BAB 13 | Diplomasi

30 13 0
                                    

Kedua mata Yi Jing mengitari tempat indah lagi hijau dengan kemilau emas yang menjadi komoditas negeri itu dengan takjub. Sebuah negeri yang berkembang sangat pesat sejak kedatangannya empat belas tahun lalu.

Cahaya kian terpancar dari wajah para murid yang sedang mengenyam pendidikan agama Siddharta Gautama di vihara yang telah dibuat oleh sang Maharaja. Belum lagi tempat itu menjadi pertukaran pelajar dari Nalanda dan juga Kanton.

Yi Jing mendapati sosok yang sudah berjasa baginya dalam membantunya menerjemahkan isi kitab dalam bahasa China. Sosok dengan tiara kebesaran Sriwijaya itu semakin mendekat, langkahnya begitu pasti dengan senyum yang tidak luntur di wajah tampannya.

"Yang Mulia," ucap Yi Jing saat sosok pembesar kerajaan tepat di hadapannya.

Pria itu merentangkan kedua tangan dan mendekap erat tubuh sang Biksu Buddha dari Kanton tersebut. "Sahabatku, selamat datang," ungkapnya seraya menepuk-nepuk pundak Yi Jing.

Ada rasa bangga yang tiba-tiba mencuat di dada Yi Jing. Rasa itu terus-menerus menganga setiap kali langkah kaki telanjangnya menyusuri tempat paling aman di Nusantara, tempat dengan kekuatan armada lautnya yang sangat ditakuti para perompak, juga tempat di mana Mahaguru Acharya Satyakirti mengajarkan Dharma di tanah nan hijau itu.

Saat tubuh kekar sang mentari kerajaan itu tersenyum hangat menyambut kedatangannya, memanggilnya sebagai seorang sahabat. Yi Jing tersenyum sambil lalu, dia berkata, "Sudah kuduga kau akan menjadi seorang Maharaja, sahabatku, Jayanasa Datu Sriwijaya."

Senyum tulus Yi Jing dibalas senyum yang tidak kalah tulus yang terpatri di wajah Sri Jayanasa. "Mari, Mahaguru Acharya Satyakirti pasti akan sangat senang bertemu lagi denganmu, Biksu agung, Yi Jing," sambutnya.

Setelah jauman panjang untuk Yi Jing, Sri Jayanasa kembali ke ruang kerjanya di istana. Di sana dia mendapatkan kabar tentang kerajaan di Jawa yang maju ditopang oleh perdagangan dengan komoditas emas, perak, dan cula badak.

Di lain tempat, sebuah ruangan hijau terbuka dengan bunga-bunga cantik yang mekar sempurna menebarkan wangi yang menyejukkan. Sobakancana duduk di salah satu kursi kayu ukir, sementara di depannya terdapat sebuah meja makan dengan berbagai kudapan manis lengkap dengan buah-buahan segar telah tersaji.

Wanita itu menyugar, melepaskan kepangan rambut yang sudah ditata sedemikian cantik oleh salah seorang dayang. Namun, Sobakancana tidak terlalu menyukai gaya rambut yang dinilai kekanakan itu. Dia memilih untuk membiarkan rambut panjangnya terurai dan tersapu tipis setiap kali dayang di sebelahnya mengipasi dirinya. Ditambah lagi rasa segar itu berlipat saat embusan angin meluncur dari arah dedaunan rimbun pohon-pohon hijau yang tumbuh di taman itu.

"Yang Mulia, maaf kalau hamba lancang," seorang wanita dengan sebuah tanda hitam besar di dekat hidungnya berbicara. Wanita itu salah satu istri dari saudagar kaya yang menjejalkan kain-kain sari dengan hiasan manik-manik cantik yang sangat khas milik suaminya yang merupakan seorang pendatang dari negeri Hindustan.

Sobakancana menatap pantulan dirinya pada cermin bulat dengan ornamen cantik berwarna-warni, sebuah hadiah pemberian tamu dari China. Wanita dengan wajah mungil dan cantik muncul di sana. Dengan ujung matanya dia melirik sebentar ke arah lawan bicaranya. "Aku memberikan maaf atas kelancanganmu itu, Nyai. Ada apa?"

"Ah, terima kasih atas kemurahan hati, Yang Mulia Prameswari. Hamba hanya ingin memberikan kabar tentang ratu di bhumi Jawa," kata wanita dengan riasan wajah penuh dan tebal itu membuka pembiayaan.

Wanita itu nampak yakin kalau kabar tentang wanita cantik lain akan membuat Prameswari Sobakancana kalangkabut. Dengan senyum kemenangan yang muncul sambil lalu di wajahnya itu, dia kembali melanjutkan pembicaraannya saat melihat Sobakancana dengan terang-terangan terpancing oleh ucapannya.

Another Shima (TAMAT)Where stories live. Discover now