Chapter 14

351 37 1
                                    

Tuk... Tuk... Tuk...

  Netra Kaiser membelalak seiring suara sepatu itu semakin mendekat. Seorang gadis dengan surai coklat dan wajah khas orang barat menghampirinya. Dia adalah seseorang yang sangat Kaiser kenal–lebih tepatnya masa lalunya. Alisnya mengkerut, heran kenapa gadis–wanita itu bisa disini.

  "Kau–apa yang kau lakukan disini? Kenapa bisa kau disini? " Tanyanya tanpa mendekati gadis itu dan kembali memandangi jalan di bawahnya

Oops! Ang larawang ito ay hindi sumusunod sa aming mga alituntunin sa nilalaman. Upang magpatuloy sa pag-publish, subukan itong alisin o mag-upload ng bago.


  "Kau–apa yang kau lakukan disini? Kenapa bisa kau disini? " Tanyanya tanpa mendekati gadis itu dan kembali memandangi jalan di bawahnya. Satu masalah belum selesai, masalah lain datang, pikirnya.

  "Tentu saja aku kesini karenamu, kau tau kan, aku sangat mencintaimu dan tak akan sanggup tanpa dirimu. Tapi kau malah menghilang dan Mama bilang kau ke Jepang, jadi aku mengikutimu kesini, " Jelasnya panjang lebar dengan senyum cerah terpatri pada wajah cantiknya.

  Tapi hal itu tak meluluhkan Kaiser. Raut pemuda itu semakin kusut, seakan tak suka kehadirannya disini, "Hanya karena alasan sepele kau sampai kesini? Sangat kekanak-kanakan sekali, " Ketusnya.

  Mendengar itu, gadis tadi merengut, "Michael...Kenapa kau bisa berubah seperti ini? Apa seseorang menghasutmu dan membuatmu tak seperti dulu lagi? " Ia semakin mendekat pada Kaiser, kemudian memeluknya dari belakang dan menenggelamkan kepalanya pada leher Kaiser.

  Sedang yang dipeluk tak bergeming, bagian atas wajahnya menggelap. Sebenarnya ia kesal, tapi tak ada yang bisa ia lakukan, "Aku bukan Michael yang dulu lagi. Sejak kejadian itu, aku sudah melupakanmu, jadi sekarang pergilah," Ucapannya dibalas dengan gelengan dan pelukannya semakin mengerat.

Krieettt....

  "Kai, apa kau di– " Kaiser begitu terkejut ketika suara yang sangat dikenalnya membuka pintu. Mereka bertiga sama-sama membeku kaget dengan mata terbelalak. Tangan [Name] yang memegang kenop pintu kaku untuk beberapa saat. Sebelum ia tersadar dan berbalik badan meninggalkan Kaiser berdua bersama gadis yang tak dikenalnya.

  "[Name]! Tunggu–" Baru saja Kaiser hendak mengejar, tangannya dicekal kuat oleh gadis yang memeluknya tadi, "Lepaskan aku, Louisa." Ucapnya penuh penekanan yang tak dihiraukan gadis itu. Ia menatap Kaiser penuh keyakinan, "Maafkan aku, aku berjanji tak akan mengulangi kesalahanku. Bisakah kita mulai semua dari awal? Aku akan menyerahkan tubuhku seperti dulu dan tak akan ada siapapun yang bisa menyentuhnya kecuali dirimu, " Pintanya dengan mata penuh harapan.

  Senyum muncul di wajah Kaiser. Bukan, bukan senyum bahagia. Melainkan senyum kecewa yang mendalam. Pertanda tak ada kesempatan kedua bagi Louisa–mantan Kaiser semasa di Jerman dulu. Kemudian ia menghempas tangannya keras, dan berlari mengejar [Name] jikalau sempat.

  Setelah kepergian Kaiser, gadis itu murung dan menunduk. Rambutnya yang panjang menghalangi wajah cantiknya. Kemudian, kekehan yang disambung dengan tawa jahat terdengar. Gadis itu telah kehilangan akal, dan akan melakukan apapun demi pujaan hatinya agar bisa kembali padanya.

  "Tunggu saja, akan kuberi pelajaran gadis tak tau diri itu, dan kau akan kembali ke genggamanku, Michael. " Dari sela-sela rambutnya, terlihat senyum dan raut jahat tergambar di wajahnya. Setelahnya ia beranjak dari sana.

 

   Sementara [Name], ia berlari tak tentu arah. Pikirannya semakin kacau. Padahal tadi ia ingin menjelaskan pada Kaiser siapa yang berbicara padanya pagi tadi. Tapi malah disuguhi pemandangan yang memuakkan. Kabut di pikirannya semakin tebal, tak jarang ia menabrak orang saat berlari tanpa melihat jalan.

   Langkahnya membawanya ke belakang gedung sekolah. Terdapat taman kecil yang sepi dan beberapa bangku kosong disana. Ia putuskan untuk menenangkan diri disini saja, toh Kaiser juga tak tau tempat ini.

  Langkahnya gontai, kemudian duduk asal di salah satu bangku yang sedikit terpojok. Sengaja agar tak ada yang melihatnya disini. Suasana hening seakan mendukungnya untuk menenangkan diri. Tapi bukannya jernih, pikirannya semakin tercampur aduk dan kacau.

   Seperti, siapa gadis tadi? Bagaiamana dia bisa disini? Mengapa dia terlihat sangat dekat dengan Kaiser dan apa hubungannya dengannya? Kini pikirannya sangat ramai dengan suara-suara. Tapi, satu suara berhasil membuatnya terdiam.

  Memangnya siapa [Name] hingga harus merasa cemburu dan tak ingin Kaiser dekat dengan gadis manapun? Bukankah mereka hanya sekedar teman?

  [Name] semakin beringsut. Dia harus menerima ini dan tak boleh bersikap egois. Pasti gadis itu adalah kekasih Kaiser dari Jerman, kan? Jika benar, ia harus benar-benar menjauh darinya. Meskipun sakit, ia harus melakukannya. Sejak dulu, ia sudah terbiasa sendiri, kan? Benar, kan?

   Muak, gadis itu meremas dan menjambak rambutnya. Andaikan dia tak mengenal Kaiser, ia tak akan dibully lagi. Andai dia tak mengenal Kaiser, semua ini tak akan terjadi.

  [Name] beranjak ketika telinganya menangkap suara bel tanda masuk berbunyi dan waktu istirahat berakhir. Segera ia rapikan rambut dan wajahnya kemudian berjalan cepat menuju kelasnya. Ia berharap semoga Kaiser bolos dan ia tak akan menemuinya lagi.

  Tapi, harapannya pupus. Ketika netranya bersibobrok dengan netra sebiru lautan pemuda berdarah Eropa itu. Ia mendengus kasar, kemudian melanjutkan duduk di bangkunya. Selama pembelajaran, ia merasa ditatap terus menerus. Dan benar saja, pemuda itu menatapnya intens tapi tak ia hiraukan.

   Waktu pembelajaran kali ini dirasa sangat lama baginya, tak seperti biasanya. Tiba-tiba guru di depan meminta untuk membuat kelompok–lagi. Sial, kenapa harus ada tugas secara kelompok, sih? Batinnya mencak-mencak.

  Apalagi saat guru bilang, kelompok yang dibuat sama seperti saat terakhir membuat kelompok dulu–yang otomatis ia akan berkelompok dengan Kaiser. Batinnya semakin mencak-mencak meskipun wajahnya datar tak menggambarkan apapun.

   Napas berat ia hela, berusaha membiarkan semuanya terjadi. Disusul dengan bel pulang yang berbunyi nyaring membuat para siswa bersorak. Lekas ia kemasi barangnya dan keluar kelas dengan suasana hati yang kesal.

   Hari ini ia benar-benar dihadiahi banyak kejutan. Bukan kejutan yang membuatnya senang melainkan sebaliknya. Kejutan yang tak pernah ia harapkan.

  Langkahnya semakin gontai daripada saat ia berjalan ke taman tadi. Bahkan tasnya saja sudah hampir jatuh. Seakan tubuhnya tak bertenaga sama sekali. Yang mengeherankan, ia tetap sampai di rumahnya.

  Tubuhnya ia jatuhkan kasar ke futon, berusaha melupakan sejenak apa yang terjadi hari ini. Rasa lapar ia abaikan, lebih memilih untuk membungkus tubuhnya dengan selimut.

  Getaran pada ponselnya membuatnya mau tak mau terbangun. Layar kunci ponselnya dihiasi dengan notifikasi dari pemuda yang ia hindari, bertanya bagaimana dengan tugas kelompok mereka.

   Ia menjawab seadanya, tengah malas berurusan dengannya. Selepas membalas, ia kembali pundung dan membungkus tubuhnya lagi. Tak ada yang bisa ia lakukan ketika ia tengah sebal dan lelah. Hanya berguling tanpa tujuan dengan sesekali menangis.

   Ia bangun, dan memutuskan mengajak Kaiser mengerjakan tugas kelompok sekarang di taman. Ia bukan anak yang rajin, ia ingin cepat menyelesaikan tugas itu agar ia bisa bermalas-malasan lagi.

    Jadi, seperti rajin untuk malas? Entahlah.

Selepas mengganti baju, ia menyiapkan dan membawa barang yang sekiranya diperlukan. Kemudian berangkat dengan jalan kaki ke taman yang kebetulan dekat dengan rumahnya.

𝐂𝐨𝐦𝐩𝐥𝐢𝐜𝐚𝐭𝐞𝐝 𝐋𝐨𝐯𝐞 [Michael Kaiser X Reader] [Discontinue]Tahanan ng mga kuwento. Tumuklas ngayon