4. Midnight

452 75 7
                                    

Malam ini kuputuskan untuk tidur di kamar Gibran, hitung-hitung menemaninya yang sedang patah hati, menghibur laki-laki itu sebaik yang aku bisa. Tidak akan kubiarkan anak manusia yang baik itu—meski terkadang menyebalkan—menggalau sendirian.

Kalau ada aku di sini, paling tidak Gibran punya teman yang sama-sama sedang galau.

Setelah makan malam sambil menonton tayangan bola sore yang hampir selesai, Gibran langsung merebahkan diri lagi di kasur. Menatap langit-langit kamarnya yang tak sepenuhnya putih karena bekas rembesan air hujan berubah jadi bercak abu-abu kehitaman.

"Udahlah Bran, jangan terlalu dipikirin," kataku bersimpati.

Gibran membuang napas cukup kuat. "Gimana ya Meng biar cepet kaya tapi nggak pelihara tuyul?"

Apa itu tuyul? Jenis binatang apa? Seumur hidupku rasanya aku sama sekali belum pernah mendengar atau melihat binatang tuyul. Ahh, barangkali Ziezie tahu, sepertinya binatang itu masuk sirkel binatang peliharaan mahal.

Akanku tanyakan nanti.

Seperti apa ya bentuknya? Apa dia hidup di air?

"Andai lu bisa ngepet, Meng. Datengin tuh rumah Pak Lurah terus ambil duitnya."

Ngepet apa? Sejenis mencuri?

Gibran yakin ingin aku mencuri? Padahal dia sendiri yang selalu bilang agar aku tidak menjadi kucing yang suka mencuri lauk orang. Katanya, "Meng, nih dengerin ya, sekali aja lu ketauan nyuri, orang-orang bakal nuduh lu pencuri sepanjang lu hidup. Selaper apapun lu, jangan pernah nyuri yang bukan milik lu. Dateng aja ke gue, gue pasti kasih lu makan. Yaa ... seadanya juga sih. Tapi itu lebih baik daripada lu mencuri. Makanan lu nggak berkah!"

Waktu itu kucing belang bernama Bundel ketahuan mencuri ikan bandeng Bu Maryati dan kucing itu disiram air hingga basah kuyup kedinginan. Gibran khawatir aku mendapat perlakuan demikian oleh manusia, makanya ia memberiku wejangan panjang lebar hampir semalaman.

"Rumah Stevi mah jangan, kasian. Mending rumah Pak Lurah tuh yang 'kabarnya' korupsi dana operasional. Tahu nggak lu beritanya?"

"Gak tahu," kataku singkat, kembali fokus memperhatikan Gibran yang masih membahas Pak Lurah.

Sejujurnya aku juga tidak tahu siapa Pak Lurah dan di mana rumahnya. Orang-orang komplek ini jarang membicarakan Pak Lurah, yang kudengar pasti selalu Pak RT atau Pak RW. Lurah itu siapa? Korupsi juga apa? Kenapa dari nada bicara Gibran seolah-olah beliau melakukan kesalahan besar? Apa jangan-jangan dia juga mencuri? Makanya Gibran ingin aku mencurinya balik?

"Ah lu mah mainnya kurang jauh! Pak Lurah tuh yang tinggal di komplek sebelah. Komplek San Fransisco sono tuh, deket rumahnya Raden." Gibran menjelaskan semakin serius.

Satu hal yang aku suka dari manusia ini adalah dia yang seolah-olah tidak pernah menganggapku sebagai seekor kucing. Baginya, kita ini satu spesies yang saling mengerti bahasa satu sama lain. Meskipun pada kenyataannya hanya aku yang mengerti bahasanya dan dia tidak mengerti bahasaku.

Keempat kakiku kusembunyikan di bawah tubuh, menikmati hangat perut Gibran yang naik turun setiap manusia itu bernapas.

"Besok-besok main ke komplek sebelah, kenalan sama kucing-kucing sana. Siapa tahu lu jodoh sama mereka."

"Mana mungkin."

Gibran terkekeh. Matanya mulai terlihat mengantuk. Kalau hari kerja begini, Gibran tidak akan tidur larut malam. Ia harus terlelap sesore mungkin agar besok bisa bangun pagi-pagi sekali. "Lu mah sukanya sama Ziezie ya?"

"Inget ya, Meng, ya. Kita itu beda sama mereka. Bu Asti aja setiap hari bilang; cari jodoh itu yang setara sama kita, jangan nyari orang kaya, nanti harga diri kamu diinjak-injak," lanjutnya.

Si MengWhere stories live. Discover now