masing-masing.”

Bukan tanpa sebab Dyaz mengemukakan pendapatnya. Yang ada dalam benak pria itu, Alysa pasti manja, merepotkan seperti gadis kebanyakan yang berlabel  putri tunggal. 

Ingatannya seketika tertuju pada Zahira. Bukankah sahabat adiknya itu juga anak semata wayang, tapi buktinya Zahira bisa mandiri dan tidak merepotkan. Ah, tentu saja berbeda, Zahira sudah dilatih mandiri sejak kecil. Sementara Alysa, ia pasti biasa dimanja dan setiap kemauannya akan dituruti.

Terdengar decak halus dari mulut Dyaz saat benaknya tiba-tiba harus membandingkan dua gadis itu.

“Sekarang jaman udah canggih, Az. Jalin kedekatan lewat komunikasi  WA juga bisa. Sesekali kamu datang ke Bogor atau Alysa yang ke Jakarta. Dan jangan lama-lama. Mama rasa tiga bulan waktu yang cukup untuk mengenal karakter masing-masing.”

“Setelah tiga bulan kami boleh memberi keputusan, kan? Apa pun hasilnya nanti.”
Widya mengangguk tanda setuju.

💕

Ditempat lain. Siska juga sedang berusaha keras membujuk anaknya agar mau menerima perjodohan yang ia rencanakan.

“Aku nggak yakin anak teman Mama itu suka sama cewek.”

“Al! Hati-hati kalau ngomong.” Teriak Siska memperingatkan sang putri.

“Mama nggak lihat kemarin? Sikapnya dingin, cuek kayak nggak selera lihat cewek.”

“Itu karena kalian baru pertama ketemu, mungkin masih canggung.”

Alysa si gadis penurut tak bisa membantah. Gadis yang pernah mengenyam  pendidikan di pesantren ini sangat paham hukum melawan orang tua, terutama Ibu.

💕

Satu bulan setelah perkenalan Dyaz dan Alysa, pria itu masih belum juga membuka komunikasi dengan gadis pilihan orang tuanya. Ia bingung untuk mengawali percakapan dengan Alysa.

Bertukar kabar, menanyakan sudah makan belum? Lagi di mana, sama siapa? Pertanyaan klasik yang menurut Dyaz nggak penting. Dirinya bukan lagi ABG yang kebanyakan basa-basi.

Bara sudah ia beritahu perihal ini, jangan ditanya bagaimana reaksi laki-laki dingin itu. Ia tertawa lepas kala mendengar cerita Dyaz.

“Cantik nggak? Lagian hari gini masih aja jodoh-jodohan,” tanya Bara disela tawa.

“Kamu kayaknya senang banget lihat aku menderita,” cetus Dyaz tak terima.

“Kapan-kapan kenalin ke gue, ya.”

Belum sempat Dyaz memberi jawaban, keduanya dikejutkan dengan pintu ruang kerja Bara yang tiba-tiba terbuka.

“Mau dikenalin ke siapa?”

Pertanyaan bernada sinis meluncur dari seseorang yang baru saja masuk itu.

Dyaz melempar pandang pada sang sahabat. Bara hanya melihat sekilas ke arah wanita yang baru saja memasuki ruangannya itu. Wajahnya seketika cemberut.  Dirinya memang tidak menyukai jika wilayah pribadinya dimasuki tanpa permisi.

“Kamu belum jawab pertanyaanku, Bar. Siapa yang mau dikenalin ke kamu?” tanya wanita yang tak lain Anggita. Gadis itu  sengaja datang tak memberi kabar, ia berniat mengajak Bara makan siang.

Anggita sudah berdiri di depan pintu ruang kerja Bara sejak 10 menit lalu. Tangannya sudah akan mengetuk pintu, tapi urung saat mendengar tawa Bara yang lepas. Penasaran, gadis yang mengenakan rok pensil hitam mencuri dengar percakapan dua sahabat tersebut.

Dyaz melirik Bara saat Anggita berjalan mendekat ke arah mereka. Pria berkacamata ini tahu jika atasannya merasa tidak nyaman dengan kehadiran wanita berpostur tinggi ini.
“Bara minta dikenalin sama teman dekat aku,” jawab Dyaz, mengambil alih tugas Bara yang terus dicecar.

“Siapa? Zahira?”

Bara yang tengah bermain ponsel menoleh cepat ke arah Dyaz dengan raut wajah datar tapi menakutkan.  Melihat Bara yang seperti akan menghajarnya, Dyaz menelan ludahnya kasar.

“Oh, bukan.” Jelas Dyaz

“Wah ... kalau gitu kita bisa dong duble date.” Anggita terlihat semringah mengatakan itu. Tepatnya lega, setelah mendengar pengakuan Dyaz.

💕

Alysa sudah tiba di Jakarta. Ia dan kedua orang tuanya tengah berkunjung ke rumah sang tante. Siska  sudah mengabarkan keberadaannya pada Kirana, dan meminta gadis itu mengajak jalan-jalan putrinya.  Kirana tentu saja senang mendengar kabar tersebut, lantas membuat janji dengan Alysa.

Jam kantor usai, setelah membereskan barang-barang miliknya Dyaz bergegas turun. Tujuannya ke kantor Kirana. Sang mama sudah lebih dari 10 kali menghubunginya agar segera menjemput Alysa. Beliau tahu gadis itu tengah berada di Jakarta.

Dalam waktu 20 menit, Dyaz yang sebelumnya memjemput Kirana tiba di rumah tante Alysa. Setelah sempat memperkenalkan diri dan sedikit berbasa-basi pria itu pamit  sekaligus meminta izin pada Siska dan Burhan untuk mengajak Alysa jalan.  Dan tentu saja hal itu disambut baik kedua orang tua Alysa.

Kendaraan beroda empat milik Dyaz perlahan meninggalkan rumah tante Alysa.

“Kita makan dulu, ya. Dari siang aku belum makan.” Dyaz membuka suara.

“Boleh. Nggak apa-apa, kan, Kak?” Kirana meminta pendapatnya pada Alysa.

Gadis berhijab warna brown mengangguk seraya tersenyum.

Selama dalam perjalanan menuju tempat makan, Kirana lebih mendominasi obrolan. Ia ingin membuat suasana diantara Alysa dan Dyaz tidak canggung.

Sampai akhirnya mereka tiba di salah satu restoran khas sunda. Dyaz memarkir mobil setelah dua gadis yang duduk dibangku tengah turun lebih dulu. Tak lama ia pun menyusul ke dalam.

Dyaz yang berjalan di belakang Kirana dan Alysa ikut terdiam saat Alysa menghentikan langkahnya mendadak. Wajahnya terlihat terkejut.

“Sebentar. Kayaknya aku kenal pengunjung meja dekat kasir. Bukannya itu ....” Alysa menjeda kalimat, berusaha mengingat seseorang yang ia maksud. 

Kirana yang ikut menghentikan langkah menatap meja yang Alysa tunjuk.

Dyaz yang tiba-tiba sudah berdiri di dekat Kirana ikut membuka suara.

“Kamu kenal Bara?” tanya Dyaz  penasaran.

Alysa menoleh ke tempat Dyaz berdiri, hanya sekilas lalu tatapannya kembali fokus pada objek yang mencuri perhatiannya  itu.




Stay With MeWhere stories live. Discover now