Prelude

2.4K 105 33
                                    

"Lihatlah!" Altair membentangkan tangan. "Tempat yang seharusnya pantai bersalju sekarang malah berubah jadi gurun. Perang antara Starion dan Anima lain memang sukses mengubah wajah dunia."

Deneb menghela napas. Dia tidak membalas apa yang dikatakan temannya itu. Angin terus menghantam tubuhnya dari depan. Sementara air laut yang merah—campuran antara darah Caster-Caster yang dilenyapkan Deneb dan alga-alga merah yang hidup di dekat pantai—semakin memperburuk suasana hatinya. Bau amis yang keluar dari air laut itu membuatnya ingin berteriak, baik pada Altair, pada mayat para Caster yang dibunuhnya, atau pada perintah Ayah yang semakin bergema dalam kepalanya.

Terik matahari tidak membuat Deneb yang sedang memakai jubah hitam itu kepanasan. Uap pasir pantai yang panas juga tidak terlalu mengganggunya. Namun, semua itu tidak akan dapat menenangkan hatinya yang sudah terasa akan meledak kapan-kapan saja.

"Kau gila memanggilku ke sini, Altair," kata Deneb pada teman yang ada di depannya. "Aku dapat membunuhmu dengan mudah."

"Kita semua memang gila, teman, sama seperti Pencipta kita. Dia telah memastikan kalau 'anak-anak' yang diciptakannya ikut mewarisi sifat jeleknya itu," kata Altair. "Selain itu, aku tahu kau tidak akan membunuhku."

Altair tetap tidak berpaling padanya waktu bicara. Jubah putih kebiruan yang dipakainya melambai-lambai tertiup angin laut yang menghantam mereka.

"Kalau Ayah tahu aku bertemu denganmu di sini...." Baru saja mengatakan itu, Deneb langsung merasakan perintah Ayah datang lagi. Dengan tangan bergetar, Deneb memegang kepalanya.

Kalian yang masih di luar, pulang sekarang! Mereka sudah menyerang!

Perintah Ayah yang absolut tidak akan bisa ditolaknya. Perintah-perintah itu semakin bergema dalam kepalanya. Jika saja Deneb selemah Altair, mungkin dia sudah pingsan sekarang.

Perintah telepati itu menghilang. Deneb menghela napas. Terengah-engah dia menatap Altair.

Altair masih tetap berdiri di tepi pantai, memandang kaki langit barat. Suaranya terdengar geli mendengar apa yang dikatakan Deneb tadi. "Kalau Starion tahu kau bertemu denganku ... dia akan menghentikan perang bodohnya, pergi ke sini, dan langsung membunuhku. Kebencian seperti itu membuatku tersanjung."

Altair tetap tenang di tepi pantai itu. Ombak merah kadang sampai menyentuh kakinya. Deneb berkata, "Bagaimana kau dapat menghindari perintah Ayah? Kau yang paling lemah di antara kita semua."

"Starion sudah semakin terdesak, kan?" kata Altair tanpa memedulikan pertanyaannya. Dia bahkan berani memanggil Ayah dengan nama aslinya, pikir Deneb meringis. "Bagus. Biarkan para Anima mengalahkannya."

Perintah itu datang lagi. Deneb meringis kesakitan. Altair benar. Ayah sudah semakin terdesak. Istana Langit—markas mereka—sudah diserang oleh para Anima dan pasukan mereka. Ayah bahkan memanggil anak-anaknya yang tersisa untuk melawan Anima-Anima tersebut. Deneb sudah berusaha selama mungkin menahan perintah Ayah; itu semakin menyakitkan pikirannya.

Siksaan itu berhenti sesaat. Dengan perasaan ngeri, Deneb langsung tahu apa yang terjadi. Ayah sudah menyadari kehadiran Altair.

BUNUH DIA! BUNUH PENGKHIANAT ITU!

Deneb menghidupkan Aura tanpa sadar. Namun, dengan sisa-sisa kekuatannya, dia tidak berganjak sedikit pun dari tempatnya berdiri. Aku tidak akan melukainya, apapun yang kau perintahkan!

Akan tetapi, Deneb tahu dia tidak akan bertahan lebih lama lagi. Perintah Ayah akan segera merasuk dan menghilangkan akal sehatnya. Dia hanya berharap kalau Altair segera pergi dari tempat ini sebelum itu terjadi.

Aura of Revaris : The Frozen KingdomWhere stories live. Discover now